Oleh: Kacung Marijan
Di antara argumentasi pokok para elite yang melakukan amandemen terhadap UUD 1945 secara eksplisit menetapkan sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan adalah karena sistem ini dipandang lebih memungkinkan bagi adanya bangunan pemerintahan yang stabil.
Pengalaman, dan diskursus tentang apa yang terjadi pada 1950-an, agaknya cukup kuat membayangi para elite itu untuk tetap memilih sistem presidensial. Bahwa sistem parlementer telah membuat adanya ketidakstabilan politik akibat seringnya pergantian di dalam pemerintahan.
Di samping itu, pengalaman dijatuhkannya Gus Dur di tengah jalan juga jadi pertimbangan. Dalam sistem presidensial, presiden tidak bisa begitu saja dijatuhkan oleh parlemen tanpa prosedur sangat ketat. Proses penjatuhan Gus Dur tergolong sangat longgar. Para elite secara substansial menyadari adanya pemerintahan yang stabil akan memungkinkan proses pembuatan dan implementasi kebijakan yang lebih efektif dan efisien. Ujung-ujungnya, yang dilakukan pemerintah akan lebih bermanfaat untuk rakyat.
Hanya saja, satu dekade setelah sistem presidensial itu secara sengaja ditetapkan dan diimplementasikan, harapan itu masih juga belum menjadi kenyataan. Betul bahwa pasca-Gus Dur tidak ada seorang pun presiden yang diturunkan di tengah jalan. Tetapi, adanya kebijakan-kebijakan yang efektif dan efisien untuk masyarakat akibat adanya penggunaan sistem presidensial masih belumlah terasa.
Di balik adanya presiden yang telah dipagari oleh sistem presidensial, gonjang- ganjing di sana-sini masih sering terjadi. Konsekuensinya, presiden tidak leluasa membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan. Mengapa hal demikian terjadi?
Bergantung kepada parlemen
Secara kelembagaan, Indonesia tidak murni menganut sistem presidensial. Di satu sisi, presiden memiliki otoritas dan kekuasaan cukup substansial. Di sisi lain, dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan, presiden masih sangat bergantung kepada parlemen.
Konsekuensinya, presiden terpilih harus mengikuti alur pikir sistem parlementer dalam membentuk dan menjalankan roda pemerintahan. Karena bergantung kepada parlemen, presiden merasa harus membangun koalisi dengan partai-partai yang memiliki kekuatan di parlemen. Padahal, tradisi koalisi lebih banyak dipakai dalam sistem parlementer.
Realitas semacam itu semakin menjadi keharusan karena Indonesia menganut sistem multipartai. Sejumlah studi menyimpulkan, sistem presidensial akan stabil manakala ditopang sistem dua partai.
Oleh karena itu, ketika menjelaskan potret pemerintahan periode 2004-2009, secara sambil lalu saya pernah menyebut Indonesia lebih dekat menganut ”sistem semi-presidensial”. Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki tingkat elektabilitas tinggi bertindak sebagai presiden dan Jusuf Kalla yang mengendalikan parlemen sebagai ”perdana menteri”.
Upaya mengatasi masalah semacam itu, secara kelembagaan, telah dicoba. Di antaranya adalah melalui upaya menyederhanakan sistem kepartaian, baik melalui electoral threshold maupun melalui parliamentary threshold. Namun, upaya semacam ini tidak membawa hasil yang berarti. Indonesia masih tetap menganut sistem multipartai.
Upaya semacam itu bisa lebih mungkin dilakukan kalau threshold yang diberlakukan di atas kisaran 10 persen atau bahkan 15 persen. Namun, upaya semacam ini sering dianggap tidak ramah terhadap demokrasi karena mengabaikan fakta tentang kemajemukan masyarakat yang memang kuat di Indonesia sehingga tingkat keterwakilan politik sangat berkurang.
Permasalahan semacam itu semakin mengemuka karena, secara politik, Indonesia pasca-Orde Baru memang telah mengarah pada situasi ”fragmented state”. Di dalam negara demikian, kekuasaan menyebar ke banyak kelompok dan aktor, termasuk adanya penyebaran kekuasaan ke daerah-daerah.
Presidensial setengah hati
Sistem presidensial yang setengah hati itu selama ini masih belum mampu mengatasi situasi semacam itu. Kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh presiden, misalnya, acap kali tidak hanya telah melahirkan penolakan dari lawan-lawan politiknya, tetapi juga telah melahirkan penolakan dari daerah.
Padahal, agar suatu pemerintahan berjalan efektif dan efisien, dibutuhkan sejumlah persyaratan. Pertama, proses pembuatan keputusan dilakukan dalam waktu yang lebih cepat. Kedua, adanya birokrasi yang memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan keputusan-keputusan melalui, misalnya, adanya koordinasi, baik secara vertikal maupun horizontal.
Dalam kondisi semacam itu, memang tidak mudah harus memulai dari mana desain perbaikan dilakukan. Secara empiris, masyarakat Indonesia yang plural memang lebih cocok menganut sistem parlementer. Akan tetapi, mengingat adanya keinginan kuat untuk membangun pemerintahan yang demokratis dan stabil sekaligus, dipakailah sistem presidensial yang setengah hati itu.
Formula sederhana untuk mengatasi hal itu adalah melalui perombakan konstitusional, misalnya menghilangkan unsur ”parlementarian” dalam konstitusi maupun perundang-undangan yang lain. Namun, ini jelas tidak mudah karena akan menempuh jalan berliku. Yang lebih mungkin, melalui improvisasi sistem presidensial setengah hati lewat sejumlah langkah, misalnya seperti berikut.
Pertama, kekuatan-kekuatan politik menyadari pentingnya koalisi yang lebih permanen. Dengan demikian, kekuatan politik akan terbagi ke dalam dua pilahan besar, koalisi yang memerintah dan koalisi yang beroposisi. Koalisi semacam itu akan terwujud manakala tiap partai memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi, termasuk disiplin di dalam membangun komitmen berkoalisi. Selain itu, threshold di dalam pemilu juga tetap harus diberlakukan untuk meminimalisasi pendatang baru di luar mainstream koalisi besar itu.
Kedua, adanya desain kelembagaan yang memungkinkan hidupnya koordinasi, baik secara vertikal maupun horizontal, misalnya melalui pembagian kekuasaan dan otoritas yang lebih jelas dan tidak tumpang tindih. Ketiga, adanya seorang presiden yang memiliki kemampuan sebagai dirigen dalam memerintah. Kemampuan dirigen ini tidak hanya untuk mengoordinasikan koalisi yang dibangun, tetapi juga mengoordinasikan kebijakan- kebijakan yang akan dibuat dan diimplementasikan di daerah.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/07/28/03084733/sistem.presidensial..berma
Kacung Marijan
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
Di antara argumentasi pokok para elite yang melakukan amandemen terhadap UUD 1945 secara eksplisit menetapkan sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan adalah karena sistem ini dipandang lebih memungkinkan bagi adanya bangunan pemerintahan yang stabil.
Pengalaman, dan diskursus tentang apa yang terjadi pada 1950-an, agaknya cukup kuat membayangi para elite itu untuk tetap memilih sistem presidensial. Bahwa sistem parlementer telah membuat adanya ketidakstabilan politik akibat seringnya pergantian di dalam pemerintahan.
Di samping itu, pengalaman dijatuhkannya Gus Dur di tengah jalan juga jadi pertimbangan. Dalam sistem presidensial, presiden tidak bisa begitu saja dijatuhkan oleh parlemen tanpa prosedur sangat ketat. Proses penjatuhan Gus Dur tergolong sangat longgar. Para elite secara substansial menyadari adanya pemerintahan yang stabil akan memungkinkan proses pembuatan dan implementasi kebijakan yang lebih efektif dan efisien. Ujung-ujungnya, yang dilakukan pemerintah akan lebih bermanfaat untuk rakyat.
Hanya saja, satu dekade setelah sistem presidensial itu secara sengaja ditetapkan dan diimplementasikan, harapan itu masih juga belum menjadi kenyataan. Betul bahwa pasca-Gus Dur tidak ada seorang pun presiden yang diturunkan di tengah jalan. Tetapi, adanya kebijakan-kebijakan yang efektif dan efisien untuk masyarakat akibat adanya penggunaan sistem presidensial masih belumlah terasa.
Di balik adanya presiden yang telah dipagari oleh sistem presidensial, gonjang- ganjing di sana-sini masih sering terjadi. Konsekuensinya, presiden tidak leluasa membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan. Mengapa hal demikian terjadi?
Bergantung kepada parlemen
Secara kelembagaan, Indonesia tidak murni menganut sistem presidensial. Di satu sisi, presiden memiliki otoritas dan kekuasaan cukup substansial. Di sisi lain, dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan, presiden masih sangat bergantung kepada parlemen.
Konsekuensinya, presiden terpilih harus mengikuti alur pikir sistem parlementer dalam membentuk dan menjalankan roda pemerintahan. Karena bergantung kepada parlemen, presiden merasa harus membangun koalisi dengan partai-partai yang memiliki kekuatan di parlemen. Padahal, tradisi koalisi lebih banyak dipakai dalam sistem parlementer.
Realitas semacam itu semakin menjadi keharusan karena Indonesia menganut sistem multipartai. Sejumlah studi menyimpulkan, sistem presidensial akan stabil manakala ditopang sistem dua partai.
Oleh karena itu, ketika menjelaskan potret pemerintahan periode 2004-2009, secara sambil lalu saya pernah menyebut Indonesia lebih dekat menganut ”sistem semi-presidensial”. Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki tingkat elektabilitas tinggi bertindak sebagai presiden dan Jusuf Kalla yang mengendalikan parlemen sebagai ”perdana menteri”.
Upaya mengatasi masalah semacam itu, secara kelembagaan, telah dicoba. Di antaranya adalah melalui upaya menyederhanakan sistem kepartaian, baik melalui electoral threshold maupun melalui parliamentary threshold. Namun, upaya semacam ini tidak membawa hasil yang berarti. Indonesia masih tetap menganut sistem multipartai.
Upaya semacam itu bisa lebih mungkin dilakukan kalau threshold yang diberlakukan di atas kisaran 10 persen atau bahkan 15 persen. Namun, upaya semacam ini sering dianggap tidak ramah terhadap demokrasi karena mengabaikan fakta tentang kemajemukan masyarakat yang memang kuat di Indonesia sehingga tingkat keterwakilan politik sangat berkurang.
Permasalahan semacam itu semakin mengemuka karena, secara politik, Indonesia pasca-Orde Baru memang telah mengarah pada situasi ”fragmented state”. Di dalam negara demikian, kekuasaan menyebar ke banyak kelompok dan aktor, termasuk adanya penyebaran kekuasaan ke daerah-daerah.
Presidensial setengah hati
Sistem presidensial yang setengah hati itu selama ini masih belum mampu mengatasi situasi semacam itu. Kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh presiden, misalnya, acap kali tidak hanya telah melahirkan penolakan dari lawan-lawan politiknya, tetapi juga telah melahirkan penolakan dari daerah.
Padahal, agar suatu pemerintahan berjalan efektif dan efisien, dibutuhkan sejumlah persyaratan. Pertama, proses pembuatan keputusan dilakukan dalam waktu yang lebih cepat. Kedua, adanya birokrasi yang memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan keputusan-keputusan melalui, misalnya, adanya koordinasi, baik secara vertikal maupun horizontal.
Dalam kondisi semacam itu, memang tidak mudah harus memulai dari mana desain perbaikan dilakukan. Secara empiris, masyarakat Indonesia yang plural memang lebih cocok menganut sistem parlementer. Akan tetapi, mengingat adanya keinginan kuat untuk membangun pemerintahan yang demokratis dan stabil sekaligus, dipakailah sistem presidensial yang setengah hati itu.
Formula sederhana untuk mengatasi hal itu adalah melalui perombakan konstitusional, misalnya menghilangkan unsur ”parlementarian” dalam konstitusi maupun perundang-undangan yang lain. Namun, ini jelas tidak mudah karena akan menempuh jalan berliku. Yang lebih mungkin, melalui improvisasi sistem presidensial setengah hati lewat sejumlah langkah, misalnya seperti berikut.
Pertama, kekuatan-kekuatan politik menyadari pentingnya koalisi yang lebih permanen. Dengan demikian, kekuatan politik akan terbagi ke dalam dua pilahan besar, koalisi yang memerintah dan koalisi yang beroposisi. Koalisi semacam itu akan terwujud manakala tiap partai memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi, termasuk disiplin di dalam membangun komitmen berkoalisi. Selain itu, threshold di dalam pemilu juga tetap harus diberlakukan untuk meminimalisasi pendatang baru di luar mainstream koalisi besar itu.
Kedua, adanya desain kelembagaan yang memungkinkan hidupnya koordinasi, baik secara vertikal maupun horizontal, misalnya melalui pembagian kekuasaan dan otoritas yang lebih jelas dan tidak tumpang tindih. Ketiga, adanya seorang presiden yang memiliki kemampuan sebagai dirigen dalam memerintah. Kemampuan dirigen ini tidak hanya untuk mengoordinasikan koalisi yang dibangun, tetapi juga mengoordinasikan kebijakan- kebijakan yang akan dibuat dan diimplementasikan di daerah.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/07/28/03084733/sistem.presidensial..berma
Kacung Marijan
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya