Oleh: Sri Hartati Samhadi
Para ekonom mengingatkan indikasi berkembangnya patronasi politik dan penguatan oligarki ekonomi. Patronasi politik ini melahirkan semacam mafia dan kolusi baru antara penguasa dan pengusaha.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia juga makin kehilangan arah dan daya saing. Jantung ekonomi tidak pernah berfungsi prima karena sistem kelembagaan tak responsif. Penyebabnya, desain yang salah dan ketidakjelasan paradigma kebijakan. Sejak krisis 1997, terjadi perubahan pendulum tajam dari sistem pasar ke negara dan kemudian kembali ke pasar lagi. Semua itu tidak dijalani konsisten sehingga mempersulit desain dan arah kebijakan.
Peringatan para ekonom terungkap dalam Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas dan kajian The Harvard Kennedy School Indonesia. ”Kita tidak tahu titik pijak kita di mana. Paradigma negara enggak. Paradigma pasar juga tidak utuh,” kata seorang panelis.
Mengenai patronasi politik dan oligarki ekonomi, ia melihat dalam beberapa kasus, transaksi politik dan janji kampanye di pasar politik telah membelenggu perekonomian. Tidak ada batas tegas antara negara dan swasta. ”Tak jelas, apakah sesuatu itu ada di ranah publik atau state,” ujarnya.
Ia mencontohkan sejumlah petinggi atau pejabat tinggi negara yang ke mana-mana naik pesawat milik pengusaha tertentu. ”Saya tanya ke KPK, apakah ini masuk gratifikasi, mereka bilang aturannya enggak jelas,” tambahnya. Ketidakjelasan aturan juga menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan jalinan kepentingan kelompok tertentu melahirkan mafia dan faksionalisme serta korupsi yang terorganisasi dan sistemik.
Beberapa kebijakan bahkan terkesan direkayasa, untuk memberi keleluasaan konsolidasi kerajaan bisnis pengusaha. Salah satunya, amanat undang- undang dalam rangka penciptaan iklim persaingan lebih sehat tak kunjung dilaksanakan. Contohnya, peraturan pemerintah (PP) untuk menghindari kembalinya monopoli seharusnya ada peraturan pemerintah tentang merger dan akuisisi.
”Sampai sekarang, sudah 10 tahun, PP enggak ada. Kesan saya, sadar atau enggak, ini disengaja untuk memberi ruang gerak kepada kelompok usaha tertentu melakukan konsolidasi cepat tanpa aturan. Kesimpulannya, ada lack of institution, weak institution,” ujarnya.
Ketidakjelasan juga terlihat dalam fungsi layanan publik. Di negara maju pun ada batasan tegas sektor yang boleh diprivatisasi dan tidak. Itu tidak terjadi di Indonesia. Beda Indonesia dengan negara welfare state adalah ketika mereka melangkah ke ekonomi pasar, pemerintah telah mempersiapkan jaring pengaman sosial untuk melindungi kelompok marjinal dan terpinggirkan. Di Indonesia, pascakrisis semua cenderung diserahkan kepada pasar, tanpa perlindungan bagi masyarakat yang berada pada asimetris posisi tawar dengan pengusaha. ”Kita lupa membangun tiga pilar lain, yaitu market stabilizing, market regulating, dan market legitimating,” ujarnya.
Bahkan, diakui panelis lain, ada kecenderungan negara mengalihkan beban kegagalan mereka kepada kelompok yang memiliki posisi tawar paling lemah dalam perekonomian, yakni rakyat kecil. Salah satu contoh, kasus kenaikan harga BBM, listrik, atau harga barang akibat ekonomi biaya tinggi.
”Kalaupun (jaringan pengaman) ada, tidak dilaksanakan. Persoalannya lebih pada ada atau tidaknya political will,” tandasnya. Alasan tidak ada anggaran dinilai tak masuk akal. Pascakrisis, birokrasi praktis hanya mengerjakan yang disuruh IMF. ”Gagasan sendiri tidak ada. Bahkan, amanat undang-undang pun tak dilaksanakan. Dalam Jaring Pengaman Sosial Nasional (JPSN), bukannya menyelesaikan masalah, malah sibuk bikin kajian-kajian,” katanya.
Horizon berpikir jangka pendek bukan hanya terlihat dalam kasus JPSN. Panelis lain mengatakan, negara pun tak punya perlindungan. Ia mencontohkan ketidaksiapan Indonesia menghadapi kemungkinan krisis baru karena absennya protokol payung penanganan krisis. ”Kita membuka diri, tetapi tidak men-secure diri kita sendiri. Ekonomi dibiarkan unhedged. Kalau ada shock, mereka cuma bilang, ’Wah, ada shock ya?’ Harga minyak naik, ya sudah, naikkan saja harga BBM. Jadi, beban di-pass on kepada rakyat kecil,” tambahnya.
Terjadi kegagalan kepemimpinan yang menjalar ke fungsi birokrasi, kegagalan institusi, sistem, serta kebijakan dan implementasinya. Ditegaskan, redefinisi peran negara dan transformasi birokrasi tak bisa ditawar lagi. Sebagai bagian dari reformasi dan transformasi kelembagaan, negara didesak mentransformasi diri dari perilaku sebagai kendaraan yang lebih banyak melayani kelompok kaya dan berkuasa menjadi melayani rakyat banyak.
Kehilangan arah
Gugatan lain dari diskusi adalah mengapa negara seperti China dan India bisa tumbuh dua digit atau mendekati, sementara Indonesia yang relatif selamat dari dampak krisis global 2008 kini seakan tak bergerak dan tak mampu membebaskan diri dari perangkap pertumbuhan ekonomi rendah tak berkualitas.
Indikasinya, pertumbuhan tak mampu menciptakan banyak lapangan kerja dan kian mengandalkan pada eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan serta sektor manufaktur berbasis upah murah. Pembangunan ekonomi juga ditandai kian tajamnya ketimpangan antarwilayah, antarkelompok pendapatan, antarsektor. Indonesia secara fatal juga mengabaikan investasi penting ke depan, yakni sumber daya manusia, baik kesehatan maupun pendidikan.
Indonesia dihadapkan pada ”beban warisan problem kelembagaan” yang membuat sulit bergerak lincah dan birokrasi tak responsif. Energi bangsa terkuras untuk persoalan yang tak produktif.
Reformasi birokrasi yang sudah dimulai diakui berjalan sangat lambat. ”Namanya reformasi birokrasi, seharusnya presiden yang memimpin. Kalau enggak, akan ada rasa ewuh pekewuh antarmenteri, siapa melakukan apa? Reformasi sangat bergantung pada pimpinan operasional. Kalau pimpinannya tidak tegas, tak mampu memimpin, reformasi pasti gagal. Silakan mengartikan sendiri,” ujar seorang panelis.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/07/30/02401074/ekonomi.kian.kehilangan.ar
Sri Hartati Samhadi
Kompas
Para ekonom mengingatkan indikasi berkembangnya patronasi politik dan penguatan oligarki ekonomi. Patronasi politik ini melahirkan semacam mafia dan kolusi baru antara penguasa dan pengusaha.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia juga makin kehilangan arah dan daya saing. Jantung ekonomi tidak pernah berfungsi prima karena sistem kelembagaan tak responsif. Penyebabnya, desain yang salah dan ketidakjelasan paradigma kebijakan. Sejak krisis 1997, terjadi perubahan pendulum tajam dari sistem pasar ke negara dan kemudian kembali ke pasar lagi. Semua itu tidak dijalani konsisten sehingga mempersulit desain dan arah kebijakan.
Peringatan para ekonom terungkap dalam Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas dan kajian The Harvard Kennedy School Indonesia. ”Kita tidak tahu titik pijak kita di mana. Paradigma negara enggak. Paradigma pasar juga tidak utuh,” kata seorang panelis.
Mengenai patronasi politik dan oligarki ekonomi, ia melihat dalam beberapa kasus, transaksi politik dan janji kampanye di pasar politik telah membelenggu perekonomian. Tidak ada batas tegas antara negara dan swasta. ”Tak jelas, apakah sesuatu itu ada di ranah publik atau state,” ujarnya.
Ia mencontohkan sejumlah petinggi atau pejabat tinggi negara yang ke mana-mana naik pesawat milik pengusaha tertentu. ”Saya tanya ke KPK, apakah ini masuk gratifikasi, mereka bilang aturannya enggak jelas,” tambahnya. Ketidakjelasan aturan juga menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan jalinan kepentingan kelompok tertentu melahirkan mafia dan faksionalisme serta korupsi yang terorganisasi dan sistemik.
Beberapa kebijakan bahkan terkesan direkayasa, untuk memberi keleluasaan konsolidasi kerajaan bisnis pengusaha. Salah satunya, amanat undang- undang dalam rangka penciptaan iklim persaingan lebih sehat tak kunjung dilaksanakan. Contohnya, peraturan pemerintah (PP) untuk menghindari kembalinya monopoli seharusnya ada peraturan pemerintah tentang merger dan akuisisi.
”Sampai sekarang, sudah 10 tahun, PP enggak ada. Kesan saya, sadar atau enggak, ini disengaja untuk memberi ruang gerak kepada kelompok usaha tertentu melakukan konsolidasi cepat tanpa aturan. Kesimpulannya, ada lack of institution, weak institution,” ujarnya.
Ketidakjelasan juga terlihat dalam fungsi layanan publik. Di negara maju pun ada batasan tegas sektor yang boleh diprivatisasi dan tidak. Itu tidak terjadi di Indonesia. Beda Indonesia dengan negara welfare state adalah ketika mereka melangkah ke ekonomi pasar, pemerintah telah mempersiapkan jaring pengaman sosial untuk melindungi kelompok marjinal dan terpinggirkan. Di Indonesia, pascakrisis semua cenderung diserahkan kepada pasar, tanpa perlindungan bagi masyarakat yang berada pada asimetris posisi tawar dengan pengusaha. ”Kita lupa membangun tiga pilar lain, yaitu market stabilizing, market regulating, dan market legitimating,” ujarnya.
Bahkan, diakui panelis lain, ada kecenderungan negara mengalihkan beban kegagalan mereka kepada kelompok yang memiliki posisi tawar paling lemah dalam perekonomian, yakni rakyat kecil. Salah satu contoh, kasus kenaikan harga BBM, listrik, atau harga barang akibat ekonomi biaya tinggi.
”Kalaupun (jaringan pengaman) ada, tidak dilaksanakan. Persoalannya lebih pada ada atau tidaknya political will,” tandasnya. Alasan tidak ada anggaran dinilai tak masuk akal. Pascakrisis, birokrasi praktis hanya mengerjakan yang disuruh IMF. ”Gagasan sendiri tidak ada. Bahkan, amanat undang-undang pun tak dilaksanakan. Dalam Jaring Pengaman Sosial Nasional (JPSN), bukannya menyelesaikan masalah, malah sibuk bikin kajian-kajian,” katanya.
Horizon berpikir jangka pendek bukan hanya terlihat dalam kasus JPSN. Panelis lain mengatakan, negara pun tak punya perlindungan. Ia mencontohkan ketidaksiapan Indonesia menghadapi kemungkinan krisis baru karena absennya protokol payung penanganan krisis. ”Kita membuka diri, tetapi tidak men-secure diri kita sendiri. Ekonomi dibiarkan unhedged. Kalau ada shock, mereka cuma bilang, ’Wah, ada shock ya?’ Harga minyak naik, ya sudah, naikkan saja harga BBM. Jadi, beban di-pass on kepada rakyat kecil,” tambahnya.
Terjadi kegagalan kepemimpinan yang menjalar ke fungsi birokrasi, kegagalan institusi, sistem, serta kebijakan dan implementasinya. Ditegaskan, redefinisi peran negara dan transformasi birokrasi tak bisa ditawar lagi. Sebagai bagian dari reformasi dan transformasi kelembagaan, negara didesak mentransformasi diri dari perilaku sebagai kendaraan yang lebih banyak melayani kelompok kaya dan berkuasa menjadi melayani rakyat banyak.
Kehilangan arah
Gugatan lain dari diskusi adalah mengapa negara seperti China dan India bisa tumbuh dua digit atau mendekati, sementara Indonesia yang relatif selamat dari dampak krisis global 2008 kini seakan tak bergerak dan tak mampu membebaskan diri dari perangkap pertumbuhan ekonomi rendah tak berkualitas.
Indikasinya, pertumbuhan tak mampu menciptakan banyak lapangan kerja dan kian mengandalkan pada eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan serta sektor manufaktur berbasis upah murah. Pembangunan ekonomi juga ditandai kian tajamnya ketimpangan antarwilayah, antarkelompok pendapatan, antarsektor. Indonesia secara fatal juga mengabaikan investasi penting ke depan, yakni sumber daya manusia, baik kesehatan maupun pendidikan.
Indonesia dihadapkan pada ”beban warisan problem kelembagaan” yang membuat sulit bergerak lincah dan birokrasi tak responsif. Energi bangsa terkuras untuk persoalan yang tak produktif.
Reformasi birokrasi yang sudah dimulai diakui berjalan sangat lambat. ”Namanya reformasi birokrasi, seharusnya presiden yang memimpin. Kalau enggak, akan ada rasa ewuh pekewuh antarmenteri, siapa melakukan apa? Reformasi sangat bergantung pada pimpinan operasional. Kalau pimpinannya tidak tegas, tak mampu memimpin, reformasi pasti gagal. Silakan mengartikan sendiri,” ujar seorang panelis.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/07/30/02401074/ekonomi.kian.kehilangan.ar
Sri Hartati Samhadi
Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya