Oleh: Djoko Suud Sukahar
Jenderal polisi punya rekening jumbo. Itu diwartakan majalah Tempo. Polisi bukan introspeksi dan melidik tapi justru bereaksi. Mereka tersinggung dan menuntut majalah itu. Kebiasaan lama kumat kembali? Apakah karena umur makin bertambah, bukan kian dewasa tapi makin renta? Ini catatan soal itu.
Saya pernah lihat film An Officer & The Gentleman. Film ini diproduksi tahun 1982 dan putar di Indonesia sekitar lima tahun kemudian. Film ini berkisah soal ‘kelahiran’ seorang jenderal. Sersan disiplin dan lurus-lurus saja tidak kunjung naik pangkat. Tapi siswa ndugal dan ugal-ugalan yang dididik kariernya berhasil gemilang.
Film yang dibintangi Richard Gere dengan Debra Winger itu sangat menawan. Itu dibuktikan dengan penghargaan terhadap film ini, dua Oscar, enam kemenangan dan tigabelas nominator. Ditambah bumbu percintaan yang tidak vulgar, melihat film ‘angkatan laut’ itu perasaan ikut terhanyut. Jenderal itu lahir dari ‘banyak akal’ tapi tetap dalam koridor moral.
Nah saya juga pernah melihat film Jenderal Kancil. Jenderal Kancil ini bersenjata pistol mainan. Dia membentuk pasukan penjaga keamanan. Bersama teman-temannya meronda kampung. Dan berkat keberaniannya, maling yang suka mengganggu berhasil dibekuk. Penduduk bangga punya anak-anak yang perkasa.
Itu film anak-anak zaman lama yang dimainkan Achmad Albar dan puluhan pemeran lain yang mayoritas sudah almarhum. Anak-anak itu termotivasi menjadi jenderal karena itu lambang hero. Jenderal identik pahlawan bagi masyarakat. Dia pengayom lingkungan, dan pemupus keresahan.
Zack Mayo (Richard Gere) dan Jenderal Kancil (Achmad Albar) anggap saja mewakili jenderal positif. Tetapi di masyarakat kita ada lagi jenderal yang berasal dari ‘dunia kelam’ yang acap disebut ‘Jenderal Pethak’. ‘Pethak’ kata lain dari ‘pethal’ atau ‘botak buatan’ terminologi dari kepandaian ‘palsu’. Tidak pandai tetapi berperan sebagai orang pandai agar dianggap pandai.
Jenderal jenis ini bisa berasal dari jenderal ‘betulan’ tetapi tingkah-lakunya tidak mencerminkan ‘kejenderalannya’. Tapi terbanyak jendral genre ini hanya sebutan untuk orang sombong, ngawur, suka mengaku-aku, termasuk pemeras dan penipu. Maka kalau berhadapan dengan ‘jenderal’ ini jangan tanya soal moralitasnya. Pastinya ancur-ancuran!
Terus bagaimana dengan jenderal yang diberitakan majalah Tempo, yang katanya jenderal-jenderal itu punya rekening jumbo? Adakah mereka masuk kategori Zack Mayo dan Jenderal Kancil atau justru Jenderal Pethak?
Kalau rekening itu menjadi ‘lele jumbo’, indikasi ‘haram’ jalan menumpuknya hampir pasti. Soalnya sudah bukan rahasia lagi. Kita tahu seberapa besar rekening ‘lele lokal’ yang stagnan di tabungan. Kendati terkini dikembangkan ‘lele Sangkuriang’ yang montok berisi kayak ‘lele jumbo’ yang bukan money laundering dan hasil korupsi.
Warta majalah Tempo itu cukup bagus dan konstruktif. Polisi harusnya arif menyikapi. Tidak responsif, apalagi emosional. Isu miring soal ‘gendut-gendutan’ rekening itu sudah lama mekar. Dan makin tahun dibiarkan tak juga kunjung memunculkan kesadaran. Sadar untuk membenahi yang bopeng-bopeng di lapangan.
Sebab ‘perang bintang’ sudah laten terjadi. Tak hanya dalam merebut catu di pendidikan dan lapangan kerja, tetapi juga merambah pada jabatan-jabatan strategis organisasi sosial dan partai politik. Ini jangan anggap tidak ada yang tahu. Kalau itu tidak ada yang mengkritisi, maka ke depan jenderal baik langka ada, sedang Jenderal Pethak berada di mana-mana.
Ya, jenderal punya rekening jumbo itu isu lama. Tidak mengejutkan. Justru kita terkejut dengan sikap Kapolri menanggapi kasus ini. Jika tidak direm dan waspada, maka reaksi itu bakal jadi tepukan air di dulang yang bakal terpercik muka sendiri. Adakah itu konsekuensi logis zaman edan?
Ini zaman edan, kata Ronggowarsito. Yang tidak edan tidak kebagian. Tapi sebaik-baik yang edan, lebih baik yang ingat dan waspada. Ingat dan waspada perlu diberi tanda miring. Sebab sudah terlalu melimpah orang yang ‘tidak ingat’ dan ‘lupa ingatan’. Apalagi yang waspada!
Selamat ulang tahun yang ke-64, Polisiku. Semoga tambah umur tambah sidik paningale. Terus waspada agar waskita!
*Djoko Suud Sukahar: pemerhati budaya, tinggal di Jakarta
Saya pernah lihat film An Officer & The Gentleman. Film ini diproduksi tahun 1982 dan putar di Indonesia sekitar lima tahun kemudian. Film ini berkisah soal ‘kelahiran’ seorang jenderal. Sersan disiplin dan lurus-lurus saja tidak kunjung naik pangkat. Tapi siswa ndugal dan ugal-ugalan yang dididik kariernya berhasil gemilang.
Film yang dibintangi Richard Gere dengan Debra Winger itu sangat menawan. Itu dibuktikan dengan penghargaan terhadap film ini, dua Oscar, enam kemenangan dan tigabelas nominator. Ditambah bumbu percintaan yang tidak vulgar, melihat film ‘angkatan laut’ itu perasaan ikut terhanyut. Jenderal itu lahir dari ‘banyak akal’ tapi tetap dalam koridor moral.
Nah saya juga pernah melihat film Jenderal Kancil. Jenderal Kancil ini bersenjata pistol mainan. Dia membentuk pasukan penjaga keamanan. Bersama teman-temannya meronda kampung. Dan berkat keberaniannya, maling yang suka mengganggu berhasil dibekuk. Penduduk bangga punya anak-anak yang perkasa.
Itu film anak-anak zaman lama yang dimainkan Achmad Albar dan puluhan pemeran lain yang mayoritas sudah almarhum. Anak-anak itu termotivasi menjadi jenderal karena itu lambang hero. Jenderal identik pahlawan bagi masyarakat. Dia pengayom lingkungan, dan pemupus keresahan.
Zack Mayo (Richard Gere) dan Jenderal Kancil (Achmad Albar) anggap saja mewakili jenderal positif. Tetapi di masyarakat kita ada lagi jenderal yang berasal dari ‘dunia kelam’ yang acap disebut ‘Jenderal Pethak’. ‘Pethak’ kata lain dari ‘pethal’ atau ‘botak buatan’ terminologi dari kepandaian ‘palsu’. Tidak pandai tetapi berperan sebagai orang pandai agar dianggap pandai.
Jenderal jenis ini bisa berasal dari jenderal ‘betulan’ tetapi tingkah-lakunya tidak mencerminkan ‘kejenderalannya’. Tapi terbanyak jendral genre ini hanya sebutan untuk orang sombong, ngawur, suka mengaku-aku, termasuk pemeras dan penipu. Maka kalau berhadapan dengan ‘jenderal’ ini jangan tanya soal moralitasnya. Pastinya ancur-ancuran!
Terus bagaimana dengan jenderal yang diberitakan majalah Tempo, yang katanya jenderal-jenderal itu punya rekening jumbo? Adakah mereka masuk kategori Zack Mayo dan Jenderal Kancil atau justru Jenderal Pethak?
Kalau rekening itu menjadi ‘lele jumbo’, indikasi ‘haram’ jalan menumpuknya hampir pasti. Soalnya sudah bukan rahasia lagi. Kita tahu seberapa besar rekening ‘lele lokal’ yang stagnan di tabungan. Kendati terkini dikembangkan ‘lele Sangkuriang’ yang montok berisi kayak ‘lele jumbo’ yang bukan money laundering dan hasil korupsi.
Warta majalah Tempo itu cukup bagus dan konstruktif. Polisi harusnya arif menyikapi. Tidak responsif, apalagi emosional. Isu miring soal ‘gendut-gendutan’ rekening itu sudah lama mekar. Dan makin tahun dibiarkan tak juga kunjung memunculkan kesadaran. Sadar untuk membenahi yang bopeng-bopeng di lapangan.
Sebab ‘perang bintang’ sudah laten terjadi. Tak hanya dalam merebut catu di pendidikan dan lapangan kerja, tetapi juga merambah pada jabatan-jabatan strategis organisasi sosial dan partai politik. Ini jangan anggap tidak ada yang tahu. Kalau itu tidak ada yang mengkritisi, maka ke depan jenderal baik langka ada, sedang Jenderal Pethak berada di mana-mana.
Ya, jenderal punya rekening jumbo itu isu lama. Tidak mengejutkan. Justru kita terkejut dengan sikap Kapolri menanggapi kasus ini. Jika tidak direm dan waspada, maka reaksi itu bakal jadi tepukan air di dulang yang bakal terpercik muka sendiri. Adakah itu konsekuensi logis zaman edan?
Ini zaman edan, kata Ronggowarsito. Yang tidak edan tidak kebagian. Tapi sebaik-baik yang edan, lebih baik yang ingat dan waspada. Ingat dan waspada perlu diberi tanda miring. Sebab sudah terlalu melimpah orang yang ‘tidak ingat’ dan ‘lupa ingatan’. Apalagi yang waspada!
Selamat ulang tahun yang ke-64, Polisiku. Semoga tambah umur tambah sidik paningale. Terus waspada agar waskita!
*Djoko Suud Sukahar: pemerhati budaya, tinggal di Jakarta
Sumber: www.detiknews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya