Jumat, 01 Juli 2011

Mengurai Pemalsuan Kursi DPR

Oleh Saiful Anwar (Bergiat di Penelitian World Bank)

Apa yang terjadi kini di parlemen tentu sangat patut disayangkan. Apalagi, bila kemudian terbukti keberadaan kursi palsu benar-benar telah turut berkarir di parlemen. Wakil rakyat yang semestinya menjadi panutan dan mampu mencerminkan sikap ksatria serta mengedepankan kejujuran dan transparansi ke hadapan publik ternyata justru menodai dan mengingkarinya.

DI luar perkiraan banyak pihak, ternyata di parlemen kini mengendap beberapa kursi yang diduga justru ditempati oleh orang-orang yang bukan seharusnya menduduki kursi dimaksud. Padahal dengan jelas, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membuat laporan resmi terkait pemalsuan surat institusinya yang dilakukan oleh oknum tertentu dalam rangka memuluskan proses pencalonan pihak-pihak tertentu menuju kursi kemegahan dan kekuasaan di Senayan. Andi Nurpati yang seharusnya dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pidana karena diduga telah memalsukan surat lembaga pengawal konstitusi itu justru sampai detik ini masih bebas melenggang kangkung.

Karena terjadi berbagai manipulasi termasuk dengan strategi memalsukan surat dari MK, aib tersebut pun seolah tidak terendus publik selama ini. Kursi inilah yang kemudian dinamakan sebagai kursi haram di parlemen. Persoalan kursi haram itu mencuat beberapa waktu lalu, khususnya ketika rapat Komisi II DPR dengan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu.

Ironisnya, proses yang memuluskan langkah kursi palsu ini justru diduga melibatkan salah satu oknum lembaga penyelenggara pemilu. Sebagaimana diketahui, Ketua MK Mahfud M.D. telah melaporkan Andi Nurpati, mantan anggota KPU yang kini menjadi petinggi Partai Demokrat, ke aparat kepolisian dengan dugaan pemalsuan surat MK. Langkah tersebut telah dilakukan pada 12 Februari 2010. Andi sendiri dilaporkan dalam perkara pemalsuan surat MK yang kemudian berujung pada upaya lolosnya calon anggota legislatif Partai Hanura, Dewi Yasin Limpo, menuju kursi DPR RI.

Sementara, menurut data, surat asli MK justru membeberkan calon anggota legislatif dari Partai Gerindra, Mestariyani Habie, adalah orang yang seharusnya menduduki kursi di parlemen. Di sisi lain, berdasarkan informasi versi Bawaslu bahwa terdapat dua surat keputusan palsu terkait dengan gugatan hasil pemilu 2009. Dengan demikian, kuat kemungkinan kursi palsu yang mengendap di DPR saat ini justru lebih dari satu.

Pada saat yang sama, aparat penegak hukum seolah tidak memberikan respons positif dalam rangka menuntaskan persoalan semacam ini. Ketika proses pemalsuan sudah mengemuka dan disuguhkan dengan sejumlah alat bukti, maka tidak ada ruang bagi aparat kepolisian untuk tidak menindaklanjutinya. Unsur pidananya jelas sudah terpenuhi dan layak untuk diajukan ke muka pengadilan. Anehnya, persoalan ini seolah hanya menjadi isu semata yang tidak didasarkan pada fakta riil yang ada. Memang saat ini tidak terlalu sulit menebak faktor yang melatarbelakangi kemandulan aparat kepolisian dalam membongkar habis kasus ini. Posisi Andi yang kini sedang bertengger di jajaran petinggi partai penguasa diyakini sebagai faktor utama ketidakmampuan aparat kepolisian dalam melakukan penindakan secara tegas.

Apalagi, belakangan sejumlah kasus yang melibatkan kalangan istana juga mengalami kemandekan. Hal ini menunjukkan bahwa aparat penegak hukum masih terkesan setengah hati dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Kalau memang berdasarkan bukti permulaan yang cukup, seseorang telah patut diduga melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, lalu mengapa harus memelihara kasus dan bahkan mengendapkannya begitu saja? Bukankah semestinya, setiap warga negara punya posisi yang sama di hadapan hukum?

Muncul Pertanyaan. Terlepas dari berbagai persoalan yang mengakibatkan penanganan kasus kursi palsu ini mengalami kemandekan, menjadi patut kiranya dipertanyakan akan motivasi dan hasrat para wakil rakyat untuk duduk di parlemen. Selama ini, persoalan yang menggejala seputar pencalonan wakil rakyat umumnya didominasi dengan praktik politik uang dan kampanye hitam yang kerap mendera para calon wakil rakyat. Pola dan tradisi semacam ini memang sudah menjamur selama ini dan bahkan seolah sudah menjadi suatu persoalan yang dianggap lumrah.

Namun kalau persoalan yang muncul kemudian sudah mengarah sampai pada indikasi pemalsuan hanya dalam rangka memuluskan aksinya menduduki kursi di Senayan, lalu bagaimana mungkin rakyat akan percaya untuk menggantungkan harapannya terhadap wakil rakyat yang dilahirkan dari sebuah mekanisme penuh kepalsuan dan manipulatif? Perjuangan semacam apa yang akan mampu dilakoni oleh oknum-oknum semacam ini?. Kalau dilakukan penelusuran lebih jauh, barangkali kasus yang sama buruknya tidak tertutup kemungkinan masih mengendap di parlemen. Hanya saja secara kebetulan, kasus yang menimpa Andi bisa jadi karena terlalu mencolok dan kemungkinan sulit untuk diendapkan.

Tentu dari semua proses yang ada dan telah dilakoni oleh para wakil rakyat selama ini dalam rangka meraih kursi kekuasaan yang diidam-idamkannya, hanya merekalah yang mengetahui secara persis tentang prosedur dan mekanisme peraihan kursi yang dilakukan. Dalam situasi yang demikian, maka semestinya yang dikedepankan adalah sikap jujur dan bertanggung jawab atas segala perbuatan yang melingkupi seluruh upaya peraihan kekuasaan selama ini. Bagaimanapun rakyat tidak akan mungkin lagi menaruh harapan terhadap orang-orang yang hanya mampu melakukan manipulasi dan berbagai bentuk kebohongan publik lainnya hanya demi mengejar nikmatnya kursi kekuasaan. Kalaupun harapan itu masih tetap digantungkan, maka dapat dipastikan bahwa hasilnya akan berujung pada kekecewaan yang sangat mendalam.

Wakil rakyat yang hanya mampu menebar beragam kepalsuan dan perbuatan manipulatif lainnya semestinya tidak layak menyandang predikat sebagai wakil rakyat. Kalau hanya untuk meraih hasrat politiknya saja sudah terbiasa menerapkan strategi yang bertentangan dengan hukum dan mekanisme yang ada, lalu bagaimana mungkin akan mampu memperjuangkan aspirasi rakyat dalam tataran yang lebih luas?.

Proses politik yang sehat dan melalui jalur atau mekanisme resmi saja belum tentu akan mampu menempa wakil rakyat untuk berjuang sungguh-sungguh dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Konon lagi bila kursi yang diduduki justru diraih dari berbagai bentuk kebohongan dan praktik manipulatif. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk menunda pengungkapan kasus semacam ini. Kursi palsu yang bersemayam di Senayan hanya akan menjadi kotoran yang akan menambah buruk wajah parlemen di hadapan publik. (*)

Sumber: http://180.235.150.118/read/opini/36540-mengurai-pemalsuan-kursi-dpr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...