Oleh: Kristanto Hartadi
Indonesia boleh bangga mempunyai anak muda seperti Dr Yanuar Nugroho (38), dosen dan ilmuwan ternama pada Manchaster Business School.
Pandangan-pandangannya selalu dijadikan acuan oleh Komisi Eropa menyangkut penyusunan kebijakan teknologi di masa depan. Artinya, orang-orang di Eropa memanfaatkan keunggulan otak Indonesia untuk kemajuan mereka. Saya yakin, kalau pulang ke Indonesia, kapasitas otak Yanuar tidak akan optimal terpakai untuk memajukan bangsa.
Menurut Yanuar, ketika berbicara pada dies natalis ke-53 Ikatan Sarjana Katolik Indonesia, bertempat di Sinar Harapan, dua pekan lalu, tidak sepatutnya Indonesia bangga menjadi negara terbesar kelima di dunia yang menggunakan Facebook. Ini karena sesungguhnya berbagai kemajuan itu tidak mencerminkan kemajuan budaya kita terhadap teknologi.
"Di Batam, bisa dijumpai orang-orang yang punya Facebook, tapi tidak punya email, padahal bila kita akan membuka akun di Facebook harus punya email dahulu. Orang-orang tersebut meminta penjual pulsa membuatkan akun Facebook dengan biaya Rp 50.000. Kalau lupa password-nya datang lagi ke penjual pulsa itu dan membayar Rp 5.000," tuturnya.
Demikianlah contoh kalau produk berteknologi tidak disertai pemahaman pada akar budaya kemajuan itu. Demikianlah situasi yang terjadi di Indonesia hari ini. Kita hanya menjadi pasar teknologi dari negara-negara maju, di saat kemajuan teknologi itu hanya dianggap sebagai alat atau peranti belaka, dengan mengabaikan cara berpikir, latar belakang budaya, ideologi dan berbagai hal lain yang mendasari penciptaan sebuah produk inovasi.
Menurut Yanuar, kalau Indonesia mau maju dalam arti sesungguhnya, pemerintah harus menyusun kebijakan yang tegas dan jelas menyangkut pengembangan teknologi dan inovasi. Tanpa kebijakan yang jelas, "kemajuan" yang kita nikmati hari ini tidak sustainable dan bahkan akan menjadi bentuk penjajahan budaya.
Indonesia pernah memiliki arah kebijakan pembangunan teknologi yang jelas ketika Menristek BJ Habibie mengembangkan lompatan kemajuan, dengan mengirim banyak anak muda untuk belajar ke luar negeri, menampung mereka di berbagai BUMN strategis dan BPPT. Namun, kebijakan itu akhirnya berantakan karena berbagai faktor, termasuk tentangan dari dalam negeri sendiri.
Kemarin, dalam acara bertajuk "National Competitiveness Towards Indonesia 2025", Corporate Vice President Microsoft Corporation, Orlando Ayala, mengatakan kemajuan dan peningkatan daya saing hanya akan terjadi kalau pemerintah mampu menyusun kerangka kebijakan publik yang akan menjadi landasan pengembangan berbagai inovasi.
Pada sisi lain, pemerintah juga harus mampu memainkan peran sebagai penyusun program. Tentu saja, dia berbicara demikian seraya menawarkan penggunaan teknologi ICT (cloud computing) sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan daya saing bangsa.
Kepala BKPM, Gita Wiryawan, pada acara yang sama juga menegaskan harus ada upaya mendorong pembentukan perilaku bangsa untuk meningkatkan daya saing itu. Dasarnya juga kebijakan. Misalnya, katanya, dana untuk penelitian dan pengembangan (R&D) di Indonesia hanya 0,07 persen dari GDP, tidak sampai 1 persen. Dengan dana sekecil itu sangat sulit untuk mendorong inovasi.
Dia mencontohkan seorang pengusaha reparasi lemari es di Indonesia ketika pindah ke Amerika mampu mengembangkan bisnisnya hingga mencapai omzet lebih dari US$ 2 miliar.
Kalau masih di Indonesia, kata Gita, dia akan tetap jadi tukang reparasi lemari es, tapi di Amerika dia sukses karena iklimnya memungkinkan untuk itu. Iklim untuk inovasi itu dimungkinkan bila ada kontrak yang jelas, iklim industri yang jelas, dan dukungan dari siapa saja untuk memastikan suatu keberhasilan.
Jadi, benang merahnya adalah kebijakan yang jelas dan tegas mengenai pengembangan inovasi bagi kemajuan bangsa, mau ke mana kita menuju.
Kalau itu tidak ada, omong-omong tentang daya saing hanya pepesan kosong, bangsa ini akan semata menjadi pasar, kemajuan yang dicapai sifatnya semu (pseudo-modern), atau menurut istilah Yanuar Nugroho "yang dipegang handphone, tetapi perilakunya kenthongan." Demikian pun demokrasi kita hari ini belum membuahkan kemakmuran, karena perilaku politik yang dikembangkan juga tak sesuai dengan budaya demokrasi.
Menjadi pertanyaan kita, di era cleptocracy (ketika banyak pejabat publik jadi pencuri) dan ingar-bingar politik yang tiada henti, sanggupkah kita membangun daya saing itu, atau dapatkah kita menyusun suatu kebijakan kuat yang dapat mendorong bangsa ini ke arah kemajuan?
Saya sendiri meragukannya, apalagi berbagai kegaduhan sekarang ini sebagian disumbangkan oleh faktor kepemimpinan yang lemah. Maka, kita tidak akan ke mana-mana, bisa selamat sampai 2014 saja sudah bagus.
URL Source: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/bangsa-pseudo-modern/
Kristanto Hartadi
Sinar Harapan
Indonesia boleh bangga mempunyai anak muda seperti Dr Yanuar Nugroho (38), dosen dan ilmuwan ternama pada Manchaster Business School.
Pandangan-pandangannya selalu dijadikan acuan oleh Komisi Eropa menyangkut penyusunan kebijakan teknologi di masa depan. Artinya, orang-orang di Eropa memanfaatkan keunggulan otak Indonesia untuk kemajuan mereka. Saya yakin, kalau pulang ke Indonesia, kapasitas otak Yanuar tidak akan optimal terpakai untuk memajukan bangsa.
Menurut Yanuar, ketika berbicara pada dies natalis ke-53 Ikatan Sarjana Katolik Indonesia, bertempat di Sinar Harapan, dua pekan lalu, tidak sepatutnya Indonesia bangga menjadi negara terbesar kelima di dunia yang menggunakan Facebook. Ini karena sesungguhnya berbagai kemajuan itu tidak mencerminkan kemajuan budaya kita terhadap teknologi.
"Di Batam, bisa dijumpai orang-orang yang punya Facebook, tapi tidak punya email, padahal bila kita akan membuka akun di Facebook harus punya email dahulu. Orang-orang tersebut meminta penjual pulsa membuatkan akun Facebook dengan biaya Rp 50.000. Kalau lupa password-nya datang lagi ke penjual pulsa itu dan membayar Rp 5.000," tuturnya.
Demikianlah contoh kalau produk berteknologi tidak disertai pemahaman pada akar budaya kemajuan itu. Demikianlah situasi yang terjadi di Indonesia hari ini. Kita hanya menjadi pasar teknologi dari negara-negara maju, di saat kemajuan teknologi itu hanya dianggap sebagai alat atau peranti belaka, dengan mengabaikan cara berpikir, latar belakang budaya, ideologi dan berbagai hal lain yang mendasari penciptaan sebuah produk inovasi.
Menurut Yanuar, kalau Indonesia mau maju dalam arti sesungguhnya, pemerintah harus menyusun kebijakan yang tegas dan jelas menyangkut pengembangan teknologi dan inovasi. Tanpa kebijakan yang jelas, "kemajuan" yang kita nikmati hari ini tidak sustainable dan bahkan akan menjadi bentuk penjajahan budaya.
Indonesia pernah memiliki arah kebijakan pembangunan teknologi yang jelas ketika Menristek BJ Habibie mengembangkan lompatan kemajuan, dengan mengirim banyak anak muda untuk belajar ke luar negeri, menampung mereka di berbagai BUMN strategis dan BPPT. Namun, kebijakan itu akhirnya berantakan karena berbagai faktor, termasuk tentangan dari dalam negeri sendiri.
Kemarin, dalam acara bertajuk "National Competitiveness Towards Indonesia 2025", Corporate Vice President Microsoft Corporation, Orlando Ayala, mengatakan kemajuan dan peningkatan daya saing hanya akan terjadi kalau pemerintah mampu menyusun kerangka kebijakan publik yang akan menjadi landasan pengembangan berbagai inovasi.
Pada sisi lain, pemerintah juga harus mampu memainkan peran sebagai penyusun program. Tentu saja, dia berbicara demikian seraya menawarkan penggunaan teknologi ICT (cloud computing) sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan daya saing bangsa.
Kepala BKPM, Gita Wiryawan, pada acara yang sama juga menegaskan harus ada upaya mendorong pembentukan perilaku bangsa untuk meningkatkan daya saing itu. Dasarnya juga kebijakan. Misalnya, katanya, dana untuk penelitian dan pengembangan (R&D) di Indonesia hanya 0,07 persen dari GDP, tidak sampai 1 persen. Dengan dana sekecil itu sangat sulit untuk mendorong inovasi.
Dia mencontohkan seorang pengusaha reparasi lemari es di Indonesia ketika pindah ke Amerika mampu mengembangkan bisnisnya hingga mencapai omzet lebih dari US$ 2 miliar.
Kalau masih di Indonesia, kata Gita, dia akan tetap jadi tukang reparasi lemari es, tapi di Amerika dia sukses karena iklimnya memungkinkan untuk itu. Iklim untuk inovasi itu dimungkinkan bila ada kontrak yang jelas, iklim industri yang jelas, dan dukungan dari siapa saja untuk memastikan suatu keberhasilan.
Jadi, benang merahnya adalah kebijakan yang jelas dan tegas mengenai pengembangan inovasi bagi kemajuan bangsa, mau ke mana kita menuju.
Kalau itu tidak ada, omong-omong tentang daya saing hanya pepesan kosong, bangsa ini akan semata menjadi pasar, kemajuan yang dicapai sifatnya semu (pseudo-modern), atau menurut istilah Yanuar Nugroho "yang dipegang handphone, tetapi perilakunya kenthongan." Demikian pun demokrasi kita hari ini belum membuahkan kemakmuran, karena perilaku politik yang dikembangkan juga tak sesuai dengan budaya demokrasi.
Menjadi pertanyaan kita, di era cleptocracy (ketika banyak pejabat publik jadi pencuri) dan ingar-bingar politik yang tiada henti, sanggupkah kita membangun daya saing itu, atau dapatkah kita menyusun suatu kebijakan kuat yang dapat mendorong bangsa ini ke arah kemajuan?
Saya sendiri meragukannya, apalagi berbagai kegaduhan sekarang ini sebagian disumbangkan oleh faktor kepemimpinan yang lemah. Maka, kita tidak akan ke mana-mana, bisa selamat sampai 2014 saja sudah bagus.
URL Source: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/bangsa-pseudo-modern/
Kristanto Hartadi
Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya