Oleh: Cornelis Lay
Satu demi satu rumah penduduk porak-poranda menjadi korban ledakan tabung elpiji 3 kilogram. Tabung gas yang diperkenalkan, bahkan dengan ”kekerasan” sebagai bagian dari kebijakan konversi penggunaan energi, awalnya disinetronkan sebagai teknologi hemat energi yang juga ramah lingkungan.
Beberapa tahun lalu, para pejabat berbusa-busa meyakinkan dan bahkan memaksa publik untuk bermigrasi ke teknologi ini atas nama penghematan dan kesehatan lingkungan. Penolakan publik dikerdilkan sebagai respons irasional sebagai akibat dari gagap teknologi dan belum melembaganya penggunaan teknologi ini. Semuanya begitu menjanjikan, semuanya begitu mudah.
Hanya saja, fakta di bulan-bulan terakhir ini memastikan, teknologi ini telah bertukar wajah menjadi teror bagi warga kelas bawah. Nyawa lepas nyawa meregang, tanpa sempat tahu apa yang terjadi. Warga yang mulai membiasakan, bahkan menggantungkan diri pada teknologi ini, dipaksa berhadapan dengan watak asli teknologi ini, yakni sebagai terorisme.
Ledakan tabung gas bisa terjadi kapan dan di mana saja dan korban pun bisa siapa saja. Ini mengingatkan publik pada sifat hakiki terorisme, yakni indiscriminate target. Namun, berbeda dengan terorisme yang disebarkan pelaku bom bunuh diri, tabung gas sebagai senjata pemusnah justru dikirimkan dengan otorisasi negara.
Dari Banyuwangi, kisah lain mencuat. Tiga wakil rakyat asal PDI Perjuangan yang sedang menjalankan tugasnya di masa reses menemukan diri mereka sebagai musuh ideologi negara di mata gerombolan kecil warga.
Mereka diultimatum untuk minggat dari republik Banyuwangi dengan ancaman kekerasan, tanpa ada tindakan berarti dari polisi sebagai representasi negara. Mereka akhirnya harus terbirit-birit menyelamatkan diri sambil disaksikan polisi yang cuma bisa terkagum-kagum.
Kisah dari Banyuwangi cuma episode kecil di tengah-tengah belantara merajalelanya penggunaan kekerasan oleh segerombolan orang untuk memaksakan kehendaknya. Penghancuran, pengusiran, pembatalan, dan penutupan secara paksa tempat-tempat hiburan, rumah-rumah ibadah, kantor media massa, fasilitas publik, pertunjukan, dan masih banyak lagi oleh gerombolan kecil orang atas nama kesucian ideologi telah menjadi kisah normal dalam perkembangan republik ini.
Memvalidasi negara
Dua kisah di atas bisa dipastikan bukan kisah paling fenomenal, apalagi kontroversial, di Indonesia. Ada kisah Ariel-Luna Maya-Cut Tari, Gayus, cecak versus buaya, ”gentong babi” (pork barrel), bahkan hak pilih TNI, serta heroisme Andi Nurpati dalam memorakporandakan KPU dan seluruh bangunan berdemokrasi kita.
Namun, keduanya boleh jadi sangat penting digunakan sebagai kasus untuk memvalidasi kehadiran negara sebagai sebuah konsep dan praksis politik yang praktis tidak dipertanyakan lagi dalam ratusan tahun terakhir ini. Benarkah kita masih punya negara? Jika ya, seperti apa sih watak negara sekarang ini? Apa sih yang dikerjakan negara?
Kedua kasus di atas seakan ingin mengonfirmasi ketiadaan negara—kecuali dalam sebutan—dalam pengaturan kehidupan publik. Jika kita sepakat melindungi warga merupakan fungsi klasik negara sekaligus rasion de etre bagi kehadiran negara dan jika kita sepakat bahwa karena itulah negara diberi monopoli wewenang penggunaan kekerasan secara sah—sebagai pembeda dengan institusi nonnegara—kita akan mudah sepakat dua kasus di atas merefleksikan kealpaan serius negara di tengah-tengah kita. Tak ada perlindungan, tak ada usaha menghentikan pengambilalihan penggunaan kekerasan oleh gerombolan kecil di luar negara.
Namun, jika kealpaan negara dianggap terlampau berlebihan, boleh jadi dua kasus di atas sedang berkisah tentang semakin seriusnya fragmentasi negara, semakin digdayanya watak pembiaran negara, serta kian kuatnya ”rapat”, ”seminar”, dan ”koordinasi” sebagai mentalitas baru negara. Penjelasan Menteri ESDM (Kompas, 25 Juni) memberikan gambaran soal ini. Secara jujur beliau mengklarifikasi betapa ragamnya ”negara” yang mengontrol Indonesia sebagai ruang politik. Indonesia hanya sekadar himpunan dari sejumlah ”negara otonom”—yang beliau sebut kementerian A, B, C—dengan kekuasaan veto mahabesar.
Sebagai konfederasi dari kementerian-kementerian, tugas pokok pemerintah sebagai executing power dari negara sangat terbatas, yakni melakukan ”koordinasi”. Jika diringkas, kira-kira akan seperti ini: ”mari duduk bersama berkoordinasi untuk menemukan pola penanganan yang tersimpul”. Gambaran dari sebuah negara dengan mentalitas ”rapat” dan ”seminar” yang cerdas dalam menghasilkan kesimpulan, tetapi idiot ketika dihadapkan pada keharusan untuk mengambil tindakan. Akibatnya sangat jelas, yakni merajalela kebiasaan pembiaran oleh negara.
Menguji batas kesabaran rakyat
Untuk fase sekarang, masyarakat masih menemukan cara lunak dan beradab dalam merespons terorisme tabung gas. Warga miskin kembali ke kayu bakar sebagai teknologi di mana rasa aman yang terampas ditemukan kembali. Anggota DPR berikut partainya masih santun dengan meminta klarifikasi Polri. Namun, kita sudah cukup belajar, kesabaran rakyat ada limitnya.
Masyarakat sudah lama belajar bahwa bahkan sebuah perusahaan pun harus menarik produknya dari pasaran jika ada indikasi kegagalan teknis yang berisiko pada keselamatan manusia. Itu pula yang selayaknya dilakukan pemerintah, bukan asyik berwacana.
Demikian pula kekuatan politik, seperti partai, jangan dipojokkan untuk kembali membangun kekuatan paramiliternya hanya untuk melindungi wakil dan pemimpin mereka. Pemerintah sewajarnya menggunakan monopolinya atas penggunaan kekerasan secara sah dengan menindas para perampas kewenangan.
Berfungsinya negara sebagai penjamin keamanan setiap warga dari ancaman apa pun kita perlukan biar nantinya Indonesia tidak terkaget-kaget menemukan dirinya dalam situasi homo homini lupus. Kita sudah pernah melewatinya, jangan pernah menyepelekan.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/30/0311007/negara.di.mana.kau.gera
Cornelis Lay Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
Satu demi satu rumah penduduk porak-poranda menjadi korban ledakan tabung elpiji 3 kilogram. Tabung gas yang diperkenalkan, bahkan dengan ”kekerasan” sebagai bagian dari kebijakan konversi penggunaan energi, awalnya disinetronkan sebagai teknologi hemat energi yang juga ramah lingkungan.
Beberapa tahun lalu, para pejabat berbusa-busa meyakinkan dan bahkan memaksa publik untuk bermigrasi ke teknologi ini atas nama penghematan dan kesehatan lingkungan. Penolakan publik dikerdilkan sebagai respons irasional sebagai akibat dari gagap teknologi dan belum melembaganya penggunaan teknologi ini. Semuanya begitu menjanjikan, semuanya begitu mudah.
Hanya saja, fakta di bulan-bulan terakhir ini memastikan, teknologi ini telah bertukar wajah menjadi teror bagi warga kelas bawah. Nyawa lepas nyawa meregang, tanpa sempat tahu apa yang terjadi. Warga yang mulai membiasakan, bahkan menggantungkan diri pada teknologi ini, dipaksa berhadapan dengan watak asli teknologi ini, yakni sebagai terorisme.
Ledakan tabung gas bisa terjadi kapan dan di mana saja dan korban pun bisa siapa saja. Ini mengingatkan publik pada sifat hakiki terorisme, yakni indiscriminate target. Namun, berbeda dengan terorisme yang disebarkan pelaku bom bunuh diri, tabung gas sebagai senjata pemusnah justru dikirimkan dengan otorisasi negara.
Dari Banyuwangi, kisah lain mencuat. Tiga wakil rakyat asal PDI Perjuangan yang sedang menjalankan tugasnya di masa reses menemukan diri mereka sebagai musuh ideologi negara di mata gerombolan kecil warga.
Mereka diultimatum untuk minggat dari republik Banyuwangi dengan ancaman kekerasan, tanpa ada tindakan berarti dari polisi sebagai representasi negara. Mereka akhirnya harus terbirit-birit menyelamatkan diri sambil disaksikan polisi yang cuma bisa terkagum-kagum.
Kisah dari Banyuwangi cuma episode kecil di tengah-tengah belantara merajalelanya penggunaan kekerasan oleh segerombolan orang untuk memaksakan kehendaknya. Penghancuran, pengusiran, pembatalan, dan penutupan secara paksa tempat-tempat hiburan, rumah-rumah ibadah, kantor media massa, fasilitas publik, pertunjukan, dan masih banyak lagi oleh gerombolan kecil orang atas nama kesucian ideologi telah menjadi kisah normal dalam perkembangan republik ini.
Memvalidasi negara
Dua kisah di atas bisa dipastikan bukan kisah paling fenomenal, apalagi kontroversial, di Indonesia. Ada kisah Ariel-Luna Maya-Cut Tari, Gayus, cecak versus buaya, ”gentong babi” (pork barrel), bahkan hak pilih TNI, serta heroisme Andi Nurpati dalam memorakporandakan KPU dan seluruh bangunan berdemokrasi kita.
Namun, keduanya boleh jadi sangat penting digunakan sebagai kasus untuk memvalidasi kehadiran negara sebagai sebuah konsep dan praksis politik yang praktis tidak dipertanyakan lagi dalam ratusan tahun terakhir ini. Benarkah kita masih punya negara? Jika ya, seperti apa sih watak negara sekarang ini? Apa sih yang dikerjakan negara?
Kedua kasus di atas seakan ingin mengonfirmasi ketiadaan negara—kecuali dalam sebutan—dalam pengaturan kehidupan publik. Jika kita sepakat melindungi warga merupakan fungsi klasik negara sekaligus rasion de etre bagi kehadiran negara dan jika kita sepakat bahwa karena itulah negara diberi monopoli wewenang penggunaan kekerasan secara sah—sebagai pembeda dengan institusi nonnegara—kita akan mudah sepakat dua kasus di atas merefleksikan kealpaan serius negara di tengah-tengah kita. Tak ada perlindungan, tak ada usaha menghentikan pengambilalihan penggunaan kekerasan oleh gerombolan kecil di luar negara.
Namun, jika kealpaan negara dianggap terlampau berlebihan, boleh jadi dua kasus di atas sedang berkisah tentang semakin seriusnya fragmentasi negara, semakin digdayanya watak pembiaran negara, serta kian kuatnya ”rapat”, ”seminar”, dan ”koordinasi” sebagai mentalitas baru negara. Penjelasan Menteri ESDM (Kompas, 25 Juni) memberikan gambaran soal ini. Secara jujur beliau mengklarifikasi betapa ragamnya ”negara” yang mengontrol Indonesia sebagai ruang politik. Indonesia hanya sekadar himpunan dari sejumlah ”negara otonom”—yang beliau sebut kementerian A, B, C—dengan kekuasaan veto mahabesar.
Sebagai konfederasi dari kementerian-kementerian, tugas pokok pemerintah sebagai executing power dari negara sangat terbatas, yakni melakukan ”koordinasi”. Jika diringkas, kira-kira akan seperti ini: ”mari duduk bersama berkoordinasi untuk menemukan pola penanganan yang tersimpul”. Gambaran dari sebuah negara dengan mentalitas ”rapat” dan ”seminar” yang cerdas dalam menghasilkan kesimpulan, tetapi idiot ketika dihadapkan pada keharusan untuk mengambil tindakan. Akibatnya sangat jelas, yakni merajalela kebiasaan pembiaran oleh negara.
Menguji batas kesabaran rakyat
Untuk fase sekarang, masyarakat masih menemukan cara lunak dan beradab dalam merespons terorisme tabung gas. Warga miskin kembali ke kayu bakar sebagai teknologi di mana rasa aman yang terampas ditemukan kembali. Anggota DPR berikut partainya masih santun dengan meminta klarifikasi Polri. Namun, kita sudah cukup belajar, kesabaran rakyat ada limitnya.
Masyarakat sudah lama belajar bahwa bahkan sebuah perusahaan pun harus menarik produknya dari pasaran jika ada indikasi kegagalan teknis yang berisiko pada keselamatan manusia. Itu pula yang selayaknya dilakukan pemerintah, bukan asyik berwacana.
Demikian pula kekuatan politik, seperti partai, jangan dipojokkan untuk kembali membangun kekuatan paramiliternya hanya untuk melindungi wakil dan pemimpin mereka. Pemerintah sewajarnya menggunakan monopolinya atas penggunaan kekerasan secara sah dengan menindas para perampas kewenangan.
Berfungsinya negara sebagai penjamin keamanan setiap warga dari ancaman apa pun kita perlukan biar nantinya Indonesia tidak terkaget-kaget menemukan dirinya dalam situasi homo homini lupus. Kita sudah pernah melewatinya, jangan pernah menyepelekan.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/30/0311007/negara.di.mana.kau.gera
Cornelis Lay Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya