Kamis, 23 Juni 2011

Krisis Kejujuran dalam Pendidikan

Oleh: Indra Yusuf
Koordinator Wilayah Asosiasi Guru Penulis PGR Jawa Barat


Pahitnya kejujuran telah dialami keluarga Siami, warga Kelurahan Gadel, Kecamatan Tandes, Surabaya, Jawa Timur. Kini, ia sekeluarga terusir dari lingkungan rumah tempat tinggalnya. Ini merupakan konsekuensi atas sikapnya untuk mengungkapkan kejujuran terkait dengan adanya upaya menyontek massal pada saat pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di SDN Gadel II pada Mei lalu.

Hal ini bermula ketika putra Siami yang bernama Alifah Ahmad Maulana mengaku dipaksa oleh gurunya untuk memberikan sontekan kepada teman-temanya pada saat UN. Hal ini yang membuat nurani sang ibu berinisiatf melaporkan kasus ini ke dinas pendidikan setempat dengan diketahui media massa, hingga akhirnya ia dan keluarganya terusir.

Alifah Ahmad Maulana adalah siswa yang tergolong pandai menurut gurunya sehingga dialah yang dijadikan alat untuk melakukan tindakan menyontek massal tersebut. Tentu, anak seusia SD masihlah memiliki sifat yang polos dan lugu sehingga apa yang ia lakukan jika tidak sesuai dengan apa yang diajarkan atau dicontohkan kedua orang tuanya, ia akan segera mengutarakannya. Berbeda dengan anak usia SMP atau SMA yang mulai menginjak remaja.

Sungguh sangat ironis di tengah gaung pendidikan karakter yang baru saja dicanangkan Menteri Pendidikan Nasional, seorang guru telah memberikan teladan buruk tentang nilai ketidakjujuran kepada siswanya. Terlebih lagi, mereka adalah anak-anak yang sedang membutuhkan contoh dan teladan dari orang tua, guru, dan masyarakatnya. Seharusnya, kita sadar anak-anak merupakan harapan bangsa untuk memperbaiki masa depan yang lebih baik.

Pendidikan yang seharusnya menyemai benih kejujuran, kini malah menyemai benih ketidakjujuran, kemunafikan, kecurangan, dan cara instan. Pendidikan yang seharusnya membangun fondasi moral bangsa, kini malah meruntuhkan moral generasi penerus bangsa. Agaknya, nilai kejujuran dalam dunia pendidikan masih menjadi sesuatu yang amat mahal. Kejujuran mudah dikatakan, tetapi sangat sulit untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ironisnya, ketidakjujuran dalam dunia pendidikan sering dianggap sebagai suatu strategi untuk mencapai tujuan tertentu sehingga yang berlaku adalah prinsip menghalakan berbagai macam cara untuk mencapai tujuan tertentu.

Atas kasus ini, setidaknya menambah deret panjang persoalan UN dan semakin menegaskan bahwa kecurangan yang terjadi bukan merupakan kasuistik, melainkan kecurangan yang sistematis dan diduga merebak di berbagai daerah dengan modus yang berbeda-beda. Kecurangan yang terjadi kerap sulit untuk dapat dibuktikan karena dalam hal ini lebih banyak pihak yang diuntungkan. Dengan demikian, kecurangan seakan dianggap tidak ada atau ditindaklanjuti.
Bagi mereka yang berani mengungkapkan kecurangan dalam setiap pelaksanaan UN bukanlah dianggap sebagai pahlawan nurani pendidikan atau pahlawan kejujuran, melainkan korban nurani kejujuran pendidikan yang akan bernasib tragis, seperti yang kini menimpa keluarga Siami. Akibatnya, masyarakat semakin takut untuk mengungkapkan fakta-fakta kecurangan yang ada. Karena, itu justru akan mempersulit diri dan keluargannya.

Kita pun tentu masih ingat pada sekolompok guru yang menamakan dirinya "Komunitas Air Mata Guru" beberapa tahun lalu. Yakni, suatu kelompok guru yang telah berani mengikuti dan menyuarakan nurani kejujurannya sebagai seorang pendidik sejati. Komunitas guru tersebut berani melaporkan berbagai macam perilaku dan tindakan kecurangan UN beberapa sekolah di Medan. Mereka mendapatkan intimidasi secara fisik maupun mental karena dianggap telah mencemarkan nama baik sekolah dan daerah. Mereka dinonaktifkan mengajar, ditunda kenaikan pangkatnya, hingga diberhentikan dari sekolahnya.

Kalau kita tanyakan pada hati nurani kita, tentu kita akan paham apa yang terjadi sebenarnya. Hanya saja, mereka menutup mata terhadap terjadinya berbagai macam kecurangan yang ada di lapangan. Mereka hanya tahu bahwa kebijakan pelaksanaan UN dapat menjadi alat pemetaan pendidikan yang selanjutnya berguna untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Sedangkan bagi daerah, keberhasilan UN merupakan keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan sehingga kepala daerah pun sangat berkepentingan terhadap kesuksesan UN setiap tahunnya.

Kita lihat saja hasil UN SMP dan SMA sederajat yang hampir di setiap daerah tingkat kelulusannya 100 persen ditambah dengan nilai-nilai spektakuler. Padahal, hasil nilai ulangan harian saja atau ujian kenaikan kelas, bahkan try out UN sekali pun selalu berbalik terbalik hasilnya. Faktanya pada setiap penyelenggaraan try out UN yang memiliki tingkat kesulitan soal relatif sama dengan soal UN, tingkat kelulusannya selalu rendah, hanya sekitar 20 persen, bahkan kurang dari itu.

Tentu, ini dapat menjadi bahan kajian dan penelitian bagi para pakar pendidikan. Karena hanya dalam hitungan hari, guru yang bersangkutan mampu memacu kemajuan hasil belajar para siswa sehingga mampu mendongkrak persentase tingkat kelulusan yang sangat fantastis.

Saat pelaksanaan UN, hampir semua siswa mampu menunjukkan prestasinya yang sangat gemilang. Bahkan, tidak sedikit para siswa yang mendapatakan nilai sempurna, yakni 10. Metode pembelajaran apakah yang diterapkan oleh gurunya? Tentu, itu yang menjadi tanda tanya besar bagi kita semua.

Becermin pada persoalan Siami, tampaknya masyarakat kita sedang sakit atau dalam bahasa sosiologi dikenal dengan patologi sosial. Dalam masyarakat kita telah terjadi pergeseran nilai-nilai sosial dan budaya yang pada intinya mengacu pada bentuk penyimpangan dari berbagai bentuk norma kebiasaan dan tingkah laku di mana dianggap sebagai sesuatu yang tidak normal dalam masyarakat. Sesuatu yang benar dianggap salah dan tidak lazim, sedangkan sesuatu yang melanggar aturan dianggap lazim dan dapat diterima masyarakat.

Budaya kejujuran dalam masyarakat Indonesia tampaknya saat ini sedang berada pada titik nadir. Rendahnya tingkat ketidakkejujuran masyarakat menunjukkan pula rendahnya kecerdasan spiritual (spiritual quotient) masyarakat. Untuk membangun kembali budaya kejujuran diperlukan suatu kontrol sebagaimana yang dijelaskan oleh Karl Raimund Popper. Kontrol tersebut terdiri atas kontrol internal dan eksternal.

Kontrol internal, yakni adanya disposisi batin, keutamaan, dan kesediaan mengikuti hati nurani yang bersih serta kesediaan mengevaluasi diri. Kontrol ini bisa dimulai dari pendidikan dalam keluarga sebagaimana yang berhasil ditanamkan dalam keluarga Siami tentang nilai-nilai kejujuran. Sedangkan kontrol eksternal, adalah dorongan ketaatan pada hukum, norma sosial, dan kesadaran serta tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/137377/Krisis_Kejujuran_dalam_Pendidi

Indra Yusuf
Koordinator Wilayah Asosiasi Guru Penulis PGR Jawa Bara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...