Suud Sukahar - detikNews
Jakarta - Ical bilang politisi Golkar harus meniru tikus. Mengendap sebelum menggigit. Eh, omongan ‘sambil lalu’ itu tiba-tiba menimbulkan polemik. Sampai ada yang bilang bahaya. Adakah benar ada dogma omong tikus itu bahaya?
Ini seperti baku-sedu. Bergurau, kata orang Manado. Ngomong tikus kok mrantak ke mana-mana. Memang benar ada filosofi Jawa yang mengatakan ajining diri soko lati, ajining rogo soko busono. Harga diri itu dari ucapan, dan harga badan itu dari pakaian. Tapi itu untuk ucapan yang tidak senonoh atau umpatan.
Namun memakai perilaku ‘positif’ binatang sebagai contoh bukanlah aib. Apalagi sampai diinterpretasikan sebagai ‘instruksi’ penggalangan ‘jamaah korupsi’ dalam organisasi politik besar. Sebab ini bukan organisasi maling atau perampok, dan pertemuan itu bukanlah untuk merancang aksi melakukan tindak kriminal.
Memang benar tikus itu sudah terlanjur menerima nasib sebagai simbol korupsi. Ngrikiti yang tikus pithi (nyingnying). Dan nggrogoti bagi tikus thong-thong. Dia merugikan petani karena makan padi di sawah. Bahaya tikus sama dengan wereng. Tapi ingat, cindil anak tikus sering dilahap di desa. Dia dianggap obat kuat. Kuat untuk mencangkul sawah. Dan jos untuk mencangkul ‘lahan’ di rumah.
Tikus di Manado justru bagian dari santapan ‘mewah’. Tikus hutan dijual lumrah di pasar, dan disantap ramai-ramai sekeluarga. Tapi sebaliknya kalau cap tikus, itu jenis saguer (tuak) dari enau, ditenggak ramai-ramai untuk melanglang ke dunia ‘antah-berantah’.
Cap tikus ini sering membawa nyong lupa diri. Saking asyik menikmati cap tikus, mereka tak tahu siang atau malam. Anekdot setempat menyebut, mereka sepakat bertanya pada pejalan kaki. “Teman, ini siang atau malam,” tanyanya. Apa jawab pejalan yang ditanya? “Eh, maaf, aku orang baru di sini.” Yang bertanya dan yang ditanya memang sama-sama mabuk berat.
Kisah seperti itu terjadi di Manado. Terutama saat pergantian tahun. Aroma cap tikus (alkohol) tercium di mana-mana. Pantai menjadi pasar raya. Plaza jadi pasar rakyat. Dan kampung-kampung tak beda ramainya.
Namun ada lagi tikus yang menantang kodrat. Dia suka usil dan bawel. Binatang yang biasa dikejar-kejar kucing untuk disantap itu justru meledek sang pemangsa dengan berbagai tipu-muslihat. Kucing selalu menjadi obyek penderita. Dia kalah dan menjadi binatang ternista. Nama tikus dan kucing itu adalah Tom & Jerry.
Sebagai simbol, ternyata tikus tak melulu mewakili lambang korupsi. Tikus telah keluar dari ruang dan waktu dari sosok dan sikap lahiriahnya. Kontemporerisasi membentuknya begitu, dan entah mimesis apalagi di rentang waktu. Maka tikus sebagai padanan rasanya tak layak melahirkan syak-prasangka.
Kalau omongan Ical itu dalam konteks heteronisasi sinyal itu, maka rasanya tidak ada yang salah dalam perkara ini. Namun jika dalam hati kecil Ical terngiang tikus sebagai simbol korupsi, maka ungkapan itu memang tidak layak disampaikan pada forum itu. Sebab Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Partai Golkar itu memang bisa saja diinterpretasikan sebagai cara dan langkah kader partai ini untuk menjadi ‘politisi tikus’. Politisi untuk menggerogoti uang rakyat.
Adakah itu yang dimaksud Ical? Jika iya, penegak hukum memang harus mulai waspada!
* Djoko Suud Sukahar: pemerhati budaya, tinggal di Jakarta
Jakarta - Ical bilang politisi Golkar harus meniru tikus. Mengendap sebelum menggigit. Eh, omongan ‘sambil lalu’ itu tiba-tiba menimbulkan polemik. Sampai ada yang bilang bahaya. Adakah benar ada dogma omong tikus itu bahaya?
Ini seperti baku-sedu. Bergurau, kata orang Manado. Ngomong tikus kok mrantak ke mana-mana. Memang benar ada filosofi Jawa yang mengatakan ajining diri soko lati, ajining rogo soko busono. Harga diri itu dari ucapan, dan harga badan itu dari pakaian. Tapi itu untuk ucapan yang tidak senonoh atau umpatan.
Namun memakai perilaku ‘positif’ binatang sebagai contoh bukanlah aib. Apalagi sampai diinterpretasikan sebagai ‘instruksi’ penggalangan ‘jamaah korupsi’ dalam organisasi politik besar. Sebab ini bukan organisasi maling atau perampok, dan pertemuan itu bukanlah untuk merancang aksi melakukan tindak kriminal.
Memang benar tikus itu sudah terlanjur menerima nasib sebagai simbol korupsi. Ngrikiti yang tikus pithi (nyingnying). Dan nggrogoti bagi tikus thong-thong. Dia merugikan petani karena makan padi di sawah. Bahaya tikus sama dengan wereng. Tapi ingat, cindil anak tikus sering dilahap di desa. Dia dianggap obat kuat. Kuat untuk mencangkul sawah. Dan jos untuk mencangkul ‘lahan’ di rumah.
Tikus di Manado justru bagian dari santapan ‘mewah’. Tikus hutan dijual lumrah di pasar, dan disantap ramai-ramai sekeluarga. Tapi sebaliknya kalau cap tikus, itu jenis saguer (tuak) dari enau, ditenggak ramai-ramai untuk melanglang ke dunia ‘antah-berantah’.
Cap tikus ini sering membawa nyong lupa diri. Saking asyik menikmati cap tikus, mereka tak tahu siang atau malam. Anekdot setempat menyebut, mereka sepakat bertanya pada pejalan kaki. “Teman, ini siang atau malam,” tanyanya. Apa jawab pejalan yang ditanya? “Eh, maaf, aku orang baru di sini.” Yang bertanya dan yang ditanya memang sama-sama mabuk berat.
Kisah seperti itu terjadi di Manado. Terutama saat pergantian tahun. Aroma cap tikus (alkohol) tercium di mana-mana. Pantai menjadi pasar raya. Plaza jadi pasar rakyat. Dan kampung-kampung tak beda ramainya.
Namun ada lagi tikus yang menantang kodrat. Dia suka usil dan bawel. Binatang yang biasa dikejar-kejar kucing untuk disantap itu justru meledek sang pemangsa dengan berbagai tipu-muslihat. Kucing selalu menjadi obyek penderita. Dia kalah dan menjadi binatang ternista. Nama tikus dan kucing itu adalah Tom & Jerry.
Sebagai simbol, ternyata tikus tak melulu mewakili lambang korupsi. Tikus telah keluar dari ruang dan waktu dari sosok dan sikap lahiriahnya. Kontemporerisasi membentuknya begitu, dan entah mimesis apalagi di rentang waktu. Maka tikus sebagai padanan rasanya tak layak melahirkan syak-prasangka.
Kalau omongan Ical itu dalam konteks heteronisasi sinyal itu, maka rasanya tidak ada yang salah dalam perkara ini. Namun jika dalam hati kecil Ical terngiang tikus sebagai simbol korupsi, maka ungkapan itu memang tidak layak disampaikan pada forum itu. Sebab Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Partai Golkar itu memang bisa saja diinterpretasikan sebagai cara dan langkah kader partai ini untuk menjadi ‘politisi tikus’. Politisi untuk menggerogoti uang rakyat.
Adakah itu yang dimaksud Ical? Jika iya, penegak hukum memang harus mulai waspada!
* Djoko Suud Sukahar: pemerhati budaya, tinggal di Jakarta
Sumber: www.detiknews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya