Setelah berbulan-bulan menerima laporan mengenai kerusuhan di dunia Arab kita mengabaikan satu hal penting: setiap negara yang dilanda pemberontakan menganut sistem republik, sedangkan monarki (yang umumnya terletak di Semenanjung Arab,GCC) tetap utuh.
Perbedaan antara Libya atau Tunisia dengan Arab Saudi atau Uni Emirat Arab bukan hanya terletak pada posisi geografis, ada masalah fundamental di balik itu.Libya dan Tunisia adalah negara yang menganut demokrasi formal dengan tipe republikan (yang pada dasarnya mempromosikan pan-Arabisme).
Sebaliknya,Arab Saudi dan Uni Emirat Arab adalah bukti hidup sistem autokrasi dengan jenis monarki yang mewariskan kekuasaan secara turun-temurun. Keduanya lebih dekat ke kanan Islam daripada ideologi pan-Arabisme. Sejak merdeka, Tunisia, Libya, atau Mesir secara formal menjalankan proses pemilihan yang demokratis yang juga diterapkan dalam sistem kelembagaan eksekutif,yudikatif,dan legislatif.
Meskipun dalam kenyataannya demokrasi mereka sering dijalankan oleh struktur kekuasaan yang terpusat pada pemimpin partai berkuasa dengan berbagai nama yang pada dasarnya sama seperti guardian of revolution atau jenis lain dari ‘father of the nation’.
Sementara sistem monarki otoriter telah sejak lama diperintah langsung oleh raja (dan berbagai sebutan lainnya) tanpa ada pemilihan lembaga-lembaga negara secara demokratis.
Transisi
Analisis sejarah politik modern memberi kita peringatan tegas bahwa negara paling terbuka dan paling rentan adalah negara yang sedang melakukan transisi dari demokrasi formal ke demokrasi yang sesungguhnya. Rezim despotik absolut selalu cepat,brutal,dan memaksa dalam menekan pemberontakan rakyat demi mempertahankan kekuasaan.
Memang, ada yang setelah beberapa dekade terpaksa mengikuti keinginan rakyat untuk mengakui penegakan HAM. Namun itu pun setelah tak sanggup melawan keinginan rakyat banyak. Sumber legitimasi utama rezim otoriter adalah kemampuan untuk melakukan represi melalui berbagai alat negara yang ada di mana-mana dan memiliki mandat tak terbatas (polisi, penjaga kerajaan, militer).
Kekuasaan itu bukan dari dukungan rakyat yang secara demokratis yang diperebutkan dalam sistem multipartai. Pemerintahan yang lahir dalam suasana demokrasi substansial— dengan lembaga- lembaga yang terkonsolidasi baik, serta sektor sipil dan budaya partisipasi politik yang matan—menikmati legitimasi yang lebih besar.
Mereka adalah orang yang dipilih oleh rakyat dan mampu menggunakan saluran mana pun untuk menyelesaikan berbagai isu miring terkait pemerintahan dalam proses politik mainstream. Lembaga-lembaga demokrasi berbasis partisipasi politik tinggi juga meningkatkan transparansi keputusan politik tertentu.
Mereka mampu menempatkan batasan kekuasaan yang diperlukan pada cabang eksekutif/ kepresidenan. Sistem demokrasi yang terkonsolidasi dapat menerjemahkan protes massal dari demonstrasi jalanan ke suatu proses demokratis, partisipatif, yang dilembagakan secara sosio-ekonomi dengan reformasi politik yang kompromistis.
Tujuannya adalah untuk memenuhi kepentingan minimal sebagian besar masyarakat yang merupakan stakeholder negara. Di lain pihak,rezim otoriter akan secara brutal menghantam semua bentuk protes. Mereka akan menyebarkan tentara dan polisi mengintimidasi pemrotes tanpa ragu untuk mempertahankan status quo (misalnya yang terjadi di Bahrain).
Bahkan jika protes jalanan dapat menaklukkan kekuatan rezim, maka transformasi yang dilakukan akan lebih bersifat pribadi alih-alih perubahan struktural, misalnya dengan berbagai janji dari rezim terhadap pemprotes. Militer sebagai salah saktu aktor pun sering bertindak pragmatis.
Sering sekali terjadi pasukan bersenjata memutuskan untuk mengalihkan dukungan mereka ke protes jalanan yang menguat, sementara secara substansial transisi demokrasi malah terbajak. Dalam transisi dari demokrasi formal ke demokrasi substansial— dengan institusi yang berkembang lambat dan budaya politik yang masih berevolusi—pemberontakan jalanan menghadapi tantangan yang sangat membosankan.
Mereka tidak bisa membawa semua agenda protes jalanan ke dalam proses institusional yang semestinya. Situasi mengambang itu yang saat ini kita saksikan di Mesir dan Tunisia.
Kebebasan
Dalam mayoritas pergolakan, para pengunjuk rasa (terorganisir atau spontan) umumnya tidak berpengalaman. Kadang mereka menjadi tergagap- gagap ketika akhirnya mampu menggulingkan rezim otoriter. Bagaimanapun kebebasan lebih kompleks daripada sebuah ajakan Facebook atau seruan yang dikumandangkan lewat Aljazeera.
Inti dari kebebasan bukan hanya bebas memilih, melainkan memikul tanggung jawab penuh untuk pilihan yang dibuat. Mengangkat senjata dan memblokade jalan-jalan vital di kota selama berbulan-bulan bukan merupakan ekspresi kebebasan ataupun pilihan demokratis. Itu adalah bentuk anarki autarkis yang tidak bertanggung jawab.
Membuat pilihan tanpa konsekuensi adalah anarki.Dengan logika yang sama, demokrasi bukan hanya slogan lemah dari situs jaringan sosial, yang belakangan mengilhami dan memobilisasi para demonstran jalanan. Demokrasi bukan sebuah acara keramaian yang menghipnotis massa secara sesaat.
Demokrasi adalah prosedur dan konten. Secara tradisional hak pilih pasif dan aktif (untuk dipilih dan memilih) digambarkan sebagai pencapaian utama dari demokrasi. Berkaca pada hal itu,pemboikotan pemilihan umum adalah sebuah aksi untuk menghambat pelaksanaan hak politik paling mendasar.
Saya sering menjelaskan kepada mahasiswa bahwa ada perbedaan substansial antara tinggal di rumah dengan datang ke tempat pemungutan suara dan mencoret kesemua pilihan (golput). Efeknya sama, tapi pesannya berbeda.Perbedaannya, yang pertama kita absen, tidak terikat, dan tidak peduli; yang kedua kita berpartisipasi tapi tidak setuju dengan pilihan yang ditawarkan.
Demokrasi merupakan kontrak sosial yang mengikat semua segmen horizontal dan vertikal masyarakat. Ini adalah cara yang benar-benar komprehensif dan berkelanjutan untuk memahami masa lalu, keberadaan, dan masa depan bangsa. Bersambung
● ANIS H BAJREKTAREVIC Professor and Chairperson International Law/Global Political Studies, IMC Universitiy of Applied Sciences Krems
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/407881/
Perbedaan antara Libya atau Tunisia dengan Arab Saudi atau Uni Emirat Arab bukan hanya terletak pada posisi geografis, ada masalah fundamental di balik itu.Libya dan Tunisia adalah negara yang menganut demokrasi formal dengan tipe republikan (yang pada dasarnya mempromosikan pan-Arabisme).
Sebaliknya,Arab Saudi dan Uni Emirat Arab adalah bukti hidup sistem autokrasi dengan jenis monarki yang mewariskan kekuasaan secara turun-temurun. Keduanya lebih dekat ke kanan Islam daripada ideologi pan-Arabisme. Sejak merdeka, Tunisia, Libya, atau Mesir secara formal menjalankan proses pemilihan yang demokratis yang juga diterapkan dalam sistem kelembagaan eksekutif,yudikatif,dan legislatif.
Meskipun dalam kenyataannya demokrasi mereka sering dijalankan oleh struktur kekuasaan yang terpusat pada pemimpin partai berkuasa dengan berbagai nama yang pada dasarnya sama seperti guardian of revolution atau jenis lain dari ‘father of the nation’.
Sementara sistem monarki otoriter telah sejak lama diperintah langsung oleh raja (dan berbagai sebutan lainnya) tanpa ada pemilihan lembaga-lembaga negara secara demokratis.
Transisi
Analisis sejarah politik modern memberi kita peringatan tegas bahwa negara paling terbuka dan paling rentan adalah negara yang sedang melakukan transisi dari demokrasi formal ke demokrasi yang sesungguhnya. Rezim despotik absolut selalu cepat,brutal,dan memaksa dalam menekan pemberontakan rakyat demi mempertahankan kekuasaan.
Memang, ada yang setelah beberapa dekade terpaksa mengikuti keinginan rakyat untuk mengakui penegakan HAM. Namun itu pun setelah tak sanggup melawan keinginan rakyat banyak. Sumber legitimasi utama rezim otoriter adalah kemampuan untuk melakukan represi melalui berbagai alat negara yang ada di mana-mana dan memiliki mandat tak terbatas (polisi, penjaga kerajaan, militer).
Kekuasaan itu bukan dari dukungan rakyat yang secara demokratis yang diperebutkan dalam sistem multipartai. Pemerintahan yang lahir dalam suasana demokrasi substansial— dengan lembaga- lembaga yang terkonsolidasi baik, serta sektor sipil dan budaya partisipasi politik yang matan—menikmati legitimasi yang lebih besar.
Mereka adalah orang yang dipilih oleh rakyat dan mampu menggunakan saluran mana pun untuk menyelesaikan berbagai isu miring terkait pemerintahan dalam proses politik mainstream. Lembaga-lembaga demokrasi berbasis partisipasi politik tinggi juga meningkatkan transparansi keputusan politik tertentu.
Mereka mampu menempatkan batasan kekuasaan yang diperlukan pada cabang eksekutif/ kepresidenan. Sistem demokrasi yang terkonsolidasi dapat menerjemahkan protes massal dari demonstrasi jalanan ke suatu proses demokratis, partisipatif, yang dilembagakan secara sosio-ekonomi dengan reformasi politik yang kompromistis.
Tujuannya adalah untuk memenuhi kepentingan minimal sebagian besar masyarakat yang merupakan stakeholder negara. Di lain pihak,rezim otoriter akan secara brutal menghantam semua bentuk protes. Mereka akan menyebarkan tentara dan polisi mengintimidasi pemrotes tanpa ragu untuk mempertahankan status quo (misalnya yang terjadi di Bahrain).
Bahkan jika protes jalanan dapat menaklukkan kekuatan rezim, maka transformasi yang dilakukan akan lebih bersifat pribadi alih-alih perubahan struktural, misalnya dengan berbagai janji dari rezim terhadap pemprotes. Militer sebagai salah saktu aktor pun sering bertindak pragmatis.
Sering sekali terjadi pasukan bersenjata memutuskan untuk mengalihkan dukungan mereka ke protes jalanan yang menguat, sementara secara substansial transisi demokrasi malah terbajak. Dalam transisi dari demokrasi formal ke demokrasi substansial— dengan institusi yang berkembang lambat dan budaya politik yang masih berevolusi—pemberontakan jalanan menghadapi tantangan yang sangat membosankan.
Mereka tidak bisa membawa semua agenda protes jalanan ke dalam proses institusional yang semestinya. Situasi mengambang itu yang saat ini kita saksikan di Mesir dan Tunisia.
Kebebasan
Dalam mayoritas pergolakan, para pengunjuk rasa (terorganisir atau spontan) umumnya tidak berpengalaman. Kadang mereka menjadi tergagap- gagap ketika akhirnya mampu menggulingkan rezim otoriter. Bagaimanapun kebebasan lebih kompleks daripada sebuah ajakan Facebook atau seruan yang dikumandangkan lewat Aljazeera.
Inti dari kebebasan bukan hanya bebas memilih, melainkan memikul tanggung jawab penuh untuk pilihan yang dibuat. Mengangkat senjata dan memblokade jalan-jalan vital di kota selama berbulan-bulan bukan merupakan ekspresi kebebasan ataupun pilihan demokratis. Itu adalah bentuk anarki autarkis yang tidak bertanggung jawab.
Membuat pilihan tanpa konsekuensi adalah anarki.Dengan logika yang sama, demokrasi bukan hanya slogan lemah dari situs jaringan sosial, yang belakangan mengilhami dan memobilisasi para demonstran jalanan. Demokrasi bukan sebuah acara keramaian yang menghipnotis massa secara sesaat.
Demokrasi adalah prosedur dan konten. Secara tradisional hak pilih pasif dan aktif (untuk dipilih dan memilih) digambarkan sebagai pencapaian utama dari demokrasi. Berkaca pada hal itu,pemboikotan pemilihan umum adalah sebuah aksi untuk menghambat pelaksanaan hak politik paling mendasar.
Saya sering menjelaskan kepada mahasiswa bahwa ada perbedaan substansial antara tinggal di rumah dengan datang ke tempat pemungutan suara dan mencoret kesemua pilihan (golput). Efeknya sama, tapi pesannya berbeda.Perbedaannya, yang pertama kita absen, tidak terikat, dan tidak peduli; yang kedua kita berpartisipasi tapi tidak setuju dengan pilihan yang ditawarkan.
Demokrasi merupakan kontrak sosial yang mengikat semua segmen horizontal dan vertikal masyarakat. Ini adalah cara yang benar-benar komprehensif dan berkelanjutan untuk memahami masa lalu, keberadaan, dan masa depan bangsa. Bersambung
● ANIS H BAJREKTAREVIC Professor and Chairperson International Law/Global Political Studies, IMC Universitiy of Applied Sciences Krems
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/407881/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya