Oleh: Teten Masduki
Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2010 di Gedung DPR, Presiden Yudhoyono kembali menegaskan komitmen pemberantasan korupsi sebagai prioritas dalam era yang disebutnya reformasi gelombang kedua.
Ditegaskan, ini merupakan kelanjutan dari reformasi gelombang pertama (1998-2008) yang telah berhasil dilewati melalui program antikorupsi yang telah dilakukan secara sistemik, berkesinambungan, mulai dari atas, dan tanpa pandang bulu, dengan berbagai rintahan dan resistensi.
Komitmen baru Presiden tersebut ditegaskan ingin jauh lebih efektif dalam membasmi segala bentuk praktik korupsi dari lingkungan birokrasi negara, termasuk praktik kolusi antara pejabat negara dan pengusaha. Disinggung pula pentingnya agenda pemberantasan mafia hukum sebagai landasan mewujudkan konsep keadilan untuk semua.
Kita belum tahu sejauh mana wibawa pidato Presiden itu bisa meyakinkan publik terhadap agenda pemberantasan korupsi yang dalam setahun pertama pemerintahannya tidak cukup membangun optimisme publik, menyusul mencuatnya kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan, rekening gendut jajaran perwira tinggi Polri, mafia hukum, mafia pajak, dan seterusnya.
Kita juga belum tahu sejauh mana pidato Presiden itu bisa membangkitkan semangat jajaran aparat pemerintah untuk menggenjot indeks persepsi korupsi dari skor 2,8 mencapai 5,0 atau setara dengan Malaysia saat ini, seperti dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Untuk sementara waktu barangkali kita harus memandang pidato itu sebagai sebuah peneguhan janji politik baru, boleh percaya boleh tidak, meskipun ini bukan pidato yang pertama kalinya soal antikorupsi.
Tak seindah realisasi
Yang kita khawatirkan, janji politik itu jauh lebih indah dalam bentuk pidatonya ketimbang realisasinya. Sampai saat ini barangkali tidak berlebihan kalau Presiden Yudhoyono yang memiliki dukungan politik mayoritas belum menunjukkan kepemimpinan dan visi yang kuat untuk menggerakkan seluruh perangkat pemerintahan, terutama kejaksaan dan kepolisian, menjadi sarana perang melawan korupsi yang efektif. Presiden sepertinya menghindari konflik untuk membersihkan birokrasi kita dari pejabat-pejabat kotor, sebagai bagian penting dari reformasi birokrasi selain penyederhanaan kelembagaan dan sistem merit. Bahkan belakangan mulai diadili korupsi yang melibatkan mantan anggota kabinetnya, padahal kita masih ingat janji Yudhoyono yang bertekad memulai pemberantasan korupsi dari lingkungan istana.
Persoalan itu harus diuji betul untuk melanjutkan reformasi birokrasi, dengan menempatkan pegawai negeri sebagai agen perubahan, untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih responsif, transparan dan akuntabel (good governance).
Akhiri persekongkolan?
Ada yang menarik dari pidato Presiden kali ini, yaitu disinggung persoalan kolusi antara pejabat dan pengusaha, yang sudah dibangun sejak era pemerintahan Soeharto dan melahirkan penguasaan sumber daya ekonomi pada segelintir orang, dan kini mereka sedang mencari pola hubungan yang baru yang sesuai dalam situasi fragmentasi kekuasaan politik pascaera demokratisasi.
Ini merupakan isu strategis dalam pemberantasan korupsi, yang boleh kita katakan sebagai mother of corruption di Tanah Air, meskipun bukan fenomena Indonesia saja. Tidak hanya penguasaan sumber daya ekonomi, persekongkolan elite itu juga pengaruhnya luar biasa dalam mendistorsi penegakan hukum dan demokratisasi yang partisipatif.
Dari sini kita bisa memahami bagaimana program pembangunan mass rapid transportation (MRT) sulit direalisasikan, masalah korban lumpur Lapindo terkatung-katung, kredit perbankan publik dikuasai korporasi besar, bahan bakar gas diekspor ketimbang dipakai oleh PLN, dan seterusnya.
Realisasi dari gagasan ini barangkali akan ditentukan oleh sejauh mana para pejabat atau politikus kita berhasil keluar dari masalah pendanaan politik, yang seperti diungkapkan Marcus Mieztner (2007), pada pascareformasi masih berasal dari sumber-sumber korupsi dan dana publik. Lihat fenomena tekanan terhadap dana publik dalam pilkada yang marak belakangan ini.
Kita berharap-harap cemas masalah ini bisa jadi perhatian serius Presiden. Sebab, seperti kata ahli, hambatan utama pemberantasan korupsi di Tanah Air selama ini sesungguhnya permasalahan politik dan tidak ada solusi teknis untuk masalah ini.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/18/03051122/pidato.antikorupsi
Teten Masduki
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia
Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2010 di Gedung DPR, Presiden Yudhoyono kembali menegaskan komitmen pemberantasan korupsi sebagai prioritas dalam era yang disebutnya reformasi gelombang kedua.
Ditegaskan, ini merupakan kelanjutan dari reformasi gelombang pertama (1998-2008) yang telah berhasil dilewati melalui program antikorupsi yang telah dilakukan secara sistemik, berkesinambungan, mulai dari atas, dan tanpa pandang bulu, dengan berbagai rintahan dan resistensi.
Komitmen baru Presiden tersebut ditegaskan ingin jauh lebih efektif dalam membasmi segala bentuk praktik korupsi dari lingkungan birokrasi negara, termasuk praktik kolusi antara pejabat negara dan pengusaha. Disinggung pula pentingnya agenda pemberantasan mafia hukum sebagai landasan mewujudkan konsep keadilan untuk semua.
Kita belum tahu sejauh mana wibawa pidato Presiden itu bisa meyakinkan publik terhadap agenda pemberantasan korupsi yang dalam setahun pertama pemerintahannya tidak cukup membangun optimisme publik, menyusul mencuatnya kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan, rekening gendut jajaran perwira tinggi Polri, mafia hukum, mafia pajak, dan seterusnya.
Kita juga belum tahu sejauh mana pidato Presiden itu bisa membangkitkan semangat jajaran aparat pemerintah untuk menggenjot indeks persepsi korupsi dari skor 2,8 mencapai 5,0 atau setara dengan Malaysia saat ini, seperti dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Untuk sementara waktu barangkali kita harus memandang pidato itu sebagai sebuah peneguhan janji politik baru, boleh percaya boleh tidak, meskipun ini bukan pidato yang pertama kalinya soal antikorupsi.
Tak seindah realisasi
Yang kita khawatirkan, janji politik itu jauh lebih indah dalam bentuk pidatonya ketimbang realisasinya. Sampai saat ini barangkali tidak berlebihan kalau Presiden Yudhoyono yang memiliki dukungan politik mayoritas belum menunjukkan kepemimpinan dan visi yang kuat untuk menggerakkan seluruh perangkat pemerintahan, terutama kejaksaan dan kepolisian, menjadi sarana perang melawan korupsi yang efektif. Presiden sepertinya menghindari konflik untuk membersihkan birokrasi kita dari pejabat-pejabat kotor, sebagai bagian penting dari reformasi birokrasi selain penyederhanaan kelembagaan dan sistem merit. Bahkan belakangan mulai diadili korupsi yang melibatkan mantan anggota kabinetnya, padahal kita masih ingat janji Yudhoyono yang bertekad memulai pemberantasan korupsi dari lingkungan istana.
Persoalan itu harus diuji betul untuk melanjutkan reformasi birokrasi, dengan menempatkan pegawai negeri sebagai agen perubahan, untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih responsif, transparan dan akuntabel (good governance).
Akhiri persekongkolan?
Ada yang menarik dari pidato Presiden kali ini, yaitu disinggung persoalan kolusi antara pejabat dan pengusaha, yang sudah dibangun sejak era pemerintahan Soeharto dan melahirkan penguasaan sumber daya ekonomi pada segelintir orang, dan kini mereka sedang mencari pola hubungan yang baru yang sesuai dalam situasi fragmentasi kekuasaan politik pascaera demokratisasi.
Ini merupakan isu strategis dalam pemberantasan korupsi, yang boleh kita katakan sebagai mother of corruption di Tanah Air, meskipun bukan fenomena Indonesia saja. Tidak hanya penguasaan sumber daya ekonomi, persekongkolan elite itu juga pengaruhnya luar biasa dalam mendistorsi penegakan hukum dan demokratisasi yang partisipatif.
Dari sini kita bisa memahami bagaimana program pembangunan mass rapid transportation (MRT) sulit direalisasikan, masalah korban lumpur Lapindo terkatung-katung, kredit perbankan publik dikuasai korporasi besar, bahan bakar gas diekspor ketimbang dipakai oleh PLN, dan seterusnya.
Realisasi dari gagasan ini barangkali akan ditentukan oleh sejauh mana para pejabat atau politikus kita berhasil keluar dari masalah pendanaan politik, yang seperti diungkapkan Marcus Mieztner (2007), pada pascareformasi masih berasal dari sumber-sumber korupsi dan dana publik. Lihat fenomena tekanan terhadap dana publik dalam pilkada yang marak belakangan ini.
Kita berharap-harap cemas masalah ini bisa jadi perhatian serius Presiden. Sebab, seperti kata ahli, hambatan utama pemberantasan korupsi di Tanah Air selama ini sesungguhnya permasalahan politik dan tidak ada solusi teknis untuk masalah ini.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/18/03051122/pidato.antikorupsi
Teten Masduki
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya