Minggu, 01 Agustus 2010

Agar Presiden Tak Tersandera

Oleh: Pramono Anung Wibowo


Reformasi telah melahirkan pranata baru dengan diterapkannya sistem multipartai.

Lewat sistem ini, diharapkan masyarakat lebih memiliki keleluasaan menyalurkan aspirasi politiknya setelah sekitar tiga dasawarsa hanya memiliki tiga saluran pilihan, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Namun, realitas politik yang terjadi selama ini menunjukkan, penerapan sistem multipartai secara ekstrem (jumlah partai terlalu besar) di dalam pemerintahan presidensial ternyata juga memunculkan implikasi yang cukup mencemaskan. Salah satunya, jalannya pemerintahan cenderung tidak efektif akibat saratnya tarik ulur kepentingan antara pemerintah dan kekuatan politik di DPR.

Tawanan politik

Kita tentu bisa menyimak dari penyelenggaraan pemerintahan SBY selama dua periode, baik ketika berpasangan dengan Jusuf Kalla maupun sekarang bersama Boediono. Karena Partai Demokrat tidak menguasai mayoritas kursi di parlemen (hanya mendapat 10 persen pada Pemilu 2004 dan 26 persen pada Pemilu 2009), SBY kemudian menggalang kekuatan dengan merangkul sejumlah partai politik (parpol) yang lolos ke Senayan.

Dari 16 parpol yang lolos pada Pemilu 2004, sepuluh partai—termasuk Demokrat—menjadi partai pemerintah dengan membangun sebuah koalisi. Kekuatan mereka di parlemen mencapai 52 persen dari keseluruhan kursi di DPR yang berjumlah 550. Sementara pada Pemilu 2009, SBY berhasil menggalang 76 persen kekuatan di parlemen, dengan merangkul enam dari sembilan partai yang lolos ke Senayan.

Dengan keberhasilannya merangkul kekuatan mayoritas itu, SBY semestinya tidak akan menemui kendala berarti dalam mengambil keputusan/kebijakan. Namun, sejumlah isyarat mengindikasikan, kekuatan yang ada di parlemen justru telah menjadikan SBY seperti tawanan atau sandera politik sehingga ia tidak memiliki keleluasaan untuk bergerak dan bertindak.

Penyebabnya, tak lain, bangunan koalisi yang terjadi selama ini rapuh dan cenderung pragmatis serta tidak dilandasi oleh kesamaan ide dan platform. Akibatnya, Presiden terjebak ke dalam politik kompromi dan mau tidak mau harus mengakomodasi sekian banyak kepentingan dari sekian banyak partai pendukung.

Kita bisa bayangkan betapa ”bertele-telenya” Presiden jika untuk merumuskan suatu kebijakan ia harus mengomunikasikan terlebih dahulu dengan partai-partai pendukung melalui Sekretariat Gabungan. Namun, inilah kenyataan yang sulit dihindari karena di sisi lain Presiden sendiri dihadapkan pada ”ancaman” dari partai pendukung untuk menarik dukungannya atau juga hak angket DPR yang selama ini acap dijadikan ”alat tekan” terhadap SBY.

Lebih jauh lagi, akibat dari politik kompromi dengan sekian banyak partai, langgam penyelenggaraan pemerintahan tidak saja menjadi lamban dan tak efisien, tetapi upaya untuk mengimplementasikan berbagai harapan dan kepentingan khalayak juga menjadi terganggu dan terkesan lamban. Sebagai contoh kasus, kita tentu bisa lihat penanganan kasus lumpur Lapindo, penyikapan kasus Bank Century, atau juga penyelesaian kasus pajak.

Penyederhanaan partai

Dengan melihat realitas itu, semua pihak tentu harus bisa menahan diri dan tak lagi terbawa euforia untuk ikut-ikutan dan ”asalan-asalan” membentuk partai baru. Sebaliknya, euforia itu harus segera diakhiri, menuju penyederhanaan partai, hingga terbangun sebuah sistem kepartaian yang stabil dan tak lagi diwarnai menjamurnya partai-partai politik yang hanya seumur jagung.

Konstitusi memang memperbolehkan pendirian partai baru, tetapi mesti ada syarat yang lebih ketat dalam hal sebuah partai baru bisa mengikuti pemilu, terutama yang harus dipertimbangkan, yakni apakah sebuah partai dapat memenuhi ketentuan electoral/parliament threshold atau tidak. Model seperti ini sama sekali tidak mencederai demokrasi karena sudah diterapkan di banyak negara demokrasi dan kita pun sudah mengarah ke sana.

Idealnya, Indonesia hanya memiliki dua partai besar sebagai penyalur aspirasi politik masyarakat. Ketika satu partai berperan sebagai partai pemerintah, partai satunya menjalankan fungsi oposisi: sebagai pengontrol dan penyeimbang. Namun, melihat Indonesia yang begitu plural dan majemuk, sistem ideal itu bisa terdiri dari empat hingga tujuh partai.

Asumsinya, keempat partai mewakili kelompok aliran yang selama ini berlaku di Tanah Air, yakni kelompok Islam konservatif, Islam modernis, nasionalis tengah, dan nasionalis kerakyatan. Paling banyak tiga partai lagi sebagai toleransi tambahan dan kelompok-kelompok ini dapat menggabungkan diri ke dalam keempat mainstream tersebut.

Penyederhanaan partai hingga mencapai jumlah ideal niscaya tidak saja akan mengurangi besarnya biaya sosial maupun politik, sebagaimana terjadi selama ini, tetapi juga akan mengurangi pertarungan dan tarik-ulur di dalam internal partai itu sendiri. Lebih jauh dari itu, penyederhanaan ini ujungnya tak lain demi bermanfaatnya demokrasi bagi efektivitas kehidupan berbangsa dan bernegara, dan bukan untuk mengebiri demokrasi.

Kini, semua bergantung pada kedewasaan elite politik kita. Toh, untuk melakukan penyederhanaan, sejatinya bukanlah proses rumit: bisa melalui peningkatan threshold sebagaimana yang kini tengah diwacanakan seiring dengan dilakukannya revisi paket undang-undang politik, melalui penambahan jumlah daerah pemilihan (dapil) serta mengurangi jumlah kursi di tiap dapil, atau perubahan sistem pemilu.

Rakyat tentu tak mau terus-menerus menanggung beban akibat presiden yang mereka pilih secara langsung selalu tersandera partai-partai pendukungnya.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/07/30/0344573/agar.presiden.tak..tersande


Pramono Anung Wibowo
Wakil Ketua DPR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...