Oleh Hendriyansyah (Penggiat Sosial Kemasyarakatan)
Akhirnya, Indonesia dan Malaysia menandatangani nota kesepahaman (MoU) tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI). Penandatanganan ini dilakukan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar dan Menteri Sumber Daya Manusia Kerjaan Malaysia Shubramaniam di Bandung, Jawa Barat, Senin (30/5).
DENGAN penandatanganan MoU ini, akan dibuka kembali pengiriman TKI, khususnya sektor informal ke Malaysia setelah ditutup selama hampir dua tahun. Untuk menghasilkan MoU ini diperlukan dua tahun perundingan antara dua belah pihak. Ini menunjukkan betapa rumitnya masalah TKI yang selama ini terjadi. MoU berisi empat kesepakatan utama. Pertama, TKI wajib mendapatkan libur satu hari dalam seminggu. Jika TKI bekerja pada hari libur, upahnya dihitung lembur sesuai standar ILO. Kedua, TKI berhak memegang paspor sendiri. Ketiga, dibentuk joint task force RI-Malaysia untuk pengawasan dan perlindungan TKI.
Terakhir, gaji TKI ditransfer via bank dan nilainya tidak boleh kurang dari harga pasar yang berlaku di Malaysia. Guna menindaklanjuti MoU tersebut, Kemenakertrans akan menerbitkan keputusan menteri yang mengatur upah minimum TKI agar tidak lebih kecil dari harga pasar di Malaysia. Biaya penempatan TKI yang sempat alot dibahas, akhirnya juga disepakati.
MoU ini sekaligus menjadi penanda bahwa kedua pemerintah bertekad melakukan perbaikan-perbaikan substansial pada aspek penempatan dan perlindungan TKI. Shubramaniam menyampaikan penghargaan atas komitmen pemerintah Indonesia dalam upaya memperbaiki sistem penempatan dan perlindungan TKI. Tidak hanya TKI yang senang, tapi juga majikan di Malaysia. MoU ini memberi panduan jelas akan hak dan kewajiban, baik majikan maupun pekerja.
Perlindungan TKI di luar negeri khususnya di Malaysia memang menjadi masalah serius selama ini. Tidak jarang kita mendengar, TKI mendapatkan perlakuan kurang baik dari majikan, bahkan ada yang berakhir dengan kematian. Sebaliknya, sebagian TKI melakukan tindakan yang tidak patut di negeri orang seperti tindakan kriminal dan narkotika. Meski dibelit dengan berbagai masalah TKI, Indonesia, dan Malaysia sebenarnya saling membutuhkan.
Berdasar data atas tenaga kerja KBRI Kuala Lumpur, Malaysia, masih membutuhkan 160 ribu TKI di sektor perkebunan, industri, dan pembantu rumah tangga (PRT). Bukan hanya di Malaysia berdasarkan jumlah tersebut, tapi juga 80 persen berpeluang didatangkan dari Indonesia. Sampai kini jumlah TKI di Malaysia mencapai 926.110 orang, sebanyak 203.548 sebagai PRT. Masalah TKI sendiri bukan hanya terjadi di Malaysia. Para TKI di negara Timur Tengah juga sering menghadapi masalah seperti perlakuan yang tidak baik dari majikan. Indonesia masih memberlakukan moratorium pengiriman PRT ke Yordania, Kuwait, Syria, dan Yaman.
Selama ini fakta membuktikan, TKI memiliki posisi kunci dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di Malaysia. TKI dan masyarakat Malaysia saling membutuhkan, mengisi, dan melengkap sehingga hubungan antar keduanya menyerupai dua sisi mata uang yang sama.
Namun demikian, masalah TKI ilegal begitu kompleks. Salah satu di antaranya menyangkut kelengkapan dokumen pribadi. Banyaknya kasus TKI yang tidak melengkapi identitas diri dengan paspor atau dokumen penting lainnya menimbulkan masalah hukum di Malaysia. Akibatnya, mereka terancam diusir dari negeri itu. Adanya praktik liar yang dilakukan agen perorangan, atau petugas perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang jumlahnya kini mencapai tidak lebih dari dua persen, telah menyebabkan sejumlah TKI menjadi korban penipuan dan terjebak pada masalah status hukum mereka. Pada kasus lain ditemukan adanya seorang TKI yang mempunyai paspor tetapi tidak menggunakan visa kerja, melainkan visa kunjungan yang masa berlakunya hanya tiga bulan.
Penyalahgunaan visa memosisikan mereka menjadi TKI ilegal. Kasus lain, seorang TKI yang dikirim PJTKI dan telah memiliki semua dokumen resmi kemudian dipekerjakan di sebuah perusahaan. Namun, setelah masa kontrak kerja berakhir, izin kerja tidak diperpanjang oleh perusahaan, maka otomatis mereka menjadi ilegal.
Contoh tersebut membuat posisi TKI menjadi lemah. Namun, akar persoalan maraknya TKI ilegal juga disebabkan karena banyak pihak terlibat dalam masalah ini. Baik menyangkut aparatur pemerintahan desa, kecamatan, imigrasi, dan PJTKI yang dengan mudah menerbitkan sebuah KTP atau paspor untuk kepentingan calon TKI tanpa peduli kelemahan legalitas dokumen bagi persyaratan pekerja asing.
Lemahnya aspek regulasi yang mengatur masalah penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri serta persyaratan kualitas sumber daya manusia bagi calon TKI, menyebabkan masalah TKI menjadi semakin kompleks. Penyelesaian masalah TKI juga tidak hanya cukup diselesaikan dengan memenuhi seluruh kepentingan Malaysia. Meski kita menyadari mereka punya hak untuk itu, namun Malaysia hendaknya menyadari bahwa masalah TKI tidak lepas dari kebijakan politik dalam negerinya.
Memberikan perlakuan yang berbeda terhadap TKI dengan tenaga kerja dari negara lain yang lebih menguntungkan akan berakibat pada masalah harga diri bangsa. Tidak tertutup kemungkinan berbagai kasus pelanggaran hukum oleh TKI disebabkan oleh adanya diskriminasi yang terjadi terhadap mereka.
Karena itu, penyelesaian masalah TKI ilegal tidak cukup hanya dengan cara melakukan deportasi. Pihak Malaysia juga harus membersihkan mafia pendatang ilegal yang berada di negaranya. Pembenahan di dalam negeri sendiri harus terus dilakukan. Sebanyak 60 persen masalah TKI terjadi pada proses rekrutmen di Indonesia. Berdasar data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, sekitar 80 persen masyarakat mengetahui informasi kerja di luar negeri justru dari calo bukan dari instansi resmi. Para calo bisa menarik perhatian calon TKI karena mereka sering memberi ’’bantuan dan kemudahan’’. Para TKI tidak menyadari bahwa calo akan mencelakakan mereka di kemudian hari.
TKI, khususnya yang akan menjadi PRT, umumnya berpendidikan relatif rendah dan sangat rawan menjadi korban penipuan. Tantangannya adalah bagaimana membuat prosedur resmi pengurusan TKI yang sederhana sehingga mudah dipahami dan diikuti TKI yang umumnya berasal dari pedesaan. (*)
Sumber: http://180.235.150.118/read/opini/36341-urgensi-memorandum-untuk-tki
DENGAN penandatanganan MoU ini, akan dibuka kembali pengiriman TKI, khususnya sektor informal ke Malaysia setelah ditutup selama hampir dua tahun. Untuk menghasilkan MoU ini diperlukan dua tahun perundingan antara dua belah pihak. Ini menunjukkan betapa rumitnya masalah TKI yang selama ini terjadi. MoU berisi empat kesepakatan utama. Pertama, TKI wajib mendapatkan libur satu hari dalam seminggu. Jika TKI bekerja pada hari libur, upahnya dihitung lembur sesuai standar ILO. Kedua, TKI berhak memegang paspor sendiri. Ketiga, dibentuk joint task force RI-Malaysia untuk pengawasan dan perlindungan TKI.
Terakhir, gaji TKI ditransfer via bank dan nilainya tidak boleh kurang dari harga pasar yang berlaku di Malaysia. Guna menindaklanjuti MoU tersebut, Kemenakertrans akan menerbitkan keputusan menteri yang mengatur upah minimum TKI agar tidak lebih kecil dari harga pasar di Malaysia. Biaya penempatan TKI yang sempat alot dibahas, akhirnya juga disepakati.
MoU ini sekaligus menjadi penanda bahwa kedua pemerintah bertekad melakukan perbaikan-perbaikan substansial pada aspek penempatan dan perlindungan TKI. Shubramaniam menyampaikan penghargaan atas komitmen pemerintah Indonesia dalam upaya memperbaiki sistem penempatan dan perlindungan TKI. Tidak hanya TKI yang senang, tapi juga majikan di Malaysia. MoU ini memberi panduan jelas akan hak dan kewajiban, baik majikan maupun pekerja.
Perlindungan TKI di luar negeri khususnya di Malaysia memang menjadi masalah serius selama ini. Tidak jarang kita mendengar, TKI mendapatkan perlakuan kurang baik dari majikan, bahkan ada yang berakhir dengan kematian. Sebaliknya, sebagian TKI melakukan tindakan yang tidak patut di negeri orang seperti tindakan kriminal dan narkotika. Meski dibelit dengan berbagai masalah TKI, Indonesia, dan Malaysia sebenarnya saling membutuhkan.
Berdasar data atas tenaga kerja KBRI Kuala Lumpur, Malaysia, masih membutuhkan 160 ribu TKI di sektor perkebunan, industri, dan pembantu rumah tangga (PRT). Bukan hanya di Malaysia berdasarkan jumlah tersebut, tapi juga 80 persen berpeluang didatangkan dari Indonesia. Sampai kini jumlah TKI di Malaysia mencapai 926.110 orang, sebanyak 203.548 sebagai PRT. Masalah TKI sendiri bukan hanya terjadi di Malaysia. Para TKI di negara Timur Tengah juga sering menghadapi masalah seperti perlakuan yang tidak baik dari majikan. Indonesia masih memberlakukan moratorium pengiriman PRT ke Yordania, Kuwait, Syria, dan Yaman.
Selama ini fakta membuktikan, TKI memiliki posisi kunci dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di Malaysia. TKI dan masyarakat Malaysia saling membutuhkan, mengisi, dan melengkap sehingga hubungan antar keduanya menyerupai dua sisi mata uang yang sama.
Namun demikian, masalah TKI ilegal begitu kompleks. Salah satu di antaranya menyangkut kelengkapan dokumen pribadi. Banyaknya kasus TKI yang tidak melengkapi identitas diri dengan paspor atau dokumen penting lainnya menimbulkan masalah hukum di Malaysia. Akibatnya, mereka terancam diusir dari negeri itu. Adanya praktik liar yang dilakukan agen perorangan, atau petugas perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang jumlahnya kini mencapai tidak lebih dari dua persen, telah menyebabkan sejumlah TKI menjadi korban penipuan dan terjebak pada masalah status hukum mereka. Pada kasus lain ditemukan adanya seorang TKI yang mempunyai paspor tetapi tidak menggunakan visa kerja, melainkan visa kunjungan yang masa berlakunya hanya tiga bulan.
Penyalahgunaan visa memosisikan mereka menjadi TKI ilegal. Kasus lain, seorang TKI yang dikirim PJTKI dan telah memiliki semua dokumen resmi kemudian dipekerjakan di sebuah perusahaan. Namun, setelah masa kontrak kerja berakhir, izin kerja tidak diperpanjang oleh perusahaan, maka otomatis mereka menjadi ilegal.
Contoh tersebut membuat posisi TKI menjadi lemah. Namun, akar persoalan maraknya TKI ilegal juga disebabkan karena banyak pihak terlibat dalam masalah ini. Baik menyangkut aparatur pemerintahan desa, kecamatan, imigrasi, dan PJTKI yang dengan mudah menerbitkan sebuah KTP atau paspor untuk kepentingan calon TKI tanpa peduli kelemahan legalitas dokumen bagi persyaratan pekerja asing.
Lemahnya aspek regulasi yang mengatur masalah penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri serta persyaratan kualitas sumber daya manusia bagi calon TKI, menyebabkan masalah TKI menjadi semakin kompleks. Penyelesaian masalah TKI juga tidak hanya cukup diselesaikan dengan memenuhi seluruh kepentingan Malaysia. Meski kita menyadari mereka punya hak untuk itu, namun Malaysia hendaknya menyadari bahwa masalah TKI tidak lepas dari kebijakan politik dalam negerinya.
Memberikan perlakuan yang berbeda terhadap TKI dengan tenaga kerja dari negara lain yang lebih menguntungkan akan berakibat pada masalah harga diri bangsa. Tidak tertutup kemungkinan berbagai kasus pelanggaran hukum oleh TKI disebabkan oleh adanya diskriminasi yang terjadi terhadap mereka.
Karena itu, penyelesaian masalah TKI ilegal tidak cukup hanya dengan cara melakukan deportasi. Pihak Malaysia juga harus membersihkan mafia pendatang ilegal yang berada di negaranya. Pembenahan di dalam negeri sendiri harus terus dilakukan. Sebanyak 60 persen masalah TKI terjadi pada proses rekrutmen di Indonesia. Berdasar data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, sekitar 80 persen masyarakat mengetahui informasi kerja di luar negeri justru dari calo bukan dari instansi resmi. Para calo bisa menarik perhatian calon TKI karena mereka sering memberi ’’bantuan dan kemudahan’’. Para TKI tidak menyadari bahwa calo akan mencelakakan mereka di kemudian hari.
TKI, khususnya yang akan menjadi PRT, umumnya berpendidikan relatif rendah dan sangat rawan menjadi korban penipuan. Tantangannya adalah bagaimana membuat prosedur resmi pengurusan TKI yang sederhana sehingga mudah dipahami dan diikuti TKI yang umumnya berasal dari pedesaan. (*)
Sumber: http://180.235.150.118/read/opini/36341-urgensi-memorandum-untuk-tki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya