Kamis, 06 Agustus 2009

RAPBN 2010 : Di Antara Belitan Utang dan Kebijakan Populis

Oleh: Latif Adam

Senin (3/8) dua hari yang lalu, untuk yang kelima kalinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2010 di depan sidang paripurna DPR.

Hanya pilihan waktunya yang berbeda dibandingkan dengan kebiasaan sebelumnya di mana Presiden selalu menyampaikan RAPBN pada tanggal 15 Agustus.Tidak ada sesuatu yang benar-benar “wah” yang bisa membedakan RAPBN 2010 dari RAPBN tahun-tahun sebelumnya. Karena itu, sulit menebak apakah RAPBN 2010 bisa menjadi pendorong proses pemulihan perekonomian Indonesia dari imbas negatif krisis global.

Beban Utang

RAPBN 2010 disusun dengan beberapa asumsi sebagai berikut. Pertumbuhan ekonomi 5%,tingkat inflasi 5%, nilai tukar rupiah Rp10.000 per USD,suku bunga SBI 3 bulan rata-rata 6,5%, harga minyak (ICP) USD60 per barel,dan lifting minyak 965.000 barel per hari (BPH).

Pendapatan negara dan hibah pada RAPBN 2010 direncanakan sebesar Rp911,5 triliun, meningkat Rp38,8 triliun dari APBN-P 2009 (4,5%), sedangkan belanja negara mencapai Rp1.009,5 triliun, naik hanya Rp3,8 triliun dari APBN-P 2009 (0,4%). Dengan demikian defisit RAPBN 2010 mencapai Rp98 triliun (1,6% dari PDB). Mencermati asumsi dan struktur penerimaan-belanjanya,terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa RAPBN 2010 akan tetap membuat pemerintah tergantung pada utang.

Misalnya,untuk membiayai defisit, pemerintah berencana menciptakan utang domestik Rp107,9 triliun dan utang luar negeri sebesar Rp9,9 triliun. Boleh jadi utang yang benarbenar dibuat oleh pemerintah pada tahun 2010 akan lebih besar dari yang semula direncanakan jika defisit mengalami pembengkakan. Dari sisi penerimaan, potensi membengkaknya defisit akan muncul bila pemerintah gagal mempercepat proses pemulihan perekonomian dari imbas negatif krisis global.

Dalam kaitan ini, kegagalan pemerintah mendorong recovery perekonomian akan berdampak secara negatif tidak saja dalam menarik penerimaan pajak sektor swasta (direncanakan sebesar Rp729,2 triliun),tetapi juga pendapatan negara bukan pajak (PNBP) seperti setoran laba BUMN (direncanakan sebesar Rp180,9 triliun). Dari sisi belanja, dorongan pembengkakan defisit akan muncul sebagai salah satu akibat dari tidak cukup realistisnya pemerintah menetapkan beberapa asumsi RAPBN 2010.

Misalnya,penetapan harga minyak sebesar USD60 per barel terkesan sangat optimis karena pada saat ini saja harga minyak di pasaran dunia sudah mencapai USD70 per barel. Tahun depan,harga minyak diperkirakan akan terus bergerak naik seiring dengan membaiknya perekonomian AS,China,dan India,tiga negara konsumen minyak terbesar di dunia. Bila harga minyak lebih tinggi dari USD60 per barel,maka beban pengeluaran subsidi BBM (juga listrik) akan lebih tinggi dari yang dialokasikan sebelumnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, sulit menerima argumen (pemerintah) bahwa RAPBN 2010 merupakan formula yang sudah merefleksikan komitmen pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang. Rasio utang terhadap PDB bisa saja menurun mendekati target pemerintah sebesar 30% pada tahun 2010, tetapi secara nominal jumlahnya akan terus menggelembung.

Lebih dari itu, rasio utang terhadap PDB bukanlah indikator yang paling tepat untuk menggambarkan semakin berkurangnya ketergantungan suatu negara terhadap utang. Penyebabnya, PDB sekaligus memasukan hasil produksi (penerimaan) warga dan perusahaan asing di dalam negeri.

Karena itu, akan lebih fairbila pemerintah mulai secara terbuka membandingkan utang dengan PNB (produk nasional bruto) yang tidak lain merupakan PDB dikurangi penerimaan warga dan perusahaan asing di dalam negeri ditambah penerimaan warga negara dan perusahaan Indonesia di luar negeri.

Populis daripada Fundamentalis

Tadinya kita berharap bahwa RAPBN 2010 akan berperan secara optimal sebagai pendorong proses pemulihan perekonomian Indonesia (dari imbas negatif krisis global) ke arah perekonomian yang memiliki fundamental kuat dan lebih berkualitas.

Karena itu, kita juga berharap RAPBN 2010 akan mampu menggerakkan konsumsi domestik, investasi, dan perdagangan luar negeri. Sayangnya,mencermati postur RAPBN 2010, harapan seperti tersebut di atas masih terlalu jauh untuk menjadi kenyataan. Alih-alih menyediakan fundamental yang kuat agar konsumsi domestik, investasi, dan perdagangan luar negeri bisa tumbuh dan berkembang secara optimal,terdapat indikasi bahwa belanja pada RAPBN 2010 selain melemah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (naik tipis 0,4%), juga lebih terfokus pada kebijakan populis sebagai sarana pemenuhan janji kampanye Presiden pada pemilu lalu.

Salah satu indikasi bahwa pertimbangan populis dalam RAPBN 2010 lebih mengemuka daripada pertimbangan fundamentalis,tercermin dari tingginya alokasi belanja subsidi energi dan nonenergi dan melonjaknya belanja rutin karena Presiden kemungkinan hendak memenuhi janji pemilu untuk menaikkan gaji pegawai. Memang, selain untuk bayar utang (Rp115,6 triliun), belanja pada RAPBN 2010 habis terserap untuk belanja rutin pegawai (Rp161,7 triliun) dan subsidi (Rp144,4 triliun).

Harus diakui, kenaikan gaji pegawai dan subsidi merupakan langkah yang bisa memfasilitasi kenaikan daya beli. Problemnya adalah langkah untuk menaikkan gaji pegawai dan subsidi tanpa dibarengi upaya untuk mengatasi akar permasalahan mendasar yang sering mereduksi daya beli akan membuat langkah itu hanya bersifat artifisial. Risikonya langkah itu tidak sustain untuk mempertahankan daya beli karena sering di-crowding-out oleh fenomena inflasi.

Kalau fokusnya ke penguatan fundamental perekonomian, sudah seharusnya pemerintah mengalokasikan belanja pembangunan yang lebih tinggi,khususnya untuk infrastruktur. Pembenahan infrastruktur akan memperlancar arus barang sehingga bisa menekan inflasi yang sering menggerogoti daya beli dan menurunkan konsumsi domestik.

Sayangnya, alokasi anggaran pembangunan infrastruktur hanya sebesar Rp61,3 triliun, masih jauh dari jumlah ideal sebesar Rp302,5 triliun (5% dari asumsi PDB 2010 sebesar Rp6050 triliun). Lebih dari itu, pembenahan infrastruktur (dan birokrasi) akan menekan cost of doing business sehingga Indonesia bisa lebih menarik sebagai negara tujuan investasi.

Demikian halnya pembangunan infrastruktur akan menjadi katalis yang efektif untuk meningkatkan daya saing produk kita baik di pasar domestik ataupun internasional. Seandainya pemerintah mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur yang lebih besar dari yang dialokasikan pada RAPBN 2010, pertumbuhan ekonomi sangat mungkin akan lebih tinggi dari 5% sehingga program pengurangan kemiskinan dan pengangguran akan lebih sustain dan berjalan secara natural serta optimal.(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/260100/


Latif Adam
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...