Oleh: Gatot Irianto
Pertanyaan mendasar ini mengemuka karena 17 Agustus 2010 kemerdekaan Indonesia genap berumur 65 tahun.
Logika sederhananya, kalau petani Indonesia jumlahnya mencapai 55 persen dari rakyat Indonesia, kemerdekaan Indonesia otomatis merupakan kemerdekaan petani.
Kalau tidak, siapa sebenarnya yang menikmati kemerdekaan itu? Pertanyaan selanjutnya, setelah merdeka, bagaimana kehidupan petani Indonesia? Apakah semakin sejahtera atau sebaliknya, semakin menderita? Benarkah petani kita semakin tidak berdaya, apa indikator kuantitatifnya dan bagaimana memerdekakan petani dalam arti yang sesungguhnya?
Merdeka atau menderita?
Paling tidak ada tiga indikator penciri dasar apakah petani sudah merdeka atau semakin menderita: tingkat pendidikan, ekonomi, dan kemandirian. Menurut data statistik, 75 persen tingkat pendidikan petani Indonesia tidak tamat dan tamat SD, 24 persen lulus SMP dan SMA, serta hanya 1 persen lulus perguruan tinggi.
Konfigurasi ini menunjukkan bahwa pembebasan biaya pendidikan sampai SMP dan alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan belum mampu memerdekakan petani dari kebodohan dan keterbelakangan.
Ruh pembukaan UUD 1945 bahwa kemerdekaan Indonesia ikut mencerdaskan bangsa dan Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, penetrasinya dangkal di permukaan. Lalu apa makna dan manfaat kemerdekaan bagi petani kita?
Secara ekonomi, sekitar 56 persen petani kita hidup secara subsisten dengan rata-rata luas kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar dan pendapatan Rp 16 juta/hektar/tahun. Harga komoditas yang sebagian diserahkan kepada mekanisme pasar (kecuali beras) menjadikan petani sulit dan terjepit.
Banyaknya petani terjerat rentenir, terperangkap pengijon, dan tidak berdaya menghadapi tengkulak saat panen raya merupakan fakta nyata petani belum merdeka, bahkan menderita. Tragisnya, petani masih harus menyubsidi orang kaya melalui penyediaan pangan murah.
Soal kemandirian, petani masih tergantung secara absolut dalam: penyediaan bibit ayam ras (DOC) yang 100 persen dikuasai perusahaan multinasional, pupuk fosfor dan kalium hampir 100 persen diimpor. Belum lagi pestisida. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan agar petani merdeka dan menikmati hasil kemerdekaan yang dulu diperjuangkannya? Reformasi politik anggaran, perbankan, perindustrian, dan perdagangan merupakan solusi konkretnya.
Politik anggaran
Diperlukan perubahan revolusioner politik anggaran, perbankan, perindustrian, dan perdagangan dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota untuk memerdekakan petani. Alokasi 10 persen anggaran APBN serta APBD I dan II diperlukan untuk perluasan areal baru, infrastruktur pertanian, pascapanen, pengolahan hasil, dan mekanisasi.
Industri agro yang tangguh serta perbankan dan perdagangan yang propetani merupakan komponen pendukungnya. UU Perbankan harus direformasi, agar dana yang dihimpun dari masyarakat pedesaan digunakan untuk memacu sektor pertanian dan UKM, bukan sebaliknya digunakan untuk membiayai usaha konglomerasi. Bunga murah diikuti penghapusan agunan untuk usaha pertanian dan pembiayaan mikro-UKM harus diimplementasikan. Melalui pendampingan super intensif, kredit macet (non performance loans) dapat diminimalkan.
Industri agro harus diarahkan untuk diversifikasi produk hulu-hilir, memberi nilai tambah, daya saing dari komoditas pangan utama nasional (padi, jagung, tepung-tepungan, gula, kelapa sawit, dan daging). Industri tepung berbahan baku lokal harus dipacu untuk meningkatkan nilai tambah, waktu simpan, kualitas, gengsi, dan harga jual.
Tepung modified cassava flour/mocaf terbukti mampu memperpanjang waktu simpan ubi kayu, meningkatkan nilai jual, memperbanyak produk turunan sekaligus pendapatan petani. Importasi tepung terigu harus dikenai bea masuk agar daya saing tepung lokal menguat sehingga pemborosan devisa secara signifikan dapat dieliminasi. Liberalisasi perdagangan sektor pertanian harus dikontrol ketat agar petani tak jadi korban karena tertekan harga jual produk pertaniannya. Keberpihakan pemerintah ketika harga komoditas pertanian anjlok juga harus didukung anggaran memadai. Mekanisasi pertanian, mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim yang makin dahsyat harus menjadi fokus utama pemerintah dalam rangka memerdekakan petani.
Sinergi multisektor
Pertanian terintegrasi dengan produk karbon rendah (carbon efficient farming) yang diintegrasikan dengan sektor pariwisata merupakan teladan konkret bagaimana memerdekakan petani. Melalui integrasi kelapa sawit dan sapi dengan produk utama: kelapa sawit, daging, pakan ternak, pupuk, dan biogas. Integrasi padi sawah, ikan, dan sapi harus dikembangkan sehingga petani dapat menghasilkan beras, ikan, daging, pupuk, dan biogas.
Diversifikasi ini akan meningkatkan ketahanan pangan, ekonomi, dan politik petani menghadapi berbagai guncangan ekonomi dan perubahan iklim. Model pertanian rendah emisi ini antara lain sudah dilaksanakan di Sumatera Utara, Bengkulu, Riau, dan Jawa Barat. DPR harus mendorong pemerintah untuk memperluas dan mempercepat implementasinya.
Mengintegrasikan sektor pertanian dengan sektor lain seperti pariwisata merupakan pilihan ideal untuk mendongkrak harga komoditas pertanian secara nonlinier. Harga komoditas pertanian yang dijual di sektor pariwisata mempunyai nilai tambah nonlinier.
Gubernur Bali mengeksekusi sinergi pertanian terintegrasi dengan sektor pariwisata sehingga terjadi multiplikasi nilai, harga, dan rasa. Hasilnya Gubernur Bali mampu meningkatkan pendapatan petani dua kali lipat sesuai janji kampanyenya karena harga komoditas pertanian tidak mengikuti harga pasar normal sehingga pendapatan petani lebih menjanjikan dibandingkan bekerja di sektor industri yang gajinya berstandar upah minimum regional (UMR). Para gubernur, bupati, dan wali kota perlu mengadopsi pengalaman Gubernur Bali sehingga cepat dan pasti janji pendiri republik untuk mewujudkan masyarakat (termasuk petani) adil dan makmur segera terwujud. Saat itulah petani merdeka dalam arti yang sesungguhnya.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/18/03055248/sudahkah.petani.merdeka
Gatot Irianto Kepala Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian
Pertanyaan mendasar ini mengemuka karena 17 Agustus 2010 kemerdekaan Indonesia genap berumur 65 tahun.
Logika sederhananya, kalau petani Indonesia jumlahnya mencapai 55 persen dari rakyat Indonesia, kemerdekaan Indonesia otomatis merupakan kemerdekaan petani.
Kalau tidak, siapa sebenarnya yang menikmati kemerdekaan itu? Pertanyaan selanjutnya, setelah merdeka, bagaimana kehidupan petani Indonesia? Apakah semakin sejahtera atau sebaliknya, semakin menderita? Benarkah petani kita semakin tidak berdaya, apa indikator kuantitatifnya dan bagaimana memerdekakan petani dalam arti yang sesungguhnya?
Merdeka atau menderita?
Paling tidak ada tiga indikator penciri dasar apakah petani sudah merdeka atau semakin menderita: tingkat pendidikan, ekonomi, dan kemandirian. Menurut data statistik, 75 persen tingkat pendidikan petani Indonesia tidak tamat dan tamat SD, 24 persen lulus SMP dan SMA, serta hanya 1 persen lulus perguruan tinggi.
Konfigurasi ini menunjukkan bahwa pembebasan biaya pendidikan sampai SMP dan alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan belum mampu memerdekakan petani dari kebodohan dan keterbelakangan.
Ruh pembukaan UUD 1945 bahwa kemerdekaan Indonesia ikut mencerdaskan bangsa dan Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, penetrasinya dangkal di permukaan. Lalu apa makna dan manfaat kemerdekaan bagi petani kita?
Secara ekonomi, sekitar 56 persen petani kita hidup secara subsisten dengan rata-rata luas kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar dan pendapatan Rp 16 juta/hektar/tahun. Harga komoditas yang sebagian diserahkan kepada mekanisme pasar (kecuali beras) menjadikan petani sulit dan terjepit.
Banyaknya petani terjerat rentenir, terperangkap pengijon, dan tidak berdaya menghadapi tengkulak saat panen raya merupakan fakta nyata petani belum merdeka, bahkan menderita. Tragisnya, petani masih harus menyubsidi orang kaya melalui penyediaan pangan murah.
Soal kemandirian, petani masih tergantung secara absolut dalam: penyediaan bibit ayam ras (DOC) yang 100 persen dikuasai perusahaan multinasional, pupuk fosfor dan kalium hampir 100 persen diimpor. Belum lagi pestisida. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan agar petani merdeka dan menikmati hasil kemerdekaan yang dulu diperjuangkannya? Reformasi politik anggaran, perbankan, perindustrian, dan perdagangan merupakan solusi konkretnya.
Politik anggaran
Diperlukan perubahan revolusioner politik anggaran, perbankan, perindustrian, dan perdagangan dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota untuk memerdekakan petani. Alokasi 10 persen anggaran APBN serta APBD I dan II diperlukan untuk perluasan areal baru, infrastruktur pertanian, pascapanen, pengolahan hasil, dan mekanisasi.
Industri agro yang tangguh serta perbankan dan perdagangan yang propetani merupakan komponen pendukungnya. UU Perbankan harus direformasi, agar dana yang dihimpun dari masyarakat pedesaan digunakan untuk memacu sektor pertanian dan UKM, bukan sebaliknya digunakan untuk membiayai usaha konglomerasi. Bunga murah diikuti penghapusan agunan untuk usaha pertanian dan pembiayaan mikro-UKM harus diimplementasikan. Melalui pendampingan super intensif, kredit macet (non performance loans) dapat diminimalkan.
Industri agro harus diarahkan untuk diversifikasi produk hulu-hilir, memberi nilai tambah, daya saing dari komoditas pangan utama nasional (padi, jagung, tepung-tepungan, gula, kelapa sawit, dan daging). Industri tepung berbahan baku lokal harus dipacu untuk meningkatkan nilai tambah, waktu simpan, kualitas, gengsi, dan harga jual.
Tepung modified cassava flour/mocaf terbukti mampu memperpanjang waktu simpan ubi kayu, meningkatkan nilai jual, memperbanyak produk turunan sekaligus pendapatan petani. Importasi tepung terigu harus dikenai bea masuk agar daya saing tepung lokal menguat sehingga pemborosan devisa secara signifikan dapat dieliminasi. Liberalisasi perdagangan sektor pertanian harus dikontrol ketat agar petani tak jadi korban karena tertekan harga jual produk pertaniannya. Keberpihakan pemerintah ketika harga komoditas pertanian anjlok juga harus didukung anggaran memadai. Mekanisasi pertanian, mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim yang makin dahsyat harus menjadi fokus utama pemerintah dalam rangka memerdekakan petani.
Sinergi multisektor
Pertanian terintegrasi dengan produk karbon rendah (carbon efficient farming) yang diintegrasikan dengan sektor pariwisata merupakan teladan konkret bagaimana memerdekakan petani. Melalui integrasi kelapa sawit dan sapi dengan produk utama: kelapa sawit, daging, pakan ternak, pupuk, dan biogas. Integrasi padi sawah, ikan, dan sapi harus dikembangkan sehingga petani dapat menghasilkan beras, ikan, daging, pupuk, dan biogas.
Diversifikasi ini akan meningkatkan ketahanan pangan, ekonomi, dan politik petani menghadapi berbagai guncangan ekonomi dan perubahan iklim. Model pertanian rendah emisi ini antara lain sudah dilaksanakan di Sumatera Utara, Bengkulu, Riau, dan Jawa Barat. DPR harus mendorong pemerintah untuk memperluas dan mempercepat implementasinya.
Mengintegrasikan sektor pertanian dengan sektor lain seperti pariwisata merupakan pilihan ideal untuk mendongkrak harga komoditas pertanian secara nonlinier. Harga komoditas pertanian yang dijual di sektor pariwisata mempunyai nilai tambah nonlinier.
Gubernur Bali mengeksekusi sinergi pertanian terintegrasi dengan sektor pariwisata sehingga terjadi multiplikasi nilai, harga, dan rasa. Hasilnya Gubernur Bali mampu meningkatkan pendapatan petani dua kali lipat sesuai janji kampanyenya karena harga komoditas pertanian tidak mengikuti harga pasar normal sehingga pendapatan petani lebih menjanjikan dibandingkan bekerja di sektor industri yang gajinya berstandar upah minimum regional (UMR). Para gubernur, bupati, dan wali kota perlu mengadopsi pengalaman Gubernur Bali sehingga cepat dan pasti janji pendiri republik untuk mewujudkan masyarakat (termasuk petani) adil dan makmur segera terwujud. Saat itulah petani merdeka dalam arti yang sesungguhnya.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/18/03055248/sudahkah.petani.merdeka
Gatot Irianto Kepala Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya