Tanggal 1 Juni 1945 menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kala itu bangsa Indonesia menentukan Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia menggunakan Pancasila karena satu-satunya dasar negara yang bisa mempersatukan bangsa.
Para pendiri bangsa Indonesia tidak memilih negara agama, karena tidak cocok diterapkan di negara multiagama seperti Indonesia. Negara agama hanya cocok di negara monoagama seperti di Timur Tengah dan Vatikan (Katolik). Bagi Indonesia, status dan fungsi Pancasila sebagai falsafah bangsa, ideologi dan dasar negara, sumber hukum dan konstitusi, pemersatu bangsa, serta pembeda antara negara agama dan negara sekuler.
Sayangnya, semenjak lahir sampai sekarang, Pancasila yang dipilih sebagai dasar negara belum membumi secara ideal dan optimal di Indonesia. Pancasila lahir pada 1945, tapi pada 1948 sudah ada pemberontakan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun yang ingin mengganti Pancasila dan membawa Indonesia ke ideologi komunis.
Selanjutnya, pada 1949 mulai ada gerakan DI/TII yang juga ingin mengganti ideologi Pancasila dengan mendirikan negara Islam di Indonesia. Sedangkan pada 1949 ada maklumat pembentukan multipartai yang membawa arus liberalisme ke Indonesia sehingga Pemilu 1955 melahirkan konstituante yang berisi pertikaian ideologi antara negara Islam, negara Pancasila, dan sosiodemokrasi.
Hal itu akhirnya berujung pada kembalinya Indonesia ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Selanjutnya, pada 1960 sampai 1966,bangsa Indonesia dilingkupi suasana revolusi.Pada 1967 sampai 1898 Indonesia dikuasai Orde Baru dengan Soeharto sebagai pemimpinnya.
Saat orde ini berkuasa, Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Pendidikan dan Pengamalan Pancasila (P4) dilaksanakan secara normatif artifisial. Pada Era Reformasi Pancasila semakin terpinggirkan karena didesak reformasi yang menjadikan demokrasi dan HAM sebagai panglima, tanpa ada keseimbangan dengan kewajiban kebangsaan.
Kendala Sistemik
Disadari atau tidak, sekarang ini ada kendala besar yang bersifat sistemik dalam upaya penegakan Pancasila. Sistem yang berlaku justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Reformasi juga melahirkan sistem yang terlalu longgar dan liberal bagi masuknya ideologi yang merusak nilai-nilai Pancasila. Parahnya, di kalangan generasi muda, tidak diajarkan sejarah Indonesia secara efektif.
Hal itu diperparah dengan adanya pembaratan budaya dan tidak adanya civic education yang efektif. Akibat dari longgarnya sistem hasil reformasi, Indonesia kini menjadi “pasar” multiideologi global dari segala arah tanpa ada penyaringan. Gerakan ideologi transnasional masuk ke Indonesia dengan membawa wacana baru,yaitu mengganti Pancasila dengan konsep negara Islam dan khilafah.
Wacana ini cepat atau lambat akan mengancam Pancasila dan NKRI.Ancaman yang sama juga datang dari ajaran liberalisme dan atheisme. Gerakan radikalisme agama juga masuk ke Indonesia bersamaan dengan munculnya pergolakan di Timur Tengah. Gerakan ini sudah sangat membahayakan NKRI dan Pancasila. Terlebih, gerakan itu dilakukan oleh gerakan transnasional politik negara lain yang menggunakan jalur ideologi garis keras.
Gerakan ini telah merekrut banyak lapisan mulai dari la-pisan orang bodoh yang dimilitankan sampai intelektual muda yang dibelokkan pemikiran keagamaannya. Karena itulah, penanganan komprehensif oleh pemerintah sudah sangat mendesak untuk dilakukan. Kini bangsa Indonesia perlu mengadakan reviu, apakah sistem yang lahir saat ini telah sejalan dengan nilai-nilai yang dikehendaki Pancasila atau belum.
Misalnya, apakah penjualan aset-aset negara/BUMN ke perorangan sesuai dengan sila kelima? Pertanyaan selanjutnya, apakah otonomi/otonomi khusus sesuai dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Apakah karut-marut hukum sekarang ini termasuk pancasilais? Benarkah saat ini ada demokrasi kerakyatan, atau yang terjadi malah demokrasi transaksional? Pancasilaiskah semuanya itu?
Miskin Leadership
Disadari atau tidak, faktor leadership dan keteladanan belum menunjang penegakan nilai-nilai Pancasila. Problem sebenarnya ada pada trias politika, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Untuk itu, pemimpin Indonesia sekarang ini harus punya ketegasan. Jangan melakukan pembiaran atas perusakan nilai-nilai Pancasila.
Indonesia akan menjadi bangsa dan negara yang adil dan makmur jika nilai-nilai Pancasila bisa diterapkan dengan baik. Sistem yang liberal sekarang ini perlu segera dirapikan. Kuncinya, Indonesia harus dipimpin orang yang jujur,tegas,kompeten,dan bertanggung jawab.
Bagi sebagian gerakan yang ingin formalisasi Islam, berislamlah dengan seislam-islamnya, tapi dalam bingkai Negara Pancasila.Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang bergolak di Timur Tengah seperti Mesir,Yaman,Libya,dan sejumlah negara lainnya. Negara-negara tersebut umumnya adalah negara Islam.
Namun, karena nilai-nilaiIslamtidakdijalankan dengan baik, rakyat kemudian melakukan perlawanan terhadap pemimpinnya. Rasulullah tidak menentukan bentuk negara, tapi nilai dan norma di semua bentuk negara. Bentuk negara itu ijtihad (pemikiran), dan konsensus sesuai dengan waktu dan tempat negara, dan kemaslahatan umat.
Baik bentuk negara Islam maupun Pancasila itu samasama ijtihad. Artinya, Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam, karena hal yang terpenting adalah masuknya nilainilai Islam tertampung dalam sistem Pancasila. Hingga kini gerakan yang terlibat dalam pembentukan negara Pancasila masih setia mengawal Pancasila.
Gerakan yang mempersoalkan Pancasila baru datang belakangan ini.Bagi Nahdlatul Ulama (NU) yang terlibat dalam pembentukan negara, Pancasila dan NKRI sudah final.
● A HASYIM MUZADI Pengasuh Ponpes Al-Hikam Malang dan Depok
Sumber:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/404126/
Para pendiri bangsa Indonesia tidak memilih negara agama, karena tidak cocok diterapkan di negara multiagama seperti Indonesia. Negara agama hanya cocok di negara monoagama seperti di Timur Tengah dan Vatikan (Katolik). Bagi Indonesia, status dan fungsi Pancasila sebagai falsafah bangsa, ideologi dan dasar negara, sumber hukum dan konstitusi, pemersatu bangsa, serta pembeda antara negara agama dan negara sekuler.
Sayangnya, semenjak lahir sampai sekarang, Pancasila yang dipilih sebagai dasar negara belum membumi secara ideal dan optimal di Indonesia. Pancasila lahir pada 1945, tapi pada 1948 sudah ada pemberontakan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun yang ingin mengganti Pancasila dan membawa Indonesia ke ideologi komunis.
Selanjutnya, pada 1949 mulai ada gerakan DI/TII yang juga ingin mengganti ideologi Pancasila dengan mendirikan negara Islam di Indonesia. Sedangkan pada 1949 ada maklumat pembentukan multipartai yang membawa arus liberalisme ke Indonesia sehingga Pemilu 1955 melahirkan konstituante yang berisi pertikaian ideologi antara negara Islam, negara Pancasila, dan sosiodemokrasi.
Hal itu akhirnya berujung pada kembalinya Indonesia ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Selanjutnya, pada 1960 sampai 1966,bangsa Indonesia dilingkupi suasana revolusi.Pada 1967 sampai 1898 Indonesia dikuasai Orde Baru dengan Soeharto sebagai pemimpinnya.
Saat orde ini berkuasa, Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Pendidikan dan Pengamalan Pancasila (P4) dilaksanakan secara normatif artifisial. Pada Era Reformasi Pancasila semakin terpinggirkan karena didesak reformasi yang menjadikan demokrasi dan HAM sebagai panglima, tanpa ada keseimbangan dengan kewajiban kebangsaan.
Kendala Sistemik
Disadari atau tidak, sekarang ini ada kendala besar yang bersifat sistemik dalam upaya penegakan Pancasila. Sistem yang berlaku justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Reformasi juga melahirkan sistem yang terlalu longgar dan liberal bagi masuknya ideologi yang merusak nilai-nilai Pancasila. Parahnya, di kalangan generasi muda, tidak diajarkan sejarah Indonesia secara efektif.
Hal itu diperparah dengan adanya pembaratan budaya dan tidak adanya civic education yang efektif. Akibat dari longgarnya sistem hasil reformasi, Indonesia kini menjadi “pasar” multiideologi global dari segala arah tanpa ada penyaringan. Gerakan ideologi transnasional masuk ke Indonesia dengan membawa wacana baru,yaitu mengganti Pancasila dengan konsep negara Islam dan khilafah.
Wacana ini cepat atau lambat akan mengancam Pancasila dan NKRI.Ancaman yang sama juga datang dari ajaran liberalisme dan atheisme. Gerakan radikalisme agama juga masuk ke Indonesia bersamaan dengan munculnya pergolakan di Timur Tengah. Gerakan ini sudah sangat membahayakan NKRI dan Pancasila. Terlebih, gerakan itu dilakukan oleh gerakan transnasional politik negara lain yang menggunakan jalur ideologi garis keras.
Gerakan ini telah merekrut banyak lapisan mulai dari la-pisan orang bodoh yang dimilitankan sampai intelektual muda yang dibelokkan pemikiran keagamaannya. Karena itulah, penanganan komprehensif oleh pemerintah sudah sangat mendesak untuk dilakukan. Kini bangsa Indonesia perlu mengadakan reviu, apakah sistem yang lahir saat ini telah sejalan dengan nilai-nilai yang dikehendaki Pancasila atau belum.
Misalnya, apakah penjualan aset-aset negara/BUMN ke perorangan sesuai dengan sila kelima? Pertanyaan selanjutnya, apakah otonomi/otonomi khusus sesuai dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Apakah karut-marut hukum sekarang ini termasuk pancasilais? Benarkah saat ini ada demokrasi kerakyatan, atau yang terjadi malah demokrasi transaksional? Pancasilaiskah semuanya itu?
Miskin Leadership
Disadari atau tidak, faktor leadership dan keteladanan belum menunjang penegakan nilai-nilai Pancasila. Problem sebenarnya ada pada trias politika, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Untuk itu, pemimpin Indonesia sekarang ini harus punya ketegasan. Jangan melakukan pembiaran atas perusakan nilai-nilai Pancasila.
Indonesia akan menjadi bangsa dan negara yang adil dan makmur jika nilai-nilai Pancasila bisa diterapkan dengan baik. Sistem yang liberal sekarang ini perlu segera dirapikan. Kuncinya, Indonesia harus dipimpin orang yang jujur,tegas,kompeten,dan bertanggung jawab.
Bagi sebagian gerakan yang ingin formalisasi Islam, berislamlah dengan seislam-islamnya, tapi dalam bingkai Negara Pancasila.Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang bergolak di Timur Tengah seperti Mesir,Yaman,Libya,dan sejumlah negara lainnya. Negara-negara tersebut umumnya adalah negara Islam.
Namun, karena nilai-nilaiIslamtidakdijalankan dengan baik, rakyat kemudian melakukan perlawanan terhadap pemimpinnya. Rasulullah tidak menentukan bentuk negara, tapi nilai dan norma di semua bentuk negara. Bentuk negara itu ijtihad (pemikiran), dan konsensus sesuai dengan waktu dan tempat negara, dan kemaslahatan umat.
Baik bentuk negara Islam maupun Pancasila itu samasama ijtihad. Artinya, Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam, karena hal yang terpenting adalah masuknya nilainilai Islam tertampung dalam sistem Pancasila. Hingga kini gerakan yang terlibat dalam pembentukan negara Pancasila masih setia mengawal Pancasila.
Gerakan yang mempersoalkan Pancasila baru datang belakangan ini.Bagi Nahdlatul Ulama (NU) yang terlibat dalam pembentukan negara, Pancasila dan NKRI sudah final.
● A HASYIM MUZADI Pengasuh Ponpes Al-Hikam Malang dan Depok
Sumber:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/404126/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya