Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah kondisi lingkungan hidup pascaotonomi daerah lebih baik? Ini adalah pertanyaan mudah, tapi sulit dijawab. Namun, ada beberapa catatan penting terkait dengan hubungan antara otonomi daerah dan lingkungan hidup dan kondisi sumber daya alam (SDA).
Pertama, secara teoretis, kecenderungan para akademisi menganggap bahwa sentralisasi pengelolaan SDA sering bermasalah. Untuk sebuah negara sebesar Indonesia, tampaknya sulit untuk mengendalikan SDA secara terpusat. Biaya transaksi untuk pemantauan dan pengawasannya terlampau besar. Hal ini berakibat pada efektivitas pengelolaan. Bila pengelolaan tidak efektif maka rezim pengelolaan bisa bergeser ke arah rezim semi akses terbuka.Tesis Hardin tentang “tragedy of the commons” atau tragedi kepemilikan bersama akan terjadi. Tragedi ini berupa kerusakan lingkungan.
Selain itu, sentralisasi menyebabkan pemerintah pusat tidak merasakan dampak langsung dari putusannya dalam pengelolaan SDA. Bila hutan rusak akibat keputusan pusat, pembuat keputusan tidak merasakan apa-apa. Sebaliknya, rakyat di daerahlah yang merasakan dampaknya. Bila seorang bupati mengambil keputusan untuk mengonversi lahan bakau,si bupati akan melihat dan merasakan langsung dampaknya: banjir rob,abrasi, dan sebagainya.
Dengan mudah pula, rakyat melakukan protes karena dekatnya jarak sosial mereka. Bayangkan bila keputusan diambil di Jakarta, mungkinkah rakyat di Papua atau Sulawesi berduyunduyun melakukan protes ke Jakarta untuk mengubah berbagai keputusan. Kedua, secara empiris ternyata tak sepenuhnya teori di atas berlaku.
Hasil studi IPB dengan Kantor Menko Perekonomian (2006 dan 2007) menunjukkan bahwa dari 119 perda yang terkait dengan SDA,60% berisi izin eksploitasi SDA, 30% berisi tindakan kolaboratif pengelolaan dan pemanfaatan SDA, dan hanya 10% yang berisi hak akses dan kontrol masyarakat atas SDA. Hal ini menunjukkan semangat untuk eksploitasi SDA masih sangat besar.
Alasannya tentu saja karena kebutuhan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD),meski dapat diduga ada alasan lain yang terkait dengan kepentingan politik. Saat ini ongkos politik untuk menjadi caleg ataupun bupati atau gubernur sangatlah besar. Sumber-sumber pembiayaan politik saat ini diduga umumnya berasal dari tiga sumber: pengadaan barang dan jasa (dana APBD/APBN), sektor finansial (investasi di pasar saham), dan sektor sumber daya alam seperti pertambangan.
Eksploitasi SDA karena motif politik bisa kebablasan yang akhirnya merusak lingkungan. Terlalu banyak contoh kerusakan lingkungan pada era otonomi daerah ini untuk ditampilkan, meski tak semua masalah lingkungan bersumber dari politik. Ada juga karena faktor ketidakmampuan daerah dalam mengelola SDA.Apakah dengan kondisi seperti ini lalu desentralisasi pengelolaan SDA harus dicabut dan diganti dengan resentralisasi?
Dari dua perspektif di atas, tampak bahwa antara teori dan praktik sering kali tidak sejalan. Akan tetapi, resentralisasi juga bukan solusi mujarab mengingat pengalaman masa lalu yang sering kali bermasalah. Paling tidak masalahnya adalah pengelolaan yang tidak efektif, sehingga kerusakan SDA juga terjadi. Negara dengan kekayaan alam sebesar ini hampir mustahil dikelola oleh pusat.Apakah dengan demikian desentralisasi akan dilanjutkan?
Menguatkan Asumsi
Harus diingat bahwa teori biasanya dibangun dengan asumsi-asumsi. Desentralisasi pengelolaan SDA akan berjalan efektif bila asumsi-asumsi tersebut dipenuhi. Pertama,asumsi bahwa masyarakat sipil (warga, kampus, pers, LSM) di daerah telah berdaya.Artinya,mereka mampu secara signifikan mengontrol jalannya pembangunan dan pengelolaan SDA.Yang terjadi saat ini adalah bahwa kekuatan masyarakat sipil sering tak sebanding dengan kekuatan politik yang ada, yaitu kekuatan para pelaku eksploitasi SDA yang berafiliasi pada partai politik tertentu.
Sebagai contoh, mengapa larangan pengumpulan telur penyu di sebuah kabupaten di Kalimantan Timur sulit dijalankan, tidak lain karena elite politik lokal berkepentingan terhadap bisnis telur penyu. Belum lagi kasus- kasus pertambangan ilegal yang makin marak. Kedua, asumsi bahwa supremasi hukum berjalan dengan baik. Selama hukum tersubordinasi oleh kekuatan politik,selama itu pula hukum menjadi mandul.
Berbagai kasus kerusakan lingkungan di daerah sulit diselesaikan secara hukum karena lemahnya institusi penegakan hukum. Ketiga¸ asumsi bahwa elite politik lokal memiliki komitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan dan pengelolaan SDA secara berkelanjutan. Membangun komitmen elite politik daerah dapat dimulai dari kesadaran individual hingga kesadaran institusional.
Bila kesadaran berkembang lalu visi pengelolaan SDA menjadi jelas, agenda pentingnya adalah bagaimana memperkuat daerah untuk menghadapi penetrasi kepentingan modal dari luar daerah. Kasus pasir laut pada tahun 2000-an, adalah bukti bahwa justru orang luar yang memulai merusak laut sekitar Kepri, yang lalu menular ke elite-elite lokal. Keempat, asumsi kapasitas daerah untuk pengelolaan SDA,termasuk di dalamnya kapasitas untuk membangun model kolaboratif.
Sebagai contoh sejak UU 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, belum banyak daerah yang sudah mengesahkan Renstra dan Rencana zonasi. Daerah-daerah yang sudah siap umumnya daerah yang mendapat dampingan teknis dari pemerintah pusat atau LSM yang didukung pendanaan internasional. Jadi, jelaslah bahwa masih banyak agenda penting untuk meluruskan desentralisasi pengelolaan SDA.
Memang tidaklah mudah melakukan perubahan di daerah, apalagi mewujudkan asumsi-asumsi di atas.Namun, kita sudah berada di tengah jalan yang tak mungkin lagi mundur dengan resentralisasi. Marilah kita lalui setengah jalan berikutnya dengan komitmen dan usaha yang lebih kuat lagi, termasuk di dalamnya upaya penguatan masyarakat agar bisa terlibat dalam pengelolaan SDA secara kolaboratif.
Pertama, secara teoretis, kecenderungan para akademisi menganggap bahwa sentralisasi pengelolaan SDA sering bermasalah. Untuk sebuah negara sebesar Indonesia, tampaknya sulit untuk mengendalikan SDA secara terpusat. Biaya transaksi untuk pemantauan dan pengawasannya terlampau besar. Hal ini berakibat pada efektivitas pengelolaan. Bila pengelolaan tidak efektif maka rezim pengelolaan bisa bergeser ke arah rezim semi akses terbuka.Tesis Hardin tentang “tragedy of the commons” atau tragedi kepemilikan bersama akan terjadi. Tragedi ini berupa kerusakan lingkungan.
Selain itu, sentralisasi menyebabkan pemerintah pusat tidak merasakan dampak langsung dari putusannya dalam pengelolaan SDA. Bila hutan rusak akibat keputusan pusat, pembuat keputusan tidak merasakan apa-apa. Sebaliknya, rakyat di daerahlah yang merasakan dampaknya. Bila seorang bupati mengambil keputusan untuk mengonversi lahan bakau,si bupati akan melihat dan merasakan langsung dampaknya: banjir rob,abrasi, dan sebagainya.
Dengan mudah pula, rakyat melakukan protes karena dekatnya jarak sosial mereka. Bayangkan bila keputusan diambil di Jakarta, mungkinkah rakyat di Papua atau Sulawesi berduyunduyun melakukan protes ke Jakarta untuk mengubah berbagai keputusan. Kedua, secara empiris ternyata tak sepenuhnya teori di atas berlaku.
Hasil studi IPB dengan Kantor Menko Perekonomian (2006 dan 2007) menunjukkan bahwa dari 119 perda yang terkait dengan SDA,60% berisi izin eksploitasi SDA, 30% berisi tindakan kolaboratif pengelolaan dan pemanfaatan SDA, dan hanya 10% yang berisi hak akses dan kontrol masyarakat atas SDA. Hal ini menunjukkan semangat untuk eksploitasi SDA masih sangat besar.
Alasannya tentu saja karena kebutuhan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD),meski dapat diduga ada alasan lain yang terkait dengan kepentingan politik. Saat ini ongkos politik untuk menjadi caleg ataupun bupati atau gubernur sangatlah besar. Sumber-sumber pembiayaan politik saat ini diduga umumnya berasal dari tiga sumber: pengadaan barang dan jasa (dana APBD/APBN), sektor finansial (investasi di pasar saham), dan sektor sumber daya alam seperti pertambangan.
Eksploitasi SDA karena motif politik bisa kebablasan yang akhirnya merusak lingkungan. Terlalu banyak contoh kerusakan lingkungan pada era otonomi daerah ini untuk ditampilkan, meski tak semua masalah lingkungan bersumber dari politik. Ada juga karena faktor ketidakmampuan daerah dalam mengelola SDA.Apakah dengan kondisi seperti ini lalu desentralisasi pengelolaan SDA harus dicabut dan diganti dengan resentralisasi?
Dari dua perspektif di atas, tampak bahwa antara teori dan praktik sering kali tidak sejalan. Akan tetapi, resentralisasi juga bukan solusi mujarab mengingat pengalaman masa lalu yang sering kali bermasalah. Paling tidak masalahnya adalah pengelolaan yang tidak efektif, sehingga kerusakan SDA juga terjadi. Negara dengan kekayaan alam sebesar ini hampir mustahil dikelola oleh pusat.Apakah dengan demikian desentralisasi akan dilanjutkan?
Menguatkan Asumsi
Harus diingat bahwa teori biasanya dibangun dengan asumsi-asumsi. Desentralisasi pengelolaan SDA akan berjalan efektif bila asumsi-asumsi tersebut dipenuhi. Pertama,asumsi bahwa masyarakat sipil (warga, kampus, pers, LSM) di daerah telah berdaya.Artinya,mereka mampu secara signifikan mengontrol jalannya pembangunan dan pengelolaan SDA.Yang terjadi saat ini adalah bahwa kekuatan masyarakat sipil sering tak sebanding dengan kekuatan politik yang ada, yaitu kekuatan para pelaku eksploitasi SDA yang berafiliasi pada partai politik tertentu.
Sebagai contoh, mengapa larangan pengumpulan telur penyu di sebuah kabupaten di Kalimantan Timur sulit dijalankan, tidak lain karena elite politik lokal berkepentingan terhadap bisnis telur penyu. Belum lagi kasus- kasus pertambangan ilegal yang makin marak. Kedua, asumsi bahwa supremasi hukum berjalan dengan baik. Selama hukum tersubordinasi oleh kekuatan politik,selama itu pula hukum menjadi mandul.
Berbagai kasus kerusakan lingkungan di daerah sulit diselesaikan secara hukum karena lemahnya institusi penegakan hukum. Ketiga¸ asumsi bahwa elite politik lokal memiliki komitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan dan pengelolaan SDA secara berkelanjutan. Membangun komitmen elite politik daerah dapat dimulai dari kesadaran individual hingga kesadaran institusional.
Bila kesadaran berkembang lalu visi pengelolaan SDA menjadi jelas, agenda pentingnya adalah bagaimana memperkuat daerah untuk menghadapi penetrasi kepentingan modal dari luar daerah. Kasus pasir laut pada tahun 2000-an, adalah bukti bahwa justru orang luar yang memulai merusak laut sekitar Kepri, yang lalu menular ke elite-elite lokal. Keempat, asumsi kapasitas daerah untuk pengelolaan SDA,termasuk di dalamnya kapasitas untuk membangun model kolaboratif.
Sebagai contoh sejak UU 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, belum banyak daerah yang sudah mengesahkan Renstra dan Rencana zonasi. Daerah-daerah yang sudah siap umumnya daerah yang mendapat dampingan teknis dari pemerintah pusat atau LSM yang didukung pendanaan internasional. Jadi, jelaslah bahwa masih banyak agenda penting untuk meluruskan desentralisasi pengelolaan SDA.
Memang tidaklah mudah melakukan perubahan di daerah, apalagi mewujudkan asumsi-asumsi di atas.Namun, kita sudah berada di tengah jalan yang tak mungkin lagi mundur dengan resentralisasi. Marilah kita lalui setengah jalan berikutnya dengan komitmen dan usaha yang lebih kuat lagi, termasuk di dalamnya upaya penguatan masyarakat agar bisa terlibat dalam pengelolaan SDA secara kolaboratif.
● ARIF SATRIA Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB)
Sumber:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/403841/
Sumber:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/403841/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya