Senin, 13 Juni 2011

Reorientasi Arah dan Lembaga Pemberantasan Korupsi

Evaluasi terhadap undang-undang antikorupsi seyogianya dilakukan sekali dalam lima tahun. Khusus terhadap UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang terakhir diubah tahun 2001 telah melampaui batas waktu uji kelayakan tersebut.


Evaluasi pertama terhadap dua hal yang sangat prinsipil ialah, pertama, apakah karakteristik objek undang-undang ini masih tetap sebagai extraordinary crimes atau sesungguhnya merupakan ordinary crimes? Hal kedua yang prinsipil adalah bagaimana keberadaan lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi saat ini termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga-lembaga kontrol eksternal seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan (Komjak), dan Komisi Yudisial (KY)?

Pertanyaan yang sering dilontarkan dalam masyarakat hukum adalah di mana letak keluarbiasaan dari tindak pidana korupsi? Ada dua pandangan terhadap soal ini, yaitu pendapat konservatif dan pendapat progresif.Pendapat konservatif bertolak pada paham positivisme hukum yang menganut pandangan bahwa hukum sebagai sistem norma (systems of norms) dan menolak karakter korupsi sebagai extra-ordinary crimes.

Sudut pandang ini hanya mengakui dua titik pandang dalam melihat suatu tindak pidana semata-mata diletakkan pada moralitas individual dalam bentuk unsur kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Adapun pandangan progresif memandang hukum sebagai sistem perilaku (systems of behavior) dan bagian dari moralitas sosial sehingga pandangan progresif justru memberikan justifikasi bahwa keluarbiasaan (extra-ordinary) dari tindak pidana korupsi dilihat dari sistem politik dan ekonomi sebagai causa nexus sekaligus prima facie evidence keruntuhan secara sosial,ekonomi,dan politik suatu negara.

Pandangan positivisme hukum dipengaruhi kuat aliran retributivisme dalam pemidanaan, sedangkan pandangan progresif justru dipengaruhi kuat oleh aliran hukum kritis dan paham keadilan sebagai fairness (Rawls). Pandangan progresif tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 12 B dengan pembuktian terbalik, sisanya cermin pandangan konservatif-klasik. ***


Bagaimana kondisi pemberantasan korupsi sebelum dan sesudah ratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi 2003? Pengamatan penulis menunjukkan bahwa hampir 99% perkara tindak pidana korupsi dituntut dan diputus berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tahun 1999/2001 sehingga terkesan prosedur pembuktian dakwaan kedua pasal tersebutlebihmudahdibandingkan dengan pasal lainnya.

Adapun pembuktian terbalik tidak pernah diterapkan dengan alasan belum ada hukum acaranya. Praktik ini mencerminkan bahwa pemberantasan korupsi tidak lagi mempertimbangkan dua asas penting dalam suatu negara hukum, yaitu asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas (Remmelink, 2003). Asas pertama secara analogis sering dikatakan, “tidak perlu membakar lumbung hanya untuk menangkap tikus”.

Dan asas kedua meminta penegak hukum untuk menggunakan sarana hukum yang paling kecil risikonya daripada sebaliknya. Penerapan kedua asas hukum ini tidak mudah karena dalam praktik penegak hukum di Indonesia “penganut berat” pandangan positivisme hukum, sebagai contoh bagaimana penegak hukum menyikapi dugaan korupsi di kalangan BUMN, lebih mengutamakan penghukuman daripada tujuan “memelihara dan menjaga “ kesinambungan BUMN sebagai aset nasional.

Tingginya frekuensi penggunaanPasal2danPasal3dibandingkan dengan ketentuan lainnya mencerminkan secara konsepsional, tindakpidanakorupsi diakui sebagai “kejahatan luar biasa”, tetapi dalam praktik diperlakukan sebagai “kejahatan biasa”. Dari sisi tingkat keberhasilan penggunaan kedua pasal tersebut juga belum optimal mengembalikan kerugian keuangan negara.

Penelitian disertasi (T Manurung,2009; N Rachmad, 2009) menemukan jumlah uang negara yang berhasil diselamatkan oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK, dari Tahun 2003–2008, senilai kurang lebih Rp5 triliun, sedangkan data BPK RI triwulan I/2003–2008, kerugian negara telah mencapai Rp30 triliun. Evaluasi terhadap kelembagaan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi menjadi penting.

Pertimbangannya bahwa prinsip efisiensi dan efektivitas dengan mengutamakan asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas jauh lebih penting ketimbang dengan hiruk-pikuk penangkapan dan penahanan serta mengumbar aib semata-mata dengan tujuan pembalasan dendam (retributif). ***

Selama ini lembaga pengawas penegak hukum tidak memiliki fungsi proyustisia dan sebatas langkah moralitas pencegahan semata-mata.Masalah ini perlu dievaluasi kembali dan mempertegas keberadaannya di dalam sistem peradilan pi-dana terintegrasi di Indonesia. Tugas dan fungsi KPK sebagai lembaga independen yang sampai saat ini masih sebatas penindakan perlu diimbangi pelaksanaan fungsi pencegahan yang optimal dan efektif.

Tugas penindakan KPK sampai saat ini tidak terfokus pada sasaran high profile caseskecuali memenuhi ketentuan Pasal 11 UU KPK,sekalipun tidak untuk semua kasus. Fakta “keberadaan” mafia dalam proses peradilan tindak pidana korupsi merupakan bukti nyata karut-marut penegakan hukum dan disharmonisasi serta disorientasi penegakan hukum oleh KPK dan lembaga penegak hukum lainnya.

Fakta tersebut memerlukan perubahan orientasi penegakan hukum oleh KPK untuk menuntaskan pembersihan “mafia proses peradilan”. Hal ini disebabkan poros tegaknya keadilan dan kepastian hukum terletak pada sistem peradilan pidana yang bebas dari KKN, bukan pada pemberantasan korupsi di lingkungan birokrasi.Untuk yang terakhir ini sejatinya memerlukan tindakan pencegahan (preventive measures) ketimbang penindakan dan penghukuman semata-mata.

KPK di masa mendatang perlu meneguhkan posisinya sebagai lembaga superpower untuk mencegah dan menindak mafia dalam proses peradilan tersebut sehingga dapat mengembalikan proses peradilan tindak pidana korupsi menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi setiap warga negara yang mendambakan kepastian hukum dan keadilan di negeri ini.

● ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad)
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/405454/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...