* Didik Supriyanto
Jakarta - Ketika aktivis ICW Tama S Langkun menjadi korban kekerasan oleh orang tak dikenal pada Kamis (8/7/2010), banyak kalangan menduga, pasti Presiden SBY bereaksi. Maklum, kejadian kekerasan yang berlangsung Kamis menjelang subuh itu, diberitakan luas oleh media online, radio dan televisi.
Jadi, tanpa terlebih dahulu menunggu informasi dari bawahannya, SBY sudah mendapatkan informasi yang cukup. Kapolri yang pada Kamis siang hari masih enggan berkomentar, akhirnya harus bertindak cepat, setelah mendengar pernyataan SBY yang disampaikan sebelum sidang kabinet.
Memang SBY tidak mengecam kejadian tersebut, namun nada bicaranya menunjukkan dia sangat prihatin. Dia minta agar aparat kepolisian segera menemukan pelakunya dan motif di balik tindakan tidak beradab tersebut. SBY mengingatkan kemungkinan terlibatnya pihak ketiga.
Tidak cukup mengeluarkan pernyataan keprihatinan dan memerintahkan secara lisan kepada polisi agar segera bertindak, pada Sabtu (10/7/2010), SBY menyempatkan diri menjenguk Tama S Langkun di rumah sakit. Sekali lagi SBY memberi pesan: pelaku harus segera ditemukan untuk menghindari saling curiga dan saling tidak percaya.
Kepedulian SBY terhadap korban kekerasan tidak perlu disangsikan lagi, lebih-lebih terhadap aktivis dan TKI. Untuk kasus kematian Munir misalnya, berkali-kali SBY menerima keluarga dan kawan-kawan Munir yang berusaha keras mencari pelakunya. Demikian juga dengan TKI, beberapa korban sempat ditemuinya.
Tetapi kepedulian SBY tersebut sering meninggalkan tanya: seriuskah presiden hendak menuntaskan kasus-kasus kekerasan itu, atau ini sekadar publikasi diri saja? Wajar saja muncul keraguan, sebab keprihatinan dan kepedulian hanya berhanti pada pernyataan. Aksi menyelesaikan kasus, paling tidak secara hukum, belum terbuktikan.
Untuk kasus-kasus kekerasan TKI, sebagaimana dilaporkan media setempat, telah ditempuh langkah-langkah hukum. Paling tidak pelaku sudah diproses di pengadilan negara yang bersangkutan. Namun, sampai sekarang belum ada kebijakan jelas dari pemerintah untuk melindungi para TKI dari tindak kekerasan. Tidak heran bila kejadian akan terus berulang. Bandingkan dengan kesungguhan pemerintah Filipina dalam melindungi warga negaranya di luar negeri.
Bagaimana dengan kasus kekerasan terhadap aktivis? Kasus Munir yang cetho welo-welo siapa pelakunya saja, proses hukumnya mengecewakan, apalagi kasus-kasus yang masih sumir. Bolehlah mengelak, bahwa presiden tidak bisa mencampuri proses hukum. Tapi bukankah presiden bisa menindak pimpinan kejaksaan dan kepolisian yang kinerja buruk?
Coba perhatikan apa yang akan terjadi pada kasus Tama S Langkun nanti. Polisi tampak mengalami kesulitan untuk menemukan pelaku, padahal saksi kunci sudah didapat. Sungguh tidak terlalu sulit untuk mencari tahu siapa sesungguhnya saksi kunci Toriq itu. Juga bukan hal yang rumit untuk menemukan "jaringan" Toriq. Wong mencari jaringan teroris yang canggih saja bisa.
Jika saja polisi, secara hukum, mengatakan pelaku tidak ditemukan, seperti kasus-kasus lain, SBY (mungkin) akan memahaminya (lagi), karena hukum yang memang harus menyelesaikannya.
Ya, tentu saja SBY tidak boleh mencampuri proses hukum. Kita sepakat. Tapi SBY bisa melakukan tindakan politik. Apabila dia melihat kinerja aparat hukum tidak memuaskan, tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat, ya pecat saja pimpinan institusi penegak hukum.
Bukankah Presiden yang berwenang mengangkat dan memperhatikan Kapolri dan Jaksa Agung? Bukankah Presiden bisa meminta Kapolri dan Jaksa Agung untuk memecat anak buahnya yang kerjanya tidak beres? Inilah bentuk kepedulian yang lebih kongkret, tidak sekadar pernyataan. Jika tidak untuk menyelesaikan kasus yang ada sekarang, tindakan nyata ini akan berdampak pada kinerja pejabat hukum ke depan.
* Didik Supriyanto: wartawan detikcom. Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili pendapat perusahaan.
Jakarta - Ketika aktivis ICW Tama S Langkun menjadi korban kekerasan oleh orang tak dikenal pada Kamis (8/7/2010), banyak kalangan menduga, pasti Presiden SBY bereaksi. Maklum, kejadian kekerasan yang berlangsung Kamis menjelang subuh itu, diberitakan luas oleh media online, radio dan televisi.
Jadi, tanpa terlebih dahulu menunggu informasi dari bawahannya, SBY sudah mendapatkan informasi yang cukup. Kapolri yang pada Kamis siang hari masih enggan berkomentar, akhirnya harus bertindak cepat, setelah mendengar pernyataan SBY yang disampaikan sebelum sidang kabinet.
Memang SBY tidak mengecam kejadian tersebut, namun nada bicaranya menunjukkan dia sangat prihatin. Dia minta agar aparat kepolisian segera menemukan pelakunya dan motif di balik tindakan tidak beradab tersebut. SBY mengingatkan kemungkinan terlibatnya pihak ketiga.
Tidak cukup mengeluarkan pernyataan keprihatinan dan memerintahkan secara lisan kepada polisi agar segera bertindak, pada Sabtu (10/7/2010), SBY menyempatkan diri menjenguk Tama S Langkun di rumah sakit. Sekali lagi SBY memberi pesan: pelaku harus segera ditemukan untuk menghindari saling curiga dan saling tidak percaya.
Kepedulian SBY terhadap korban kekerasan tidak perlu disangsikan lagi, lebih-lebih terhadap aktivis dan TKI. Untuk kasus kematian Munir misalnya, berkali-kali SBY menerima keluarga dan kawan-kawan Munir yang berusaha keras mencari pelakunya. Demikian juga dengan TKI, beberapa korban sempat ditemuinya.
Tetapi kepedulian SBY tersebut sering meninggalkan tanya: seriuskah presiden hendak menuntaskan kasus-kasus kekerasan itu, atau ini sekadar publikasi diri saja? Wajar saja muncul keraguan, sebab keprihatinan dan kepedulian hanya berhanti pada pernyataan. Aksi menyelesaikan kasus, paling tidak secara hukum, belum terbuktikan.
Untuk kasus-kasus kekerasan TKI, sebagaimana dilaporkan media setempat, telah ditempuh langkah-langkah hukum. Paling tidak pelaku sudah diproses di pengadilan negara yang bersangkutan. Namun, sampai sekarang belum ada kebijakan jelas dari pemerintah untuk melindungi para TKI dari tindak kekerasan. Tidak heran bila kejadian akan terus berulang. Bandingkan dengan kesungguhan pemerintah Filipina dalam melindungi warga negaranya di luar negeri.
Bagaimana dengan kasus kekerasan terhadap aktivis? Kasus Munir yang cetho welo-welo siapa pelakunya saja, proses hukumnya mengecewakan, apalagi kasus-kasus yang masih sumir. Bolehlah mengelak, bahwa presiden tidak bisa mencampuri proses hukum. Tapi bukankah presiden bisa menindak pimpinan kejaksaan dan kepolisian yang kinerja buruk?
Coba perhatikan apa yang akan terjadi pada kasus Tama S Langkun nanti. Polisi tampak mengalami kesulitan untuk menemukan pelaku, padahal saksi kunci sudah didapat. Sungguh tidak terlalu sulit untuk mencari tahu siapa sesungguhnya saksi kunci Toriq itu. Juga bukan hal yang rumit untuk menemukan "jaringan" Toriq. Wong mencari jaringan teroris yang canggih saja bisa.
Jika saja polisi, secara hukum, mengatakan pelaku tidak ditemukan, seperti kasus-kasus lain, SBY (mungkin) akan memahaminya (lagi), karena hukum yang memang harus menyelesaikannya.
Ya, tentu saja SBY tidak boleh mencampuri proses hukum. Kita sepakat. Tapi SBY bisa melakukan tindakan politik. Apabila dia melihat kinerja aparat hukum tidak memuaskan, tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat, ya pecat saja pimpinan institusi penegak hukum.
Bukankah Presiden yang berwenang mengangkat dan memperhatikan Kapolri dan Jaksa Agung? Bukankah Presiden bisa meminta Kapolri dan Jaksa Agung untuk memecat anak buahnya yang kerjanya tidak beres? Inilah bentuk kepedulian yang lebih kongkret, tidak sekadar pernyataan. Jika tidak untuk menyelesaikan kasus yang ada sekarang, tindakan nyata ini akan berdampak pada kinerja pejabat hukum ke depan.
* Didik Supriyanto: wartawan detikcom. Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili pendapat perusahaan.
Sumber: www.detiknews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya