Oleh: Prof Dr Sujono
Di tengah hiruk pikuk kasus yang melanda dunia hukum dan perpolitikan nasional, konsentrasi kita terusik oleh berita terkait hancurnya harga sapi di tingkat lokal beberapa tahun terakhir ini. Kita mulai dari Blitar, disinyalir akibat maraknya sapi impor yang masuk ke wilayah ini, telah terjadi penurunan harga sapi sampai 40 persen dari harga sebelumnya yang berkisar antara Rp 12 juta kini hanya Rp 7-8 juta per ekor.
Berlanjut ke daerah Bangkalan, angka penurunan untuk ukuran sapi sedang berkisar antara Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta per ekor. Sementara ukuran sapi besar berkisar pada angka Rp 2 juta sampai Rp 4 juta per ekor.
Bergeser sedikit ke daerah Pemekasan, puluhan padagang daging sapi di Pasar Polowijo mengeluhkan sepinya pembeli walaupun harga sapi murah, bahkan banyak di antara mereka yang memilih untuk tutup sementara agar kerugian yang lebih besar dapat dihindari. Kenyataan yang sama juga dihadapi oleh sejumlah peternak dan pedagang sapi lokal di Tuban, yang harus terheran-heran ketika harga daging sapi di pasaran masih relatif tinggi, namun justru harga jual sapi anjlok.
Ironi kebijakan impor
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, pemerintah secara resmi telah membuka izin impor daging sapi dari Irlandia, setelah sebelumnya daging sapi impor dari Brasil telah mendahuluinya. Dengan adanya dua izin baru tersebut, tercatat ada empat negara yang mengantongi izin untuk memasukkan daging sapi ke Indonesia, yakni Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Kanada.
Menurut Menteri Pertanian (Mentan), saat ini Indonesia masih mengimpor lebih dari 450 ribu ekor sapi hidup per tahun. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan daging sapi secara nasional masih kurang. Pada tahun lalu saja Indonesia membutuhkan sebanyak 402 ribu ton dan baru terpenuhi sebanyak 260 ribu ton atau sekitar 60 persen. Jelas, sisanya sekitar 152 ton didatangkan dari luar negeri, baik berupa daging maupun sapi potong lewat mekanisme impor.
Masih berkaitan dengan hal tersebut, BPS merilis bahwa Indonesia sampai saat masih kekurangan suplai daging sebesar 74,9 ribu ton per tahun dengan asumsi produksi total sebesar 435,3 ribu ton, sedangkan kebutuhan daging nasional mencapai 510,2 ribu ton per tahun.
Menanggapi protes terkait anjloknya harga sapi akibat tidak terkendalinya impor sapi dan daging di tengah kondisi minus, Mentan telah menerbitkan SPP untuk 25 ribu ton impor daging untuk menutup kekurangan kebutuhan konsumsi daging sepanjang semester I 2011. Dari jumlah tersebut, impor daging yang sudah masuk sepanjang Januari sampai Februari mencapai 8,9 ribu ton. Izin impor untuk semester kedua sebanyak 25 ribu ton dibuka pada 1 April 2011 lalu.
Beberapa waktu lalu, wacana untuk berswasembada daging telah ramai diperbincangkan oleh banyak kalangan, namun justru terkesan kontraproduktif dengan realitas di atas. Alih-alih ingin menutup kekurangan kebutuhan daging nasional dengan mekanisme import, justru yang terjadi adalah menghancurkan bisnis peternakan dan perdagangan sapi di tingkat lokal.
Untuk itu, seharusnya pemerintah perlu memperhatikan minimal dua hal. Pertama, kekurangan akan kebutuhan daging nasional bukan berarti impor menjadi solusi tunggal, namun yang harus dilakukan justru mengoptimalkan potensi peternak lokal di sejumlah daerah dengan berbagai program pembinaan dengan evaluasi yang ketat. Misalnya, dengan membuat sentra-sentra peternakan sapi lokal yang langsung di bawah pengawasan dinas terkait sesuai dengan kebutuhan akan daging sapi di daerah yang bersangkutan.
Hal tersebut perlu dilakukan agar masing-masing daerah memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan daging lokal di daerahnya. Langkah tersebut juga bertujuan untuk meminimalisasi tingkat ketergantungan daerah yang minus tersebut terhadap daerah lain yang mengalami surplus. Dalam pelaksanaan program ini, pemerintah harus melakukan pemetaan kebutuhan daging sapi di masing-masing kabupaten/kota sebagai dasar rujukan dirumuskannya program berswasembada daging yang dimulai dari tingkat daerah.
Langkah tersebut bukan menjadi hal yang sulit. Sebagai contoh adalah Jawa Timur (Jatim), yang telah berhasil menjadi sentra penghasil sapi potong terbesar di Tanah Air, dengan menyumbangkan sekitar 20 persen produksi sapi potong dari total kebutuhan secara nasional. Berdasarkan data Dinas Peternakan setempat, peternak sapi di Jatim saat ini mampu memproduksi 136 ribu ton daging sapi per tahun dengan jumlah kebutuhan sebesar 55 ribu ton per tahun, sehingga ada kelebihan sekitar 81 ribu ton yang dijual ke luar daerah.
Kedua, sudah selayaknya pemerintah membuat standardisasi harga daging sapi, sebagaimana diutarakan oleh sejumlah kelompok peternak sapi potong di wilayah Tuban. Meminjam bahasa mereka, dalam standarisasi harga daging, harga sapi ditentukan dengan sistem tonase, sebab perdagangan sapi dengan menggunakan sistem taksir per ekor membuat para tengkulak sering kali mempermainkan harga sapi di pasaran.
Sebagai konsekuensi dari permainan para tengkulak tersebut, walaupun harga sapi terus mengalami penurunan, harga daging masih relatif mahal. Jika hal tersebut tidak dihiraukan, bisa dipastikan tinggal menunggu waktu saja kapan para peternak sapi lokal di Indonesia akan beralih mata pencaharian. Hal ini dapat dimaklumi, sebab kerugian akibat kebijakan impor oleh pemerintah masih harus terjustifikasi oleh ulah oknum para tengkulak di tengah harga pakan yang semakin melambung saja.
Oleh sebab itu, jika benar-benar serius untuk mengurai dan menuntaskan masalah tersebut, pemerintah butuh komitmen dan keseriusan yang tidak bersifat temporal dan tentatif, yang sering berhenti di tataran wacana dan sidak semata. Larangan ekspor sapi potong oleh Pemerintah Australia mulai 8 Juni 2011 semoga dijadikan tonggak awal oleh pemerintah menuju swasembada daging melalui peningkatan produktivitas sapi lokal dan keseriusan pemerintah memperhatikan nasib peternak. Peternak lokal membutuhkan bukti dan sebuah aksi nyata, bukan apologisasi berbalut pembelaan.
URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/137206/Supremasi_Sapi_Lokal
Prof Dr Sujono
Pembantu Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang, Pengamat Ketahanan Pangan Nasional
Di tengah hiruk pikuk kasus yang melanda dunia hukum dan perpolitikan nasional, konsentrasi kita terusik oleh berita terkait hancurnya harga sapi di tingkat lokal beberapa tahun terakhir ini. Kita mulai dari Blitar, disinyalir akibat maraknya sapi impor yang masuk ke wilayah ini, telah terjadi penurunan harga sapi sampai 40 persen dari harga sebelumnya yang berkisar antara Rp 12 juta kini hanya Rp 7-8 juta per ekor.
Berlanjut ke daerah Bangkalan, angka penurunan untuk ukuran sapi sedang berkisar antara Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta per ekor. Sementara ukuran sapi besar berkisar pada angka Rp 2 juta sampai Rp 4 juta per ekor.
Bergeser sedikit ke daerah Pemekasan, puluhan padagang daging sapi di Pasar Polowijo mengeluhkan sepinya pembeli walaupun harga sapi murah, bahkan banyak di antara mereka yang memilih untuk tutup sementara agar kerugian yang lebih besar dapat dihindari. Kenyataan yang sama juga dihadapi oleh sejumlah peternak dan pedagang sapi lokal di Tuban, yang harus terheran-heran ketika harga daging sapi di pasaran masih relatif tinggi, namun justru harga jual sapi anjlok.
Ironi kebijakan impor
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, pemerintah secara resmi telah membuka izin impor daging sapi dari Irlandia, setelah sebelumnya daging sapi impor dari Brasil telah mendahuluinya. Dengan adanya dua izin baru tersebut, tercatat ada empat negara yang mengantongi izin untuk memasukkan daging sapi ke Indonesia, yakni Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Kanada.
Menurut Menteri Pertanian (Mentan), saat ini Indonesia masih mengimpor lebih dari 450 ribu ekor sapi hidup per tahun. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan daging sapi secara nasional masih kurang. Pada tahun lalu saja Indonesia membutuhkan sebanyak 402 ribu ton dan baru terpenuhi sebanyak 260 ribu ton atau sekitar 60 persen. Jelas, sisanya sekitar 152 ton didatangkan dari luar negeri, baik berupa daging maupun sapi potong lewat mekanisme impor.
Masih berkaitan dengan hal tersebut, BPS merilis bahwa Indonesia sampai saat masih kekurangan suplai daging sebesar 74,9 ribu ton per tahun dengan asumsi produksi total sebesar 435,3 ribu ton, sedangkan kebutuhan daging nasional mencapai 510,2 ribu ton per tahun.
Menanggapi protes terkait anjloknya harga sapi akibat tidak terkendalinya impor sapi dan daging di tengah kondisi minus, Mentan telah menerbitkan SPP untuk 25 ribu ton impor daging untuk menutup kekurangan kebutuhan konsumsi daging sepanjang semester I 2011. Dari jumlah tersebut, impor daging yang sudah masuk sepanjang Januari sampai Februari mencapai 8,9 ribu ton. Izin impor untuk semester kedua sebanyak 25 ribu ton dibuka pada 1 April 2011 lalu.
Beberapa waktu lalu, wacana untuk berswasembada daging telah ramai diperbincangkan oleh banyak kalangan, namun justru terkesan kontraproduktif dengan realitas di atas. Alih-alih ingin menutup kekurangan kebutuhan daging nasional dengan mekanisme import, justru yang terjadi adalah menghancurkan bisnis peternakan dan perdagangan sapi di tingkat lokal.
Untuk itu, seharusnya pemerintah perlu memperhatikan minimal dua hal. Pertama, kekurangan akan kebutuhan daging nasional bukan berarti impor menjadi solusi tunggal, namun yang harus dilakukan justru mengoptimalkan potensi peternak lokal di sejumlah daerah dengan berbagai program pembinaan dengan evaluasi yang ketat. Misalnya, dengan membuat sentra-sentra peternakan sapi lokal yang langsung di bawah pengawasan dinas terkait sesuai dengan kebutuhan akan daging sapi di daerah yang bersangkutan.
Hal tersebut perlu dilakukan agar masing-masing daerah memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan daging lokal di daerahnya. Langkah tersebut juga bertujuan untuk meminimalisasi tingkat ketergantungan daerah yang minus tersebut terhadap daerah lain yang mengalami surplus. Dalam pelaksanaan program ini, pemerintah harus melakukan pemetaan kebutuhan daging sapi di masing-masing kabupaten/kota sebagai dasar rujukan dirumuskannya program berswasembada daging yang dimulai dari tingkat daerah.
Langkah tersebut bukan menjadi hal yang sulit. Sebagai contoh adalah Jawa Timur (Jatim), yang telah berhasil menjadi sentra penghasil sapi potong terbesar di Tanah Air, dengan menyumbangkan sekitar 20 persen produksi sapi potong dari total kebutuhan secara nasional. Berdasarkan data Dinas Peternakan setempat, peternak sapi di Jatim saat ini mampu memproduksi 136 ribu ton daging sapi per tahun dengan jumlah kebutuhan sebesar 55 ribu ton per tahun, sehingga ada kelebihan sekitar 81 ribu ton yang dijual ke luar daerah.
Kedua, sudah selayaknya pemerintah membuat standardisasi harga daging sapi, sebagaimana diutarakan oleh sejumlah kelompok peternak sapi potong di wilayah Tuban. Meminjam bahasa mereka, dalam standarisasi harga daging, harga sapi ditentukan dengan sistem tonase, sebab perdagangan sapi dengan menggunakan sistem taksir per ekor membuat para tengkulak sering kali mempermainkan harga sapi di pasaran.
Sebagai konsekuensi dari permainan para tengkulak tersebut, walaupun harga sapi terus mengalami penurunan, harga daging masih relatif mahal. Jika hal tersebut tidak dihiraukan, bisa dipastikan tinggal menunggu waktu saja kapan para peternak sapi lokal di Indonesia akan beralih mata pencaharian. Hal ini dapat dimaklumi, sebab kerugian akibat kebijakan impor oleh pemerintah masih harus terjustifikasi oleh ulah oknum para tengkulak di tengah harga pakan yang semakin melambung saja.
Oleh sebab itu, jika benar-benar serius untuk mengurai dan menuntaskan masalah tersebut, pemerintah butuh komitmen dan keseriusan yang tidak bersifat temporal dan tentatif, yang sering berhenti di tataran wacana dan sidak semata. Larangan ekspor sapi potong oleh Pemerintah Australia mulai 8 Juni 2011 semoga dijadikan tonggak awal oleh pemerintah menuju swasembada daging melalui peningkatan produktivitas sapi lokal dan keseriusan pemerintah memperhatikan nasib peternak. Peternak lokal membutuhkan bukti dan sebuah aksi nyata, bukan apologisasi berbalut pembelaan.
URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/137206/Supremasi_Sapi_Lokal
Prof Dr Sujono
Pembantu Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang, Pengamat Ketahanan Pangan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya