Sabtu, 14 Agustus 2010

Redenominasi sekadar perlu, atau wajib?

Oleh: Sigit Pramono



Redenominasi rupiah sebetulmya bukanlah pemikiran yang buruk. Apalagi tujuannya ialah untuk memudahkan masyarakat bertransaksi dan dalam jangka panjang mendorong terjadinya efisiensi secara nasional.
Redenominasi sebaiknya kita terjemahkan secara ringan saja supaya tidak terlalu menakutkan. Yaitu sebagai upaya untuk mengubah penyebutan angka nominal mata uang yang tertera pada mata uang tersebut.

Kalau kita menyimak gagasan yang dilontarkan BI, redenominasi rupiah kita berarti uang kertas seratus Rp100.000 berwarna merah bergambar Soekarno Hatta akan diganti dengan uang kertas Rp Baru 100, tetap berwarna merah dan tetap bergambar Soekarno Hatta.

Demikian pula uang kertas Rp1.000 berwarna biru bergambar Pattimura akan diganti dengan uang kertas Rp Baru 1, tetap berwarna biru dan tetap bergambar Pattimura. Demikian seterusnya untuk uang kertas dengan nilai nominal lainnya.

Pada tahap transisi nantinya maka masyarakat bisa bertransaksi misalnya membayar barang atau jasa senilai Rp100.000 dengan uang kertas nominal Rp100.000 atau membayar dengan uang kertas nominal Rp Baru 100 yang sama-sama bergambar Soekarno Hatta.

Kedua, dua uang kertas itu masih berlaku. Sampai di sini saya yakin masyarakat tidak akan bingung . Lalu apa manfaatnya? Penyebutan nominal rupiah yang disederhanakan dengan cara mengurangi 3 nol di belakang jelas akan lebih memudahkan masyarakat dalam bertransaksi.

Dengan redenominasi maka semua perhitungan di kalkulator, komputer, mesin kasir, alat timbang dan alat tera yang menggunakan nominal rupiah seperti pompa SPBU dan sebagainya jelas akan lebih mudah karena berkurang 3 digit.

Belum lagi penghematan media simpan atau memori komputer, cetakan dalam kertas jelas akan lebih efisien kalau nominal uang berkurang 3 digit. Jika menimbang manfaat dari redenominasi di atas sepertinya redenominasi memang perlu dilakukan.

Pertanyaan berikutnya redenominasi rupiah itu sekadar perlu atau wajib dilakukan?

Kalau kita meminjam istilah dalam tingkatan hukum agama Islam mulai dari wajib , sunah, makruh , mubah, dan haram, maka redenominasi rupiah yang dicetuskan BI barangkali baru pada tingkatan sunah saja.

Yaitu perlu dilakukan tetapi belum ke tingkat wajib. Bagi Anda yang tidak terlalu memahami idiom di atas, sunah berarti apabila kita tidak lakukan suatu tindakan kita tidak akan dihukum (mendapat sanksi), namun apabila kita lakukan kita akan diuntungkan atau mendapat manfaat.

Adapun, wajib berarti kalau kita lakukan kita akan mendapat keuntungan ( manfaat ) tetapi kalau kita tidak lakukan kita akan mendapat hukuman (kerugian). Membandingkan tingkatan atau herarkhi perlu tidaknya suatu tindakan dilakukan dengan analogi hukum sunah dan wajib di atas barangkali akan memudahkan kita mengukur derajat urgensinya.

Mari kita lihat persoalan redenominasi dari pengalaman negara lain yang dianggap berhasil melakukan redenominasi, yaitu Turki.

Apa latar belakang Turki melakukan redenominasi, pertama karena terpuruknya perekonomian Turki yang diwarnai hiperinflasi sehingga nilai lira jatuh, harga barang-barang naik dengan tingkat yang gila-gilaan sehingga masyarakat menahan barang.

Kedua dalam rangka persiapan Turki masuk menjadi anggota Uni Eropa. Ketika melakukan redenominasi mata uangnya pada 2005 Turki bahkan harus mengurangi 6 angka nol, akibat begitu buruknya ekonomi Turki pada waktu itu.

Jika belajar dari pengalaman Turki tersebut sangat jelas bahwa ketika mereka melakukan redenominasi tingkatannya sudah 'wajib' bagi Turki. Kembali kepada situasi di negara kita, perlu dilontarkan kembali pertanyaan apakah redenominasi perlu atau wajib dilakukan di Indonesia?

Betul bahwa situasi dan kondisi perekonomian kita sekarang ini tidak sama seperti ketika Turki melakukan redenominasi. Namun kita harus ingat bahwa kita juga dalam persiapan untuk masuk Pasar Tunggal Asean pada 2015.

Kita bisa bandingkan nominal yang tertera pada uang kita dibandingkan dengan anggota Asean yang lain. Kita ambil contoh, dengan Singapura 1 angka mata uang dolar Singapura setara dengan 3 angka uang rupiah kita Apakah kita tidak memandang ini sebagai suatu persoalan ?

Sebuah tindakan besar yang berdampak sangat luas dan dalam pada masyarakat seperti kebijakan redenominasi ini seharusnya dimulai dengan perencanaan yang rinci dan matang, dikoordinasikan antara BI, Pemerintah dan DPR , serta melibatkan semua pemangku kepentingan yang lain seperti kalangan perbankan dan dunia usaha. Dan yang paling penting adalah sosialisasi harus dilakukan secara terencana dan melibatkan semua elemen nasyarakat.

Beragam pemahaman

Masyarakat kita dari Sabang sampai Merauke itu sangat beragam latar belakang pendidikan, dan beragam tingkat pemahamannya mengenai masalah uang, perbankan dan perekonomian.

Jadi jangan sekali-kali ceroboh dan mengabaikan dampak sosial dan psikologis dari kebijakan ini.

Geger wacana rencana redenominasi ini ibaratnya BI seperti seorang ibu yang keguguran kandungan sebelum bayi dilahirkan.

Ironisnya sang suami (Pemerintah) pun tidak tahu kapan bayi akan lahir, di mana akan dilahirkan dan bagaimana proses kelahirannya.

Belajar dari peristiwa ini maka suatu kebijakan sebaiknya direncanakan dengan matang, dikoordinasikan, dikomunikasikan dan disosialisasikan dengan baik.

Kalangan perbankan sempat menerima hujan pertanyaan dari bank-bank di luar negeri dan para nasabah yang khawatir dan panik. Dan bebarapa saat saham perbankan juga sempat mengalami tekanan akibat wacana redenominasi yang prematur ini.

Jadi jelas bahwa untuk meningkatkan derajat kebijakan redenominasi dari sekadar 'perlu' menjadi 'wajib' bagi Indonesia, maka menjadi tugas utama BI untuk dapat 'menjual' gagasan redenominasi ini kepada para pemangku kepentingan lainnya.

BI perlu meyakinkan penentang gagasan ini yang mempersoalkan mengenai biayanya yang mahal, ketidaksiapan masyarakat dan bukan menjadi prioritas Indonesia.

BI juga harus konsisten dengan gagasan redenominasi ini. Jangan karena sedikit tekanan kemudian mereka surut dan mengatakannya baru sekadar wacana. Pjs Gubernur BI bahkan mengatakan "secara fundamental redenominasi ini tidak memperbaiki, tetapi juga tidak memperburuk perekonomian kita."

Wah kalau betul pernyataan Gubernur BI terpilih seperti yang dikutip media massa itu, maka tingkatan redenominasi itu jangan-jangan 'sunah' saja tidak ? Bahkan hanya 'mubah', artinya dilakukan atau tidak dilakukan tidak memberi manfaat dan tidak menimbulkan kerugian bagi perekonomian Indonesia. Lalu mengapa kita wacanakan rencana redenominasi ini ?

URL Source: http://www.bisnis.com/artikel/2id3050.html

Sigit Pramono
Ketua Umum Perbanas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...