Jumat, 01 Juli 2011

Pluralisme Beragama dan Budaya

Oleh: Rita Suningsih (Praktisi Pendidikan)

Dalam kajian-kajian sosiologis, kita sering menemukan dua istilah, yaitu agama (religion) dan keberagamaan (religiousity). Agama berkaitan dengan doktrin, sedangkan keberagamaan ke penyikapan terhadap doktrin itu. Doktrin tiada lain adalah keyakinan, sedangkan penyikapan mengandung arti pemahaman dan pemaknaan terhadap doktrin.

AGAMA sebagai doktrin kebenarannya mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Sementara keberagamaan sebagai penyikapan atas doktrin itu kebenarannya bernilai relatif, termasuk ’’kebenaran’’ hasil pemahamannya tersebut menjadi bernilai relatif pula. Sebab, setiap orang yang meyakini doktrin itu memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Setiap penyikapan terikat oleh sosiokultural dan setiap lingkungan sosiokultural tertentu ini sangat memengaruhi terhadap pemahaman seseorang tentang agamanya.

Demikian pula bila mengikuti pandangan para penstudi agama-agama pada umumnya, memang membedakan dua istilah tersebut. Religion biasa dialihbahasakan menjadi agama, yaitu himpunan doktrin, ajaran, dan hukum-hukum yang telah baku diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia. Sedangkan religiousity lebih mengarah ke kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan pada nilai-nilai keagamaan yang diyakininya.

Dalam kehidupan para penganut agama, antara doktrin dan penghayatannya tidak bisa dipisahkan. Keduanya menunjukkan dinamika kehidupan dalam beragama. Pada sisi lain, pengungkapan keyakinan agama seseorang atau sekelompok orang akan berhadapan dengan berbagai keyakinan agama yang beragam. Oleh karena itu, beberapa pandangan, teori, dan berbagai pengalaman telah muncul berkaitan dengan, bagaimana keyakinan seseorang atau sekelompok orang bisa hidup berdampingan secara aman, damai, serta rukun dengan berbagai keyakinan lain yang berbeda.

Karenanya, dalam konteks keberagamaan itulah akan muncul keragaman pandangan dan paham keagamaan. Tingkat keragaman dalam beragama ini sangat memungkinkan terjadi sekalipun dalam kepenganutan agama yang sama. Joachim Wach menyatakan, keberagaman pemahaman ini mewujud dalam tiga bentuk, yaitu thought (pemikiran) berupa sistem kepercayaan, practice (praktik-praktik keagamaan) berupa pengabdian dan upacara keagamaan, serta followships (kelompok-kelompok atau lembaga-lembaga keagamaan). Tinggi rendahnya kualitas beragama sebagai ’’perwujudan” kebenaran agama yang diyakini itu terletak pada manusianya. Sebab hanya manusia yang menganut agama. Taufik Abdullah menguatkan pandangan ini dengan menekankan, bahwa memahami agama tiada lain adalah memahami kebenaran agama dari realitas empiris, yang berarti apa-apa yang diyakini dan diperbuat oleh manusia dalam kesehariannya sebagai manusia beragama.

Penyikapan dan pandangan yang bermacam ragam itu secara intuitif ditangkap oleh Scheilermacher, keragaman tersebut sebenarnya semakin menunjukkan adanya kesatuan di antara (para penganut) agama-agama. Ia mengatakan, ’’semakin pesat kemajuan dalam beragama, kian nampak bahwa dunia keagamaan adalah satu kesatuan yang tak terbagi”. Max Muller, seorang perintis ’’Science of Religion” (Religionswissenschaft), juga mengatakan, hanya ada satu agama universal dan abadi yang melingkupi, mendasari, dan melampaui semua agama-agama yang di situ mereka termasuk atau dapat dimasukkan. Ungkapan semacam ini hanyalah untuk menunjukkan bahwa agama dan keberagamaan itu merupakan sesuatu yang diyakini dan dipahami manusia. Suatu keyakinan tidaklah berarti apa-apa manakala tidak diekspresikan dalam tindakan beragama oleh manusia, atau bisa dikatakan sebagai penerapan konkret nilai-nilai yang dimiliki manusia.

Sementara Smith mencoba ’’mempersoalkan” agama berdasarkan apa yang diyakini dan diperbuat manusia, karena kebenaran itu muncul berdasarkan yang dipahami oleh manusia. Keberagamaan seseorang, bagaimanapun akan dipengaruhi oleh struktur sosial, politik dan kultural setempat dimana agama itu hidup dan berkembang. Dalam konteks ini, kenapa “perwujudan” Islam di Indonesia bisa dibedakan dengan Islam di Arab Saudi, Pakistan atau Mesir? Juga, kenapa Hindu di India berbeda dengan Hindu di Bali?

Oleh karena itu, setiap agama tidak dapat dipisahkan dari cirinya yang ’’kompromistis” atau ’’akomodatif”. Sifat akomodatif terletak pada pengampiran manusia terhadap agamanya yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial, kultur, dan politis di mana ia hidup. Sebaliknya, sebagai sistem keyakinan, agama menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan suatu masyarakat. Kemudian menjadi pendorong tindakan-tindakan anggota masyarakat supaya tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya.

Dalam konteks pluralitas beragama dan keragaman budaya bangsa Indonesia itu, maka mengembangkan sikap pluralisme pada peserta didik adalah mutlak segera ’’dilakukan” oleh seluruh pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan agama Islam perlu segera menampilkan ajaran-ajaran Islam yang toleran melalui kurikulum pendidikannya dengan tujuan dan menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kelompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eksklusifisme kelompok agama dan budaya yang sempit. Sehingga sikap-sikap pluralisme itu akan dapat ditumbuhkembangkan dalam diri generasi muda kita melalui dimensi-dimensi pendidikan agama, sehingga mereka tahu dan sadar atas kemanusiaannya.

Karenanya, Islam mengajarkan prinsip-prinsip kemanusiaan untuk mengatur hubungan antarmanusia ini. Prinsip-prinsip itu antara lain, pertama, Islam pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara sangat positif dan optimis. Menurut Islam, manusia berasal dari satu asal yang sama, keturunan Adam dan Hawa. Tetapi kemudian manusia menjadi bersuku-suku, berkaum-kaum atau berbangsa-bangsa lengkap dengan kebudayaan dan peradaban khas masing-masing. Semua perbedaan ini mendorong manusia untuk saling kenal-mengenal dan membutuhkan apresiasi dan respek satu sama lain. Dalam pandangan Islam, perbedaan itu, bukanlah warna kulit dan bangsa, tetapi hanyalah tergantung pada tingkat ketakwaan masing-masing. Inilah yang menjadi dasar perspektif Islam tentang ’’kesatuan umat manusia” yang pada gilirannya akan mendorong berkembangnya solidaritas antarmanusia (ukhuwah insâniyyah).

Kedua, dalam perspektif Islam, manusia dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah). Dengan fitrahnya setiap manusia dianugerahi kemampuan dan kecenderungan bawaan untuk mencari, mempertimbangkan dan memahami kebenaran, yang pada gilirannya akan membuatnya mampu mengakui Tuhan sebagai sumber kebenaran tersebut. Kemampuan dan kecenderungan inilah disebut sebagai sikap ’’hanîf”. Atas dasar prinsip ini, Islam menegaskan prinsipnya bahwa setiap manusia adalah homo religius. Di dalam Alquran, manusia hanif itu diidentifikasikan dengan Nabi Ibrahim yang dalam pencarian kebenaran yang pada akhirnya menemukan Tuhan sejati. Ibrahim dipandang sebagai tiga panutan agama, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam, sehingga di kalangan para penstudi agama-agama dikenal sebagai ’’agama Ibrahim”. (*)

Sumber: http://180.235.150.118/read/opini/36154-pluralisme-beragama-dan-budaya-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...