Sabtu, 14 Agustus 2010

Pusaran Kutukan Politik Uang

Oleh: J Kristiadi


Tulah dapat menimpa siapa saja yang menistakan sesuatu yang seharusnya dimuliakan. Politik sebagai kompleksitas relasi kekuasaan yang mengatur kehidupan bersama mewujudkan kesejahteraan umum adalah upaya yang luhur dan mulia. Namun, setelah lebih dari satu dekade pencerahan politik yang menjanjikan tatanan kekuasaan yang beradab, politik justru berwajah kusam dan berjelaga karena praktik politik uang menjadi jalan pintas para elite politik mencapai kekuasaan.

Berpolitik tak perlu cita-cita. Ibaratnya, walaupun bermodalkan selembar ijazah aspal (asli tapi palsu), jika mempunyai uang berlimpah, kekuasaan dapat dipastikan bisa diraih. Oleh sebab itu, kemuliaan dunia politik kekinian di Indonesia benar-benar mencemaskan karena kering dengan martabat dan kehormatan. Politik uang telah memorakporandakan makna keutamaan karena ketamakan kekuasaan. Kedaulatan rakyat ditukar dengan janji-janji retorik atau uang jajan dan ongkos jalan setiap pencoblosan. Rakyat telah direduksi dari pemegang kedaulatan menjadi angka mati dan dikonversi menjadi kursi.

Perilaku elite politik semacam itu telah menuai kutukan. Sangat jarang dijumpai para simpatisan atau pendukung partai politik bersedia secara sukarela berkejar untuk kepentingan parpol. Perputaran roda kegiatan partai hanya dapat digerakkan dengan uang. Kenangan masyarakat membiayai sendiri kampanye mendukung parpol yang menjadi idolanya pada pemilu 1999 sudah tidak ditemukan dalam pemilu-pemilu berikutnya.

Para elite politik telah memanen benih-benih yang ditebarkannya sendiri. Oleh sebab itu, tidak selayaknya menuduh rakyat telah kehilangan kesantunan, materialistis, dan lain-lain, karena perilaku rakyat hanya merupakan produk praktik politik yang mengajarkan rakyat bahwa elite politik selalu tampak berkelimpahan uang.

Tulah tersebut telah mengakibatkan ongkos politik sangat mahal. Namun, biaya politik yang jauh lebih mahal dan merusak adalah perilaku para elite yang melakukan praktik transaksi kepentingan dan korupsi politik. Ekstraksi kekayaan negara untuk kepentingan politik direguk dengan berbagai cara, misalnya dana rumah aspirasi, dana sosialisasi, dan sebagainya. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (pusat dan daerah) sangat rentan terhadap manipulasi.

Jabatan publik bukan amanah, tetapi kenikmatan. Politik uang telah semakin membuat para elite kedap terhadap keprihatinan dan penderitaan rakyat. Rakyat dan para elitenya mempunyai dunia masing-masing dan bertolak belakang. Rakyat bergulat dengan kesulitan hidup, elite politik sibuk berbagi kuasa dan saling melindungi kepentingan kekuasaan mereka. Eskalasi dan pusaran kutukan menjadi semakin luas dan merusak, karena kebijakan publik tidak memuliakan kepentingan bersama, tetapi menjadi instrumen penguasa membangun oligarki dan dinasti politik.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan produk perundangan sebagai regulasi yang berfungsi mewujudkan kesejahteraan masyarakat tumpang tindih, semrawut, saling tabrak baik secara horizontal maupun vertikal. Alih-alih menjadi ketentuan yang dapat menertibkan tatanan, perundang-undangan justru seperti rimba raya yang dapat menyesatkan siapa pun yang masuk wilayah itu.

Akibatnya, ribuan peraturan daerah bermasalah, puluhan undang-undang diuji materi ke Mahkamah Konstitusi, bahkan UU yang baru beberapa minggu disahkan oleh DPR. Penyebab utamanya karena rezim pemerintahan sekarang tidak mempunyai politik UU sebagai acuan perencanaan program regulasi yang mendukung tujuan nasional. Padahal, UU Nomor 10/2004 secara imperatif mewajibkan perencanaan dalam menyusun melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Program Legislasi Daerah (Prolegda) sebagai instrumen perencanaan penyusunan regulasi agar terpadu dan sistematis. Tetapi semua itu mubazir karena mereka lebih tertarik dengan politik dagang sapi yang dapat menjamin kelangsungan kedudukan mereka. Prolegnas dan Prolegda pun jadi mandul.

Selain itu, demi mengamankan kenikmatan kekuasaan, para pembuat regulasi mengesankan mencoba memandulkan lembaga-lembaga yang selama ini mempunyai reputasi dan peran besar dalam upaya membasmi penyakit yang merusak sendi-sendi negara, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Termasuk dalam kategori itu adalah hilangnya pasal tembakau dalam UU Kesehatan dan penelikungan pasal-pasal dalam regulasi politik sehingga UU menjadi banci.

Oleh karena itu, dewasa ini ancaman paling besar dan kasatmata terhadap upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat, bahkan ancaman terhadap eksistensi tatanan politik yang beradab, adalah politik uang dan korupsi politik. Pusaran kutukan telah semakin membesar dan deras, karena itu perlu segera dilakukan upaya menolak turbulensi tulah yang daya hancurnya sangat dahsyat.

Caranya, tirakat atau zuhud nasional. Para elite politik harus memuliakan kembali politik dengan meninggalkan nafsu perburuan harta dan nikmat. Mereka harus berputar haluan mengejar harkat dan martabat. Dibutuhkan pula kepemimpinan yang sanggup meniupkan sangkakala untuk menyatukan semua kekuatan masyarakat guna mendesak lembaga perwakilan rakyat membuat regulasi jelas dan sanksi tegas terhadap pelaku politik uang. Masyarakat juga harus memberikan sanksi sosial kepada para pelaku korupsi, terutama koruptor politik.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/10/0406521/pusaran.kutukan.politik.uan


J Kristiadi Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...