Oleh: Airlangga Pribadi
Setelah penganiayaan terhadap aktivis Indonesia Corruption Watch, Tama S Langkun, beberapa waktu lalu, agaknya agenda pemberantasan korupsi yang bergulir telah sampai pada momen point of no return.
Tindakan kekerasan yang mulai dilakukan kepada pihak-pihak yang berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi menjadi peringatan dari para koruptor agar perang melawan korupsi tak menyentuh daerah-daerah sensitif terkait kepentingan para petinggi. Untuk menghadapi ini semua, integritas pemerintahan dan kepercayaan di antara kita perlu diperkuat guna memastikan agenda pemberantasan korupsi dimenangi warga negara.
Respons publik dan elite politik terhadap peristiwa penganiayaan tersebut memberikan harapan akan kembalinya kehendak memerangi korupsi yang telah berurat akar di republik ini. Kedatangan Presiden SBY dan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD untuk menjenguk Tama dan langkah sigap Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera melakukan pemeriksaan atas persoalan korupsi yang diduga melatari kejadian itu merupakan pintu pembuka bagi hadirnya kembali semangat memberantas korupsi di republik ini.
Seperti kanker dalam kehidupan republik, persoalan korupsi adalah penyakit sentral yang turut menentukan apakah negara itu telah gagal menjalankan fungsinya (failed state) atau tidak. Lima abad yang lalu pujangga politik terbesar Italia, Nicollo Machiavelli (1512-1517), dalam karyanya, Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio, memaparkan bahwa menjalarnya korupsi dalam kehidupan republik adalah malapetaka terbesar dalam kehidupan republik.
Hilangnya daya hidup dan dinamika kehidupan bernegara bermula dari tumbuhnya perilaku korupsi yang menjalar dan tak dapat dihentikan, baik oleh warga maupun elite politik.
Ketika napas kehidupan politik dalam tatanan republik ditujukan guna merangkai apa yang dianggap baik untuk kepentingan bersama, tindakan yang dilakukan para pejabat publik dan pelayan warga untuk kepentingan personal dan memperkaya diri adalah tindakan yang secara perlahan mengikis aktivitas politik sebagai seni untuk merangkai kebaikan bersama. Politik berhenti dan mati sebagai aktivitas positif saat setiap aktivitas bernegara diperuntukkan memperkaya kepentingan personal elite politik.
Mari kita bentangkan perjalanan sejarah di republik ini. Penyelewengan terhadap tujuan bernegara dalam konstitusi UUD 45 maupun Pancasila berjalan seiring dengan mewabahnya korupsi di republik ini. Pembusukan politik (political decay) dalam kehidupan bernegara terjadi sejak masa awal Orde Baru, ketika pada waktu itu Soeharto tidak serius mengindahkan nasihat Bung Hatta (yang pada tahun 1970 menjadi Penasihat Presiden) untuk segera memberantas persoalan korupsi yang saat itu tengah mewabah di tubuh perusahaan minyak nasional Pertamina.
Selanjutnya, seperti kita saksikan bersama, rezim Orde Baru berkembang menjadi rezim yang tumbuh melalui pengisapan terhadap aset-aset publik ataupun persekongkolan pengusaha dan penguasa yang berpusat di keluarga Cendana. Akibatnya, pembangunan tidak pernah benar- benar dinikmati oleh masyarakat banyak, pemusatan kekayaan tertumpu pada elite minoritas ekonomi-politik saja. Pada era pasca- Orde Baru, kita saksikan bahwa lesunya antusiasme dan partisipasi publik dalam aktivitas politik dan bernegara tak dapat dilepaskan dari begitu kuatnya korupsi berurat akar dan jadi persoalan yang belum bisa terselesaikan tuntas.
Karena itu, seperti diutarakan Vedi R Hadiz dan Richard Robison (2004) dalam Reorganising Power in Indonesia, bahwa pertarungan politik pasca-Orde Baru menandai berseminya pertarungan politik di antara elite-elite oligarkis menjadi predator aset-aset publik di tengah kian terintegrasinya Indonesia dalam pusaran rezim pasar bebas.
Telah jadi fakta sejarah, korupsi selalu menjadi malapetaka dalam saat-saat menentukan kehidupan kita bernegara. Belajar dari ini, perang terhadap korupsi tak dapat lagi surut. Kebersamaan dalam kehidupan bernegara dan energi positif rakyat sudah saatnya diarahkan pada pemusatan perang terhadap korupsi. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk menuntaskan ikrar melawan korupsi.
Langkah politik
Terkait dengan penguatan kembali ikrar melawan korupsi, Presiden seharusnya mengambil langkah di depan untuk menjelaskan kepada publik mengapa suatu kebijakan perang terhadap korupsi sampai ke akar-akarnya harus diambil, apa alasan dan logikanya, langkah apa yang akan dilakukan dalam jangka waktu cepat, dan apa yang akan didapatkan secara transparan dari langkah-langkah politik yang telah diambil. Setelah beberapa waktu lalu integritas pemerintahan dihantam bertubi-tubi terkait dengan Century Gate, maka kasus dugaan korupsi ini menjadi momentum penting bagi Presiden untuk bertindak.
Pakar komunikasi politik seperti Arjen Boint, Paul’t Hart et al (2005) dalam The Politics of Crisis Management: Public Leadership Under Pressure mengutarakan pentingnya penciptaan makna bersama (collective meaning making) oleh pemimpin dan tim politiknya pada saat krisis untuk mengurangi ketidakstabilan yang muncul di masyarakat.
Pemimpin harus mampu membangun komunikasi politik untuk menjelaskan apa yang terjadi, mengapa hal ini sampai terjadi, apa yang segera harus dilakukan oleh pemerintah, bagaimana kebijakan tersebut dapat menyelesaikan persoalan, bagaimana tokoh-tokoh publik dan masyarakat dapat dilibatkan bersama untuk ikut serta menyelesaikan persoalan.
Keberhasilan dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi juga sangat ditentukan oleh keberhasilan pemerintah membersihkan elemen-elemen di dalam dirinya yang terkait dan tidak bersih dari persoalan korupsi. Komunikasi politik dalam kepemimpinan politik membutuhkan kerja konkret yang dapat dilihat oleh publik secara terbuka. Kampanye perang terhadap korupsi membutuhkan pemerintahan yang autentik dan warga yang berpartisipasi untuk mengawal proses tersebut.
Dalam kondisi demikian, terbangunnya kepercayaan kolektif ketika pemerintah mampu meyakinkan warga akan agenda tersebut menjadi prasyarat utama. Momentum ini menjadi kesempatan bagi SBY untuk membangun kembali kepercayaan warga terhadap integritas pemerintahannya memberantas korupsi. Hal ini tentunya harus dilakukan dengan melakukan pembersihan terhadap aparat negara yang terindikasi kasus korupsi, memperkuat kembali dan tidak membonsai komisi seperti KPK untuk menghantam korupsi di berbagai sudut kelembagaan negara yang selama ini tak terjangkau.
Dengan integritas pemerintahan yang kokoh inilah, kepercayaan sosial warga terhadap pemerintah dapat dirajut kembali. Sementara pada langkah yang tidak dapat kembali lagi, prospek pemberantasan korupsi berjalan seiring dengan prospek rehabilitasi kehidupan republik. Kemampuan untuk mengintegrasikan langkah memerangi korupsi akan menjadi pertaruhan terpenting dari integritas pemerintahan SBY di mata rakyatnya.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/10/03255195/bersama.melawan.korupsi.
Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga
Setelah penganiayaan terhadap aktivis Indonesia Corruption Watch, Tama S Langkun, beberapa waktu lalu, agaknya agenda pemberantasan korupsi yang bergulir telah sampai pada momen point of no return.
Tindakan kekerasan yang mulai dilakukan kepada pihak-pihak yang berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi menjadi peringatan dari para koruptor agar perang melawan korupsi tak menyentuh daerah-daerah sensitif terkait kepentingan para petinggi. Untuk menghadapi ini semua, integritas pemerintahan dan kepercayaan di antara kita perlu diperkuat guna memastikan agenda pemberantasan korupsi dimenangi warga negara.
Respons publik dan elite politik terhadap peristiwa penganiayaan tersebut memberikan harapan akan kembalinya kehendak memerangi korupsi yang telah berurat akar di republik ini. Kedatangan Presiden SBY dan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD untuk menjenguk Tama dan langkah sigap Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera melakukan pemeriksaan atas persoalan korupsi yang diduga melatari kejadian itu merupakan pintu pembuka bagi hadirnya kembali semangat memberantas korupsi di republik ini.
Seperti kanker dalam kehidupan republik, persoalan korupsi adalah penyakit sentral yang turut menentukan apakah negara itu telah gagal menjalankan fungsinya (failed state) atau tidak. Lima abad yang lalu pujangga politik terbesar Italia, Nicollo Machiavelli (1512-1517), dalam karyanya, Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio, memaparkan bahwa menjalarnya korupsi dalam kehidupan republik adalah malapetaka terbesar dalam kehidupan republik.
Hilangnya daya hidup dan dinamika kehidupan bernegara bermula dari tumbuhnya perilaku korupsi yang menjalar dan tak dapat dihentikan, baik oleh warga maupun elite politik.
Ketika napas kehidupan politik dalam tatanan republik ditujukan guna merangkai apa yang dianggap baik untuk kepentingan bersama, tindakan yang dilakukan para pejabat publik dan pelayan warga untuk kepentingan personal dan memperkaya diri adalah tindakan yang secara perlahan mengikis aktivitas politik sebagai seni untuk merangkai kebaikan bersama. Politik berhenti dan mati sebagai aktivitas positif saat setiap aktivitas bernegara diperuntukkan memperkaya kepentingan personal elite politik.
Mari kita bentangkan perjalanan sejarah di republik ini. Penyelewengan terhadap tujuan bernegara dalam konstitusi UUD 45 maupun Pancasila berjalan seiring dengan mewabahnya korupsi di republik ini. Pembusukan politik (political decay) dalam kehidupan bernegara terjadi sejak masa awal Orde Baru, ketika pada waktu itu Soeharto tidak serius mengindahkan nasihat Bung Hatta (yang pada tahun 1970 menjadi Penasihat Presiden) untuk segera memberantas persoalan korupsi yang saat itu tengah mewabah di tubuh perusahaan minyak nasional Pertamina.
Selanjutnya, seperti kita saksikan bersama, rezim Orde Baru berkembang menjadi rezim yang tumbuh melalui pengisapan terhadap aset-aset publik ataupun persekongkolan pengusaha dan penguasa yang berpusat di keluarga Cendana. Akibatnya, pembangunan tidak pernah benar- benar dinikmati oleh masyarakat banyak, pemusatan kekayaan tertumpu pada elite minoritas ekonomi-politik saja. Pada era pasca- Orde Baru, kita saksikan bahwa lesunya antusiasme dan partisipasi publik dalam aktivitas politik dan bernegara tak dapat dilepaskan dari begitu kuatnya korupsi berurat akar dan jadi persoalan yang belum bisa terselesaikan tuntas.
Karena itu, seperti diutarakan Vedi R Hadiz dan Richard Robison (2004) dalam Reorganising Power in Indonesia, bahwa pertarungan politik pasca-Orde Baru menandai berseminya pertarungan politik di antara elite-elite oligarkis menjadi predator aset-aset publik di tengah kian terintegrasinya Indonesia dalam pusaran rezim pasar bebas.
Telah jadi fakta sejarah, korupsi selalu menjadi malapetaka dalam saat-saat menentukan kehidupan kita bernegara. Belajar dari ini, perang terhadap korupsi tak dapat lagi surut. Kebersamaan dalam kehidupan bernegara dan energi positif rakyat sudah saatnya diarahkan pada pemusatan perang terhadap korupsi. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk menuntaskan ikrar melawan korupsi.
Langkah politik
Terkait dengan penguatan kembali ikrar melawan korupsi, Presiden seharusnya mengambil langkah di depan untuk menjelaskan kepada publik mengapa suatu kebijakan perang terhadap korupsi sampai ke akar-akarnya harus diambil, apa alasan dan logikanya, langkah apa yang akan dilakukan dalam jangka waktu cepat, dan apa yang akan didapatkan secara transparan dari langkah-langkah politik yang telah diambil. Setelah beberapa waktu lalu integritas pemerintahan dihantam bertubi-tubi terkait dengan Century Gate, maka kasus dugaan korupsi ini menjadi momentum penting bagi Presiden untuk bertindak.
Pakar komunikasi politik seperti Arjen Boint, Paul’t Hart et al (2005) dalam The Politics of Crisis Management: Public Leadership Under Pressure mengutarakan pentingnya penciptaan makna bersama (collective meaning making) oleh pemimpin dan tim politiknya pada saat krisis untuk mengurangi ketidakstabilan yang muncul di masyarakat.
Pemimpin harus mampu membangun komunikasi politik untuk menjelaskan apa yang terjadi, mengapa hal ini sampai terjadi, apa yang segera harus dilakukan oleh pemerintah, bagaimana kebijakan tersebut dapat menyelesaikan persoalan, bagaimana tokoh-tokoh publik dan masyarakat dapat dilibatkan bersama untuk ikut serta menyelesaikan persoalan.
Keberhasilan dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi juga sangat ditentukan oleh keberhasilan pemerintah membersihkan elemen-elemen di dalam dirinya yang terkait dan tidak bersih dari persoalan korupsi. Komunikasi politik dalam kepemimpinan politik membutuhkan kerja konkret yang dapat dilihat oleh publik secara terbuka. Kampanye perang terhadap korupsi membutuhkan pemerintahan yang autentik dan warga yang berpartisipasi untuk mengawal proses tersebut.
Dalam kondisi demikian, terbangunnya kepercayaan kolektif ketika pemerintah mampu meyakinkan warga akan agenda tersebut menjadi prasyarat utama. Momentum ini menjadi kesempatan bagi SBY untuk membangun kembali kepercayaan warga terhadap integritas pemerintahannya memberantas korupsi. Hal ini tentunya harus dilakukan dengan melakukan pembersihan terhadap aparat negara yang terindikasi kasus korupsi, memperkuat kembali dan tidak membonsai komisi seperti KPK untuk menghantam korupsi di berbagai sudut kelembagaan negara yang selama ini tak terjangkau.
Dengan integritas pemerintahan yang kokoh inilah, kepercayaan sosial warga terhadap pemerintah dapat dirajut kembali. Sementara pada langkah yang tidak dapat kembali lagi, prospek pemberantasan korupsi berjalan seiring dengan prospek rehabilitasi kehidupan republik. Kemampuan untuk mengintegrasikan langkah memerangi korupsi akan menjadi pertaruhan terpenting dari integritas pemerintahan SBY di mata rakyatnya.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/10/03255195/bersama.melawan.korupsi.
Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya