Oleh: Firdaus Cahyadi
Tanggal 10 Mei 2011 mungkin salah satu hari yang bersejarah bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pasalnya, pada upacara pembukaan sidang Global Platform for Disaster Risk Reduction di Jenewa, yang diselenggarakan oleh salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Presiden SBY mendapat penghargaan Global Champion for Disaster Risk Reduction.
Penghargaan dari PBB itu disambut dengan kegembiraan di Tanah Air, terutama di Jakarta. Hal itu terlihat sekali di sebagian kantor pemerintah yang memampang baliho ucapan selamat kepada Presiden SBY. Bahkan iklan-iklan dengan ukuran jumbo pun ditebar di berbagai media massa untuk sekadar mengucapkan selamat kepada sang Presiden.
Penghargaan itu diberikan oleh badan PBB kepada Presiden SBY, karena pemerintah Indonesia dinilai berhasil dalam manajemen penanggulangan bencana sehingga mampu mengurangi risiko korban bencana. Indikatornya adalah adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur soal bencana. Prestasi itu, menurut badan PBB, pantas ditiru negara lain. Namun tak jauh dari Jakarta, tempat kegembiraan atas penghargaan itu dirayakan, warga Porong, Sidoarjo, masih cemas menghadapi kehidupannya yang semakin tak pasti. Tragedi kemanusiaan lumpur Lapindo yang terjadi lima tahun silam, 29 Mei 2006, telah membuat mereka menderita hingga kini.
Korban lumpur Lapindo pun terus berjatuhan. Bahkan pada April lalu, seorang bayi berusia tiga setengah bulan harus meninggal karena terlalu banyak menghirup udara beracun dari kawasan semburan lumpur. Dialah Aulia Nadira Putri. Dua jam sebelum meninggal, seperti ditulis oleh portal berita okezone.com, napas bayi Aulia Nadira Putri terlihat tersengal-sengal. Bahkan, untuk bernapas saja, bayi mungil itu sampai harus menggerakkan pundaknya. Pihak Rumah Sakit Siti Hajar, Sidoarjo, mengungkapkan bayi tersebut menderita sesak napas karena udara lingkungan yang tidak sehat.
Jarak rumah keluarga Aulia Nadira Putri memang hanya beberapa meter dari tanggul lumpur Lapindo. Tak aneh dengan jarak sedekat itu gas beracun dari lumpur Lapindo tercium dari rumahnya. Bagi kesehatan orang dewasa, gas beracun itu bisa berakibat fatal, apalagi bagi seorang bayi berusia tiga setengah bulan, yang sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna seperti orang dewasa. Keluarga Aulia Nadira Putri seharusnya memang mengungsi dari rumah mereka. Kondisi lingkungan hidup di kawasan itu sudah membahayakan keselamatan hidup mereka. Namun apa daya, keluarga itu belum mendapatkan ganti rugi, yang kemudian telah dibelokkan menjadi jual-beli aset oleh PT Minarak Lapindo Jaya.
Tercemarnya udara di Porong, Sidoarjo, sebenarnya juga dengan mudah terdeteksi ketika kita melewati Jalan Raya Porong. Begitu melewati jalan raya di kawasan itu, aroma busuk segera tercium. Jadi tidak perlu menggunakan alat pemantau kualitas udara yang canggih untuk sekadar mengetahui telah terjadi polusi udara di Porong, Sidoarjo. Peringatan bahwa udara di Porong, Sidoarjo, telah tercemar juga pernah disampaikan dalam surat rekomendasi Gubernur Jawa Timur terkait dengan lumpur Lapindo. Pada 2008, dalam surat rekomendasi tersebut diungkapkan angka hidrokarbon di udara telah mencapai 55.000 ppm dari ambang batas normal 0,24 ppm. Namun entah mengapa, sepertinya tidak ada yang memperhatikan surat rekomendasi itu.
Ancaman terhadap kehidupan warga Porong bukan hanya datang dari udara yang beracun, tapi juga dari munculnya gas liar yang mudah terbakar di rumah-rumah penduduk. Menjelang Lebaran 2010, semburan gas liar yang mengandung metana dari lumpur Lapindo tiba-tiba terbakar dan melukai tubuh Purwaningsih dan Dedy Purbianto. Kedua warga Desa Siring, Porong, Sidoarjo, itu pun harus dirawat di rumah sakit akibat luka bakar yang serius di tubuh mereka.
Ironisnya, di tengah penderitaan warga yang berkepanjangan dan ancaman terhadap keselamatan hidupnya itu, PT Lapindo Brantas kembali mengincar kawasan Sidoarjo untuk eksplorasi gas bumi. Perusahaan itu berencana memperdalam sumur Kalidawir sedalam 1.100 meter. Padahal sumur itu hanya berjarak beberapa kilometer dari pusat semburan lumpur. Pertanyaan berikutnya adalah kenapa semua penderitaan korban lumpur tak kunjung usai, sedangkan di sisi lain PT Lapindo seperti merasa tak bersalah.
Setidaknya ada dua hal yang dapat menjelaskan penyebabnya. Pertama, pemerintah memahami kasus Lapindo sekadar persoalan semburan lumpur. Persoalan perizinan eksplorasi pertambangan di kawasan padat huni tidak diperhatikan. Sebab, pemahaman seperti inilah yang menjadikan faktor keselamatan manusia tidak diperhatikan sejak tahap eksplorasi hingga akhirnya datang tragedi kemanusiaan itu.
Kedua, pemerintah memahami semburan lumpur disebabkan oleh bencana alam. Pemahaman inilah yang digunakan sebagai dasar bagi diberlakukannya mekanisme dagang dalam penyelesaian kasus semburan lumpur. Karena menggunakan mekanisme dagang, persoalan di luar jual-beli aset korban lumpur, seperti persoalan kesehatan, rusaknya lingkungan hidup, hilangnya pekerjaan, anak putus sekolah, dan persoalan sosial lainnya tidak diperhatikan. Dengan pemahaman ini, seolah kasus Lapindo akan selesai seiring dengan selesainya proses jual-beli aset korban lumpur.
Serangkaian pemahaman itu yang membuat kasus Lapindo sulit diselesaikan secara adil bagi korban lumpur. Terkait dengan hal itulah, penghargaan PBB terhadap Presiden SBY yang dirayakan di Jakarta bisa jadi justru merupakan penghinaan bagi warga Porong, Sidoarjo, yang telah lima tahun menderita akibat semburan lumpur. Agar penghargaan itu tidak menjadi penghinaan bagi korban lumpur, Presiden SBY harus segera mengubah pemahamannya atas kasus Lapindo sehingga penderitaan warga Porong dapat diakhiri. Lima tahun adalah waktu yang cukup lama bagi warga Porong, Sidoarjo, untuk terus menderita. Warga Porong, Sidoarjo, adalah warga negara Indonesia juga. Mereka berhak untuk hidup layak seperti warga negara di kawasan Indonesia lainnya.
URL Source: http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2011/05/26/kol,20110526-386,id.html
*) Firdaus Cahyadi Knowledge Manager for Sustainable Development OneWorld-Indonesia
Tanggal 10 Mei 2011 mungkin salah satu hari yang bersejarah bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pasalnya, pada upacara pembukaan sidang Global Platform for Disaster Risk Reduction di Jenewa, yang diselenggarakan oleh salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Presiden SBY mendapat penghargaan Global Champion for Disaster Risk Reduction.
Penghargaan dari PBB itu disambut dengan kegembiraan di Tanah Air, terutama di Jakarta. Hal itu terlihat sekali di sebagian kantor pemerintah yang memampang baliho ucapan selamat kepada Presiden SBY. Bahkan iklan-iklan dengan ukuran jumbo pun ditebar di berbagai media massa untuk sekadar mengucapkan selamat kepada sang Presiden.
Penghargaan itu diberikan oleh badan PBB kepada Presiden SBY, karena pemerintah Indonesia dinilai berhasil dalam manajemen penanggulangan bencana sehingga mampu mengurangi risiko korban bencana. Indikatornya adalah adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur soal bencana. Prestasi itu, menurut badan PBB, pantas ditiru negara lain. Namun tak jauh dari Jakarta, tempat kegembiraan atas penghargaan itu dirayakan, warga Porong, Sidoarjo, masih cemas menghadapi kehidupannya yang semakin tak pasti. Tragedi kemanusiaan lumpur Lapindo yang terjadi lima tahun silam, 29 Mei 2006, telah membuat mereka menderita hingga kini.
Korban lumpur Lapindo pun terus berjatuhan. Bahkan pada April lalu, seorang bayi berusia tiga setengah bulan harus meninggal karena terlalu banyak menghirup udara beracun dari kawasan semburan lumpur. Dialah Aulia Nadira Putri. Dua jam sebelum meninggal, seperti ditulis oleh portal berita okezone.com, napas bayi Aulia Nadira Putri terlihat tersengal-sengal. Bahkan, untuk bernapas saja, bayi mungil itu sampai harus menggerakkan pundaknya. Pihak Rumah Sakit Siti Hajar, Sidoarjo, mengungkapkan bayi tersebut menderita sesak napas karena udara lingkungan yang tidak sehat.
Jarak rumah keluarga Aulia Nadira Putri memang hanya beberapa meter dari tanggul lumpur Lapindo. Tak aneh dengan jarak sedekat itu gas beracun dari lumpur Lapindo tercium dari rumahnya. Bagi kesehatan orang dewasa, gas beracun itu bisa berakibat fatal, apalagi bagi seorang bayi berusia tiga setengah bulan, yang sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna seperti orang dewasa. Keluarga Aulia Nadira Putri seharusnya memang mengungsi dari rumah mereka. Kondisi lingkungan hidup di kawasan itu sudah membahayakan keselamatan hidup mereka. Namun apa daya, keluarga itu belum mendapatkan ganti rugi, yang kemudian telah dibelokkan menjadi jual-beli aset oleh PT Minarak Lapindo Jaya.
Tercemarnya udara di Porong, Sidoarjo, sebenarnya juga dengan mudah terdeteksi ketika kita melewati Jalan Raya Porong. Begitu melewati jalan raya di kawasan itu, aroma busuk segera tercium. Jadi tidak perlu menggunakan alat pemantau kualitas udara yang canggih untuk sekadar mengetahui telah terjadi polusi udara di Porong, Sidoarjo. Peringatan bahwa udara di Porong, Sidoarjo, telah tercemar juga pernah disampaikan dalam surat rekomendasi Gubernur Jawa Timur terkait dengan lumpur Lapindo. Pada 2008, dalam surat rekomendasi tersebut diungkapkan angka hidrokarbon di udara telah mencapai 55.000 ppm dari ambang batas normal 0,24 ppm. Namun entah mengapa, sepertinya tidak ada yang memperhatikan surat rekomendasi itu.
Ancaman terhadap kehidupan warga Porong bukan hanya datang dari udara yang beracun, tapi juga dari munculnya gas liar yang mudah terbakar di rumah-rumah penduduk. Menjelang Lebaran 2010, semburan gas liar yang mengandung metana dari lumpur Lapindo tiba-tiba terbakar dan melukai tubuh Purwaningsih dan Dedy Purbianto. Kedua warga Desa Siring, Porong, Sidoarjo, itu pun harus dirawat di rumah sakit akibat luka bakar yang serius di tubuh mereka.
Ironisnya, di tengah penderitaan warga yang berkepanjangan dan ancaman terhadap keselamatan hidupnya itu, PT Lapindo Brantas kembali mengincar kawasan Sidoarjo untuk eksplorasi gas bumi. Perusahaan itu berencana memperdalam sumur Kalidawir sedalam 1.100 meter. Padahal sumur itu hanya berjarak beberapa kilometer dari pusat semburan lumpur. Pertanyaan berikutnya adalah kenapa semua penderitaan korban lumpur tak kunjung usai, sedangkan di sisi lain PT Lapindo seperti merasa tak bersalah.
Setidaknya ada dua hal yang dapat menjelaskan penyebabnya. Pertama, pemerintah memahami kasus Lapindo sekadar persoalan semburan lumpur. Persoalan perizinan eksplorasi pertambangan di kawasan padat huni tidak diperhatikan. Sebab, pemahaman seperti inilah yang menjadikan faktor keselamatan manusia tidak diperhatikan sejak tahap eksplorasi hingga akhirnya datang tragedi kemanusiaan itu.
Kedua, pemerintah memahami semburan lumpur disebabkan oleh bencana alam. Pemahaman inilah yang digunakan sebagai dasar bagi diberlakukannya mekanisme dagang dalam penyelesaian kasus semburan lumpur. Karena menggunakan mekanisme dagang, persoalan di luar jual-beli aset korban lumpur, seperti persoalan kesehatan, rusaknya lingkungan hidup, hilangnya pekerjaan, anak putus sekolah, dan persoalan sosial lainnya tidak diperhatikan. Dengan pemahaman ini, seolah kasus Lapindo akan selesai seiring dengan selesainya proses jual-beli aset korban lumpur.
Serangkaian pemahaman itu yang membuat kasus Lapindo sulit diselesaikan secara adil bagi korban lumpur. Terkait dengan hal itulah, penghargaan PBB terhadap Presiden SBY yang dirayakan di Jakarta bisa jadi justru merupakan penghinaan bagi warga Porong, Sidoarjo, yang telah lima tahun menderita akibat semburan lumpur. Agar penghargaan itu tidak menjadi penghinaan bagi korban lumpur, Presiden SBY harus segera mengubah pemahamannya atas kasus Lapindo sehingga penderitaan warga Porong dapat diakhiri. Lima tahun adalah waktu yang cukup lama bagi warga Porong, Sidoarjo, untuk terus menderita. Warga Porong, Sidoarjo, adalah warga negara Indonesia juga. Mereka berhak untuk hidup layak seperti warga negara di kawasan Indonesia lainnya.
URL Source: http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2011/05/26/kol,20110526-386,id.html
*) Firdaus Cahyadi Knowledge Manager for Sustainable Development OneWorld-Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya