Radikalisme dan NII sebetulnya hanya dimunculkan kalangan minoritas di kalangan umat Islam di Indonesia.Namun, blow up gerakannya bak gempa berskala Richter tinggi sehingga masyarakat kembali terguncang.
Apalagi dengan banyaknya kasus penculikan dan hipnosis dengan korbannya anak-anak muda sehingga makin membuat khalayak resah. NII dan radikalisme pun sebenarnya masalah lama yang hingga kini belum ada tindakan tegas. NII dan Islam radikal lainnya memiliki ghirah yang sama,yakni impian mendirikan negara Islam.
Negara Islam ditempatkan pada posisi yang sakral, bahkan dianggap tipe ideal bentuk negara yang wajib dibangun kembali oleh umat Islam dewasa ini.Keyakinan ini lebih didasarkan pada pemahaman normatif-ideologis atas sejarah Islam awal. Ideologi NII dan radikalisme ini secara kasatmata pun hendak menyumpahi nasionalisme modern sebagai bid’ah dan hanya menjadi politik Barat untuk memecah-belah Islam dalam bentuk neokolonialisme.
Padahal, selaras dengan konstruksi teoretis Ellie Kedourie dalam Nationalism in Asia and Africa (1971), nasionalisme tetaplah sebagai sebuah ideologi sekuler yang modern dan sebagai “anak kandung” Pencerahan yang khas Eropa. Maraknya kembali ideologi radikalisme ini jelas-jelas bisa mengganggu roh demokrasi dan kebinekaan NKRI.
Jelasnya, adanya NII dan radikalisme membuktikan negara telah kedodoran menghadapi ideologi klandestein tersebut. Pancasila berarti sudah dalam kondisi genting dan ini adalah tamparan keras yang membahayakan bagi ideologi NKRI.
Epistemis Aswaja
Nahdlatul Ulama (NU) sedari kelahirannya merupakan ormas Islam berwatak kebangsaan. Kelahiran NU merupakan bentuk kegairahan luhur para ulama dalam membangun peradaban besar (tamaddun wa altsaqafah). Jiwa kebangsaan NU mengacu pada kekayaan sejarah dan budaya Nusantara.
Paham ini dengan sendirinya mengandung semangat menghargai tradisi, pluralitas budaya, dan martabat manusia sebagai makhluk budaya. Kepatriotan NU dengan sendirinya bermakna bahwa NU memiliki wawasan multikultural yang mengakui manifestasi tradisi yang memiliki hak hidup seperti inti dari paham keislaman aswaja NU.
Sejak awal NU berdiri, ada penanaman empat tradisi bermasyarakat (NU values), yaitu sikap tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleran),tawasut( moderat),dan i’tidal (adil). Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari kebudayaan dan bagi NU kebudayaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah NU yang dalam terawangan Greg Barton,William Liddle, dan Harold Crouch merupakan “nilai lebih” NU.
Kemampuan NU melakukan praksis dalam arti memadukan ajaran Islam tekstual dengan konteks lokalitas dalam kebijakan hidup beragama melahirkan wawasan dan orientasi politik substantif. Cara NU membawa ajaran Islam tidak melalui jalan formalistis, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara frontal, tetapi dengan cara lentur.
Bahkan sebelum nation-state Indonesia terbentuk,arus gerak kebudayaannya telah membentuk komunitas epistemis yang merupakan dialektika ahlussunnah wal jamaa’ah (aswaja) dan tradisi lokal yang melahirkan— meminjam istilah Max Weber—suatu web of meaning (jaringan makna).
Pemadatan semangat di tengah kebengalan gerak zaman telah menjadikan NU—menyitir kata-kata pengamat sosial Emmanuel Subangun— sejauh mata memandang Indonesia, NU jualah yang nampak. Makna kelahiran NU sendiri bila merujuk pada pandangan KH Muhammad Dahlan berakar pada perjuangan anti kolonial. Secara tandas pula KH Saifuddin Zuhri pernah berkata,”Dorongan yang melahirkan konsolidasi NU adalah kesadaran bertanggung jawab kepada Islam,umat Islam,danTanah Air.”
Peneguhan Finalitas NKRI
Bagi NU, yang sekarang berulang tahun ke-85, bentuk NKRI sudah final. Indonesia bukan negara agama, melainkan negara damai (darussalam). Pihak-pihak yang ingin memaksakan berdirinya negara Islam di Indonesia justru tidak memahami sejarah Islam.Padahal, menurut hukum Islam,jika ada gerakan politik yang mengancam kedaulatan negara, hukumnya lebih dari sekadar kriminal, melainkan sudah bughot, pemberontakan. Maka pelakunya harus ditumpas.
Pada 1983 dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo dan dikukuhkan kembali dalam Muktamar NU Ke-28 pada 1984 di kota yang sama,para ulama NU telah menyatakan secara gamblang bahwa Pancasila dan NKRI adalah final. Tokoh NU kharismatik almarhum KH As’ad Syamsul Arifin jauh sebelum Muktamar NU di Situbondo telah dengan keras dan lantang menyatakan bahwa ia akan melawan pihak-pihak yang merongrong keutuhan NKRI.
Oleh karena itu, pernyataan yang dikeluarkan oleh para ulama bahwa Pancasila dan NKRI sudah final pada waktu itu dimaksudkan untuk mengklarifikasi dan memberikan jaminan kepada negara bahwa di kalangan mainstream umat Islam tidak ada lagi pemikiran tentang pembentukan negara Islam.
KH Bisri Syamsuri, salah satu pendiri NU, pernah mengingatkan para kader muda NU agar tetap tegas dalam berpendirian, tetapi tetap luwes dalam menyikapi keadaan negara. Wejangan Kiai Bisri,NU jangan sampai terjebak pada radikalisme dan ekstremisme karena ujung-ujungnya akan menjadi pemberontak seperti DI/TII, PRRI Permesta, PKI.
Menurut Kiai Bisri, sebenci apa pun terhadap pemerintah yang berkuasa, NU tidak boleh melakukan bughot (memberontak) karena ini hukumnya haram. Yang wajib hukumnya bagi NU adalah tetap melakukan amar makruf nahi munkar. Jelaslah bahwa konsep keindonesiaan sudah inheren dalam tubuh NU.
Karena itu, jangan heran kenapa penerimaan Pancasila dan NKRI justru tidak diributkan oleh kalangan NU sendiri. Dengan jiwa besar,NU mengakui Pancasila sebagai asas tunggal dan negara kesatuan RI sebagai bentuk final negara bangsa Indonesia. Sebab, bagiNUpersatuandankesatuan bangsa adalah segala-galanya.
Di sini, dalam pemahaman NU bisa ditandaskan bahwa dalam proses bernegara sangatlah penting mengembangkan demokrasi politik dengan landasan nilai-nilai Islam tanpa harus menggaung dan memadat dalam konsep negara Islam. Sebab, Islam akan tampil pada isinya, bukan kulitnya.
Indonesia dengan konsep Pancasila sesungguhnya sudah mengandung nilai-nilai keislaman.
● MARWAN JA’FAR Ketua Fraksi PKB DPR RI
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/406288/
Apalagi dengan banyaknya kasus penculikan dan hipnosis dengan korbannya anak-anak muda sehingga makin membuat khalayak resah. NII dan radikalisme pun sebenarnya masalah lama yang hingga kini belum ada tindakan tegas. NII dan Islam radikal lainnya memiliki ghirah yang sama,yakni impian mendirikan negara Islam.
Negara Islam ditempatkan pada posisi yang sakral, bahkan dianggap tipe ideal bentuk negara yang wajib dibangun kembali oleh umat Islam dewasa ini.Keyakinan ini lebih didasarkan pada pemahaman normatif-ideologis atas sejarah Islam awal. Ideologi NII dan radikalisme ini secara kasatmata pun hendak menyumpahi nasionalisme modern sebagai bid’ah dan hanya menjadi politik Barat untuk memecah-belah Islam dalam bentuk neokolonialisme.
Padahal, selaras dengan konstruksi teoretis Ellie Kedourie dalam Nationalism in Asia and Africa (1971), nasionalisme tetaplah sebagai sebuah ideologi sekuler yang modern dan sebagai “anak kandung” Pencerahan yang khas Eropa. Maraknya kembali ideologi radikalisme ini jelas-jelas bisa mengganggu roh demokrasi dan kebinekaan NKRI.
Jelasnya, adanya NII dan radikalisme membuktikan negara telah kedodoran menghadapi ideologi klandestein tersebut. Pancasila berarti sudah dalam kondisi genting dan ini adalah tamparan keras yang membahayakan bagi ideologi NKRI.
Epistemis Aswaja
Nahdlatul Ulama (NU) sedari kelahirannya merupakan ormas Islam berwatak kebangsaan. Kelahiran NU merupakan bentuk kegairahan luhur para ulama dalam membangun peradaban besar (tamaddun wa altsaqafah). Jiwa kebangsaan NU mengacu pada kekayaan sejarah dan budaya Nusantara.
Paham ini dengan sendirinya mengandung semangat menghargai tradisi, pluralitas budaya, dan martabat manusia sebagai makhluk budaya. Kepatriotan NU dengan sendirinya bermakna bahwa NU memiliki wawasan multikultural yang mengakui manifestasi tradisi yang memiliki hak hidup seperti inti dari paham keislaman aswaja NU.
Sejak awal NU berdiri, ada penanaman empat tradisi bermasyarakat (NU values), yaitu sikap tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleran),tawasut( moderat),dan i’tidal (adil). Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari kebudayaan dan bagi NU kebudayaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah NU yang dalam terawangan Greg Barton,William Liddle, dan Harold Crouch merupakan “nilai lebih” NU.
Kemampuan NU melakukan praksis dalam arti memadukan ajaran Islam tekstual dengan konteks lokalitas dalam kebijakan hidup beragama melahirkan wawasan dan orientasi politik substantif. Cara NU membawa ajaran Islam tidak melalui jalan formalistis, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara frontal, tetapi dengan cara lentur.
Bahkan sebelum nation-state Indonesia terbentuk,arus gerak kebudayaannya telah membentuk komunitas epistemis yang merupakan dialektika ahlussunnah wal jamaa’ah (aswaja) dan tradisi lokal yang melahirkan— meminjam istilah Max Weber—suatu web of meaning (jaringan makna).
Pemadatan semangat di tengah kebengalan gerak zaman telah menjadikan NU—menyitir kata-kata pengamat sosial Emmanuel Subangun— sejauh mata memandang Indonesia, NU jualah yang nampak. Makna kelahiran NU sendiri bila merujuk pada pandangan KH Muhammad Dahlan berakar pada perjuangan anti kolonial. Secara tandas pula KH Saifuddin Zuhri pernah berkata,”Dorongan yang melahirkan konsolidasi NU adalah kesadaran bertanggung jawab kepada Islam,umat Islam,danTanah Air.”
Peneguhan Finalitas NKRI
Bagi NU, yang sekarang berulang tahun ke-85, bentuk NKRI sudah final. Indonesia bukan negara agama, melainkan negara damai (darussalam). Pihak-pihak yang ingin memaksakan berdirinya negara Islam di Indonesia justru tidak memahami sejarah Islam.Padahal, menurut hukum Islam,jika ada gerakan politik yang mengancam kedaulatan negara, hukumnya lebih dari sekadar kriminal, melainkan sudah bughot, pemberontakan. Maka pelakunya harus ditumpas.
Pada 1983 dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo dan dikukuhkan kembali dalam Muktamar NU Ke-28 pada 1984 di kota yang sama,para ulama NU telah menyatakan secara gamblang bahwa Pancasila dan NKRI adalah final. Tokoh NU kharismatik almarhum KH As’ad Syamsul Arifin jauh sebelum Muktamar NU di Situbondo telah dengan keras dan lantang menyatakan bahwa ia akan melawan pihak-pihak yang merongrong keutuhan NKRI.
Oleh karena itu, pernyataan yang dikeluarkan oleh para ulama bahwa Pancasila dan NKRI sudah final pada waktu itu dimaksudkan untuk mengklarifikasi dan memberikan jaminan kepada negara bahwa di kalangan mainstream umat Islam tidak ada lagi pemikiran tentang pembentukan negara Islam.
KH Bisri Syamsuri, salah satu pendiri NU, pernah mengingatkan para kader muda NU agar tetap tegas dalam berpendirian, tetapi tetap luwes dalam menyikapi keadaan negara. Wejangan Kiai Bisri,NU jangan sampai terjebak pada radikalisme dan ekstremisme karena ujung-ujungnya akan menjadi pemberontak seperti DI/TII, PRRI Permesta, PKI.
Menurut Kiai Bisri, sebenci apa pun terhadap pemerintah yang berkuasa, NU tidak boleh melakukan bughot (memberontak) karena ini hukumnya haram. Yang wajib hukumnya bagi NU adalah tetap melakukan amar makruf nahi munkar. Jelaslah bahwa konsep keindonesiaan sudah inheren dalam tubuh NU.
Karena itu, jangan heran kenapa penerimaan Pancasila dan NKRI justru tidak diributkan oleh kalangan NU sendiri. Dengan jiwa besar,NU mengakui Pancasila sebagai asas tunggal dan negara kesatuan RI sebagai bentuk final negara bangsa Indonesia. Sebab, bagiNUpersatuandankesatuan bangsa adalah segala-galanya.
Di sini, dalam pemahaman NU bisa ditandaskan bahwa dalam proses bernegara sangatlah penting mengembangkan demokrasi politik dengan landasan nilai-nilai Islam tanpa harus menggaung dan memadat dalam konsep negara Islam. Sebab, Islam akan tampil pada isinya, bukan kulitnya.
Indonesia dengan konsep Pancasila sesungguhnya sudah mengandung nilai-nilai keislaman.
● MARWAN JA’FAR Ketua Fraksi PKB DPR RI
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/406288/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya