Oleh: Ikrar Nusa Bhakti
BAYANGKAN, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta jiwa atau 13,33%. Gambaran ini serupa dengan pandangan seorang perwira menengah TNI dalam perbincangan dengan penulis bahwa kondisi ekonomi kita makin buruk, rakyat bawah semakin sulit untuk hidup. Ini tentu akan berdampak pula bagi stabilitas keamanan negeri kita.
“Satu hal yang lebih mengerikan,” ujarnya. ”Kalau saya berbicara dengan masyarakat bawah di sekitar Jabodetabek (Jakarta,Bogor, Depok,Tangerang, dan Bekasi), kata revolusi sudah menjadi kata yang kerap terdengar. Entah apa tujuan mereka. Revolusi ya revolusi saja untuk mengubah kepengapan hidup.” Gambaran memilukan itu belum termasuk apa jadinya nasib penduduk negeri ini setelah pemberlakuan kenaikan tarif dasar listrik mulai 1 Juli 2010 dan juga bila harga bahan bakar minyak (BBM) juga naik. Gambaran kemiskinan negeri ini amat bertolak belakang dengan hingar-bingar politik di tingkat pusat yang sibuk dengan pembentukan kartel politik, konfederasi politik, amalgamasi politik,atau di tingkat daerah yang pemilu kepala daerahnya sedang berlangsung.
Di kala elite politik ribut soal perebutan, pengelompokan,pengumpulan kekuasaan,rakyat pemegang kedaulatan politik tertinggi di negeri ini malah semakin sesak nafas karena soal ledakan tabung gas yang datang silih berganti, serta kenaikan harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik leher mereka. Dari sisi teori politik, rakyat akan merasakan ada negara jika dan hanya jika mereka menikmati beberapa hal: pertama, keamanan di wilayahnya; kedua, harkat diri karena tersedianya pekerjaan baik di sektor formal maupun informal; ketiga, tersedianya kebutuhan pokok dengan harga terjangkau; keempat, tersedianya pendidikan yang tidak mendiskriminasi antara yang kaya dan yang miskin; kelima, kebanggaan bagi negerinya yang termashur di seantero bumi karena pencapaian posisi penting di bidang olah raga atau ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kondisi kita saat ini tampaknya menyebabkan sebagian rakyat sering bertanya, adakah pemerintahan di negeri ini, baik di pusat maupun daerah? Kalaupun ada, mengapa keberadaan pemerintahan bagaikan ada dan tiada karena beban hidup rakyat semakin hari semakin berat dan bukan semakin ringan.Sementara para politisi asyik bermain politik atau menghambur- hamburkan uang yang entah dari mana asalnya saat berlangsung berbagai pemilu,dari Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009 sampai ke pemilu kepala daerah yang kini sedang marak.
Hal yang juga mencengangkan rakyat,betapa mudahnya para elite politik berpindah partai dari partai A ke Partai B, tanpa ada penjelasan mengapa hal itu mereka lakukan.Ada juga komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tanpa malu-malu menyatakan dirinya berhenti sebagai anggota KPU dan bergabung dengan partai politik yang sedang berkuasa walaupun dia tahu hal itu melanggar undang-undang. Anehnya lagi, partai yang sedang berkuasa itu, Partai Demokrat, membuka tangan selebar- lebarnya bagi sang komisioner KPU tersebut,tanpa malu-malu kucing pula.
Hal yang lebih menyesakkan hati, ada beberapa kepala daerah yang maju ke pilkada didukung oleh partai A, setelah berkuasa mendekat ke partai B dan kemudian menjadi pengurus dari partai B tersebut. Rasanya tak ada etika politik di negeri ini. Acara muktamar atau konferensi nasional partai-partai politik juga datang silih berganti bagaikan film kolosal dan diadakan di hotel-hotel mewah yang hanya dapat ditonton oleh rakyat,tapi tidak dapat dirasakan apa hasilnya bagi mereka. Di sini terjadi suatu jurang yang amat dalam dan lebar antara elite politik yang menikmati kekuasaan politik dan uang yang seharusnya berbakti kepada rakyat,dengan kondisi rakyat pada umumnya yang terpuruk.
Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilihan umum apapun, tapi seakan dilupakan ketika para elite politik itu menduduki jabatan di eksekutif ataupun legislatif pusat atau daerah. Gambaran antrean panjang rakyat yang akan mengambil bantuan langsung tunai di berbagai kantor pos seakan menambah miris hati orang yang melihatnya.Penulis yang pernah merasakan antre minyak tanah pada pertengahan tahun 1960-an,merasakan kegetiran yang amat dalam jika melihat betapa gedung-gedung mewah menjulang tinggi makin banyak di Ibu Kota, tetapi nasib rakyat kecil tidak pernah berubah dalam 40 tahun terakhir.
Bila keadaan yang menyesakkan ini terus berlanjut, jangan salahkan rakyat jika wacana berevolusi semakin populer dan dapat menjadi pilihan politik mereka kelak. Bagi elite politik di pemerintahan dan parlemen,tak ada jalan lain selain kecuali semakin memperhatikan nasib rakyat kecil,jika mereka tak ingin tergilas oleh “roda revolusi.”(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/337801/38/
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
BAYANGKAN, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta jiwa atau 13,33%. Gambaran ini serupa dengan pandangan seorang perwira menengah TNI dalam perbincangan dengan penulis bahwa kondisi ekonomi kita makin buruk, rakyat bawah semakin sulit untuk hidup. Ini tentu akan berdampak pula bagi stabilitas keamanan negeri kita.
“Satu hal yang lebih mengerikan,” ujarnya. ”Kalau saya berbicara dengan masyarakat bawah di sekitar Jabodetabek (Jakarta,Bogor, Depok,Tangerang, dan Bekasi), kata revolusi sudah menjadi kata yang kerap terdengar. Entah apa tujuan mereka. Revolusi ya revolusi saja untuk mengubah kepengapan hidup.” Gambaran memilukan itu belum termasuk apa jadinya nasib penduduk negeri ini setelah pemberlakuan kenaikan tarif dasar listrik mulai 1 Juli 2010 dan juga bila harga bahan bakar minyak (BBM) juga naik. Gambaran kemiskinan negeri ini amat bertolak belakang dengan hingar-bingar politik di tingkat pusat yang sibuk dengan pembentukan kartel politik, konfederasi politik, amalgamasi politik,atau di tingkat daerah yang pemilu kepala daerahnya sedang berlangsung.
Di kala elite politik ribut soal perebutan, pengelompokan,pengumpulan kekuasaan,rakyat pemegang kedaulatan politik tertinggi di negeri ini malah semakin sesak nafas karena soal ledakan tabung gas yang datang silih berganti, serta kenaikan harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik leher mereka. Dari sisi teori politik, rakyat akan merasakan ada negara jika dan hanya jika mereka menikmati beberapa hal: pertama, keamanan di wilayahnya; kedua, harkat diri karena tersedianya pekerjaan baik di sektor formal maupun informal; ketiga, tersedianya kebutuhan pokok dengan harga terjangkau; keempat, tersedianya pendidikan yang tidak mendiskriminasi antara yang kaya dan yang miskin; kelima, kebanggaan bagi negerinya yang termashur di seantero bumi karena pencapaian posisi penting di bidang olah raga atau ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kondisi kita saat ini tampaknya menyebabkan sebagian rakyat sering bertanya, adakah pemerintahan di negeri ini, baik di pusat maupun daerah? Kalaupun ada, mengapa keberadaan pemerintahan bagaikan ada dan tiada karena beban hidup rakyat semakin hari semakin berat dan bukan semakin ringan.Sementara para politisi asyik bermain politik atau menghambur- hamburkan uang yang entah dari mana asalnya saat berlangsung berbagai pemilu,dari Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009 sampai ke pemilu kepala daerah yang kini sedang marak.
Hal yang juga mencengangkan rakyat,betapa mudahnya para elite politik berpindah partai dari partai A ke Partai B, tanpa ada penjelasan mengapa hal itu mereka lakukan.Ada juga komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tanpa malu-malu menyatakan dirinya berhenti sebagai anggota KPU dan bergabung dengan partai politik yang sedang berkuasa walaupun dia tahu hal itu melanggar undang-undang. Anehnya lagi, partai yang sedang berkuasa itu, Partai Demokrat, membuka tangan selebar- lebarnya bagi sang komisioner KPU tersebut,tanpa malu-malu kucing pula.
Hal yang lebih menyesakkan hati, ada beberapa kepala daerah yang maju ke pilkada didukung oleh partai A, setelah berkuasa mendekat ke partai B dan kemudian menjadi pengurus dari partai B tersebut. Rasanya tak ada etika politik di negeri ini. Acara muktamar atau konferensi nasional partai-partai politik juga datang silih berganti bagaikan film kolosal dan diadakan di hotel-hotel mewah yang hanya dapat ditonton oleh rakyat,tapi tidak dapat dirasakan apa hasilnya bagi mereka. Di sini terjadi suatu jurang yang amat dalam dan lebar antara elite politik yang menikmati kekuasaan politik dan uang yang seharusnya berbakti kepada rakyat,dengan kondisi rakyat pada umumnya yang terpuruk.
Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilihan umum apapun, tapi seakan dilupakan ketika para elite politik itu menduduki jabatan di eksekutif ataupun legislatif pusat atau daerah. Gambaran antrean panjang rakyat yang akan mengambil bantuan langsung tunai di berbagai kantor pos seakan menambah miris hati orang yang melihatnya.Penulis yang pernah merasakan antre minyak tanah pada pertengahan tahun 1960-an,merasakan kegetiran yang amat dalam jika melihat betapa gedung-gedung mewah menjulang tinggi makin banyak di Ibu Kota, tetapi nasib rakyat kecil tidak pernah berubah dalam 40 tahun terakhir.
Bila keadaan yang menyesakkan ini terus berlanjut, jangan salahkan rakyat jika wacana berevolusi semakin populer dan dapat menjadi pilihan politik mereka kelak. Bagi elite politik di pemerintahan dan parlemen,tak ada jalan lain selain kecuali semakin memperhatikan nasib rakyat kecil,jika mereka tak ingin tergilas oleh “roda revolusi.”(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/337801/38/
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya