Minggu, 01 Agustus 2010

Kinerja Anggota DPR: Berat Kaki di Senayan

Oleh: Sebastian Salang


Tingkat kehadiran anggota DPR kembali menjadi sorotan publik. Biasanya sorotan terhadap perilaku malas Dewan ini muncul di akhir periode. Kali ini sungguh keterlaluan, perilaku buruk itu justru ditunjukkan di awal periode.

Sidang paripurna terpaksa ditunda karena kehadiran anggota DPR minim dan keputusan tidak diambil lantaran tidak memenuhi kuorum. Tidak hanya dalam rapat paripurna, di rapat-rapat komisi pun tingkat kehadiran anggota minim. DPR memang malas. Persoalannya sangat serius, jangan disepelekan, apalagi dianggap masalah teknis administratif belaka. Betul, kinerja DPR tak hanya diukur dari daftar hadir, tetapi kehadiran adalah awal dari proses dan penilaian yang lebih substansial.

Aspirasi dan kepentingan masyarakat yang diserap wakilnya dapat dirumuskan jadi kebijakan hanya jika wakilnya hadir secara fisik dan ikut memperjuangkan serta merumuskannya dalam berbagai forum sidang di DPR. Kehadiran juga sangat penting karena keputusan atas suatu kebijakan sangat ditentukan anggota yang hadir, sebaliknya keputusan tak dapat diambil jika angka kehadiran minim karena tak memenuhi syarat kuorum.

Artinya, keefektifan kinerja DPR sangat dipengaruhi tingkat kehadiran. Semakin malas anggota DPR, dipastikan kinerjanya buruk dan produktivitas rendah. Substansi dari sorotan serta kritik publik terhadap perilaku malas anggota DPR justru karena rendahnya kinerja dan produktivitas DPR. Andai kata pada tahun pertama DPR telah menyelesaikan sejumlah besar undang- undang yang telah diprioritaskan pada tahun 2010, dan pelaksanaan fungsi lainnya maksimal, mungkin soal ketidakhadiran ini tak dipersoalkan seheboh sekarang.

Kehebohan ini terjadi karena publik kecewa, sakit hati, benci, dan muak melihat perilaku anggota DPR yang malas, sementara kinerjanya buruk. Pengawasan tidak dirasakan efektif, fungsi legislasi lebih parah lagi. Untuk fungsi anggaran, DPR terlihat getol hanya ketika memperjuangkan dana aspirasi Rp 15 miliar untuk kepentingan politik mereka sendiri. Rakyat tetap saja bernasib malang. Ada yang bunuh diri karena tak mampu menjalani hidup yang mahaberat, anak gantung diri karena tak bisa sekolah. Belum lagi setiap hari ada yang meregang nyawa karena ledakan tabung gas yang seharusnya bisa segera dihentikan kalau saja DPR tegas terhadap pemerintah.

Menghina Dewan

Sejumlah fraksi dan pemimpin DPR merespons kritik publik dengan memunculkan usul baru. Misalnya, daftar hadir menggunakan sidik jari dan pemotongan tunjangan jika tidak hadir. Saya menilai, usulan tersebut ekspresi kepanikan ketika kritik publik datang bertubi-tubi karena jika usul tersebut disimak dan dicerna, sebetulnya itu merupakan pelecehan terhadap institusi anggota DPR.

Usul penggunaan sidik jari menunjukkan betapa kepercayaan terhadap integritas dan kehormatan seorang anggota dihina. Soalnya, secara implisit hendak dikatakan bahwa semua anggota DPR tersebut tidak jujur atau pembohong karena itu perlu dideteksi kejujurannya melalui sidik jari. Ide pemotongan tunjangan pun demikian. Derajat DPR direndahkan dengan uang: bekerja apabila ada duitnya.

Padahal, regulasi yang mendukung penegakan disiplin DPR sudah memadai dan cukup efektif untuk menimbulkan kejeraan apabila diterapkan. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD

(UU MD3) Pasal 127 Ayat (1) Huruf c) mengamanatkan, Badan Kehormatan (BK) menyelidiki anggota yang tak menghadiri rapat paripurna, rapat alat kelengkapan lain selama enam kali berturut tanpa alasan jelas. Mereka dapat diberhentikan sebagai anggota DPR.

Konstruksi pasal ini merupakan isyarat jelas bahwa tidak ada toleransi bagi anggota DPR yang malas. Persoalan DPR sekarang bukan kurangnya regulasi yang mengatur sanksi terhadap tindakan indisipliner anggota Dewan. Namun, soal komitmen setiap pribadi anggota yang lemah: tidak bisa membedakan waktu untuk urusan pribadi dengan urusan Dewan, kepentingan pribadi dengan kepentingan rakyat yang diwakili.

Celakanya, BK yang seharusnya menjadi penegak disiplin justru sibuk dengan persoalannya sendiri. Sejumlah pengaduan terkait masalah indisipliner, dugaan korupsi, dan persoalan lain yang diduga melanggar kode etik belum satu pun diproses lantaran rapat BK selalu gagal mencapai kuorum. Mandulnya peran BK karena pemimpin DPR membiarkan konflik internal itu berlarut-larut.

Tantangan DPR

Pengalaman buruk di tahun pertama ini tidak boleh terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Pemimpin DPR segera mengambil langkah konkret. Pertama, fraksi harus menyampaikan laporan kinerja anggotanya, termasuk soal disiplin kepada publik, hal ini sejalan dengan amanat UU MD3 (Pasal 80 Ayat 2) dan Tata Tertib (Pasal 18 Ayat 6). Kedua, masalah internal BK segera diselesaikan agar penegakan disiplin secara internal berjalan, memberikan sanksi tegas kepada anggota yang melanggar. Ketiga, semua agenda anggota yang terkait urusan Dewan harus dapat diakses agar masyarakat dapat menilai kinerja anggotanya sekaligus sebagai pertanggungjawaban publik.

Membangun kesadaran dan mental disiplin anggota DPR juga tanggung jawab parpol karena parpol yang merekrut, membina, dan menawarkan kadernya untuk dipilih masyarakat. Parpol juga punya peran kontrol yang penting terhadap anggota DPR sebab citra DPR yang buruk cermin dari partai yang buruk pula, demikian sebaliknya. Seharusnya partai berlomba menampilkan kader yang punya integritas, kompeten, serta disiplin di DPR. Jika tidak, citra DPR memburuk dan citra partai terpuruk.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/07/29/03093165/berat.kaki.di.senayan


Sebastian Salang
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...