Oleh: Tejo Pramono
Bagi buruh tani, hidup itu benar-benar kejam. Mereka bekerja keras untuk memproduksi pangan, tetapi mereka sendiri kelaparan dan miskin.
Data terakhir menunjukkan, kini tiga dari empat penduduk miskin di seluruh dunia adalah petani. Sementara di dalam negeri kerawanan pangan paling banyak menimpa buruh tani dan petani gurem. Mereka membelanjakan 70 persen pendapatannya untuk pangan. Jika gagal panen atau sakit, gizi buruk dan malanutrisi akan menimpa buruh tani dan petani gurem.
Ironi besar ini telah berlangsung lama. Tiap pemerintahan hanya bisa membuat janji atau program dengan nama baru. Namun, hasil akhirnya sama, petanilah yang paling banyak menderita kelaparan.
Tahun 2008, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono amat membanggakan pencapaian swasembada beras. Namun, dengan fakta swasembada beras pun, kerawanan pangan masih amat besar. Buktinya, tahun itu juga BPS melangsir angka kemiskinan 34,96 juta atau 15,42 persen penduduk. Mereka itulah penduduk rawan pangan.
Fakta tragedi kelaparan pada kelebihan produksi (tragedy of hunger in abundant) juga terjadi pada sektor kelapa sawit. Sejak tahun 2006, Indonesia bangga telah menggantikan posisi Malaysia sebagai produsen terbesar minyak sawit (crude palm oil/ CPO) di dunia. Namun, pada tahun 2008, antrean minyak goreng di Indonesia juga paling panjang di dunia. Buruh-buruh perkebunan sawit adalah bagian dari rakyat yang kelaparan karena bergaji rendah.
Soal kecukupan pangan
Dari beberapa contoh itu, akar penyebabnya adalah adanya pemisahan antara produksi dan konsumsi dalam strategi pembangunan pertanian dan pangan. Pembangunan pertanian dan pangan di Indonesia tidak dalam kerangka memenuhi kecukupan pangan keluarga tani, tetapi sekadar berorientasi produksi. Akibatnya, upah buruh tani amat rendah, tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Sebenarnya di Indonesia tidak ada satu pun instansi pemerintah yang khusus mengurusi pemenuhan pangan rakyat, termasuk keluarga tani. Departemen Pertanian mengurusi produksi pangan, tetapi tidak mengurus pemenuhan pangan. Bila ada penyakit akibat kelaparan, seperti defisiensi vitamin dan marasmik- kwasiorkor, baru Departemen Kesehatan turun tangan. Tugas Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) lebih pada pengawasan pangan, itu pun lebih yang bersifat industri.
Bulog sendiri adalah perusahaan umum (perum) yang memiliki mandat untuk mencari keuntungan agar bisa menyumbang keuangan pemerintah dan baru bekerja bila ada permintaan operasi pasar. Sementara sifat Dewan Ketahanan Pangan yang langsung dipimpin Presiden hanya pekerjaan koordinasi dan kebijakan, bukan operasi. Departemen Perdagangan yang sering dikritik karena soal harga tidak bisa berbuat banyak karena orientasi kerjanya lebih pada urusan distribusi di pasar dan bukan bertanggung jawab atas pemenuhan hak atas pangan.
Bangsa dungu
Agar bisa menghentikan bencana kelaparan ini, pembangunan pertanian ke depan selayaknya tidak hanya berorientasi pada produksi pangan seperti yang sudah terjadi, tetapi lebih dari itu, juga berorientasi pemenuhan kecukupan pangan dan kesejahteraan keluarga petani. Dengan tambahan orientasi itu, indikator pembangunan sektor pertanian tidak lagi menempatkan aspek keluarga tani sebagai penunjang tujuan produksi pangan, tetapi kecukupan pangan keluarga tani itu yang menjadi orientasi.
Dengan penyatuan orientasi antara produksi pangan dan pemenuhan pangan secara simultan, pemerintah akan berkewajiban menyusun program yang komprehensif. Jika dulu rencana produksi pertanian dipandu pasar (pendekatan agrobisnis), kini rencana produksi dipandu dari target pemenuhan hak pangan.
Atas dasar pendekatan ini diharapkan kita tidak lagi menjadi bangsa dungu, memiliki produksi pangan berlebih tetapi lebih dari seratus juta rakyat rawan pangan. Terlebih pada saat dunia dan bangsa ini masih dihinggapi multikrisis (finansial, pangan, dan iklim), kita harus bekerja dengan cermat dan tidak boros.
Mengalokasikan sumber ekonomi untuk memproduksi pangan secara berlebihan (over production) sangat tidak tepat. Padahal, kita sama-sama mengetahui, volatilitas harga pangan yang amat tinggi adalah akibat dari adanya over production di tangan perusahaan besar.
Kita berharap reorientasi kebijakan pangan itu tidak sekadar berhenti pada kertas kebijakan belaka. Restrukturisasi kelembagaan menjadi syarat mutlak agar kebijakan bisa menjadi program nyata. Ke depan, Departemen Pertanian tampaknya perlu disempurnakan menjadi Departemen Pertanian dan Pangan. Elemen pangan di situ bukan hanya dalam pengertian produksi, tetapi untuk merestrukturisasi kelembagaan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pangan ke tiap keluarga.
Semoga ironi akbar petani dan kelaparan bisa dihentikan pada pemerintahan ke depan.
URL Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/27/03053983/petani.dan.kelaparan
Tejo Pramono Petani Kecil Anggota Agroekologi Kolektif di Bogor dan Aktif dalam Gerakan Petani Internasional La Via Campesina
Bagi buruh tani, hidup itu benar-benar kejam. Mereka bekerja keras untuk memproduksi pangan, tetapi mereka sendiri kelaparan dan miskin.
Data terakhir menunjukkan, kini tiga dari empat penduduk miskin di seluruh dunia adalah petani. Sementara di dalam negeri kerawanan pangan paling banyak menimpa buruh tani dan petani gurem. Mereka membelanjakan 70 persen pendapatannya untuk pangan. Jika gagal panen atau sakit, gizi buruk dan malanutrisi akan menimpa buruh tani dan petani gurem.
Ironi besar ini telah berlangsung lama. Tiap pemerintahan hanya bisa membuat janji atau program dengan nama baru. Namun, hasil akhirnya sama, petanilah yang paling banyak menderita kelaparan.
Tahun 2008, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono amat membanggakan pencapaian swasembada beras. Namun, dengan fakta swasembada beras pun, kerawanan pangan masih amat besar. Buktinya, tahun itu juga BPS melangsir angka kemiskinan 34,96 juta atau 15,42 persen penduduk. Mereka itulah penduduk rawan pangan.
Fakta tragedi kelaparan pada kelebihan produksi (tragedy of hunger in abundant) juga terjadi pada sektor kelapa sawit. Sejak tahun 2006, Indonesia bangga telah menggantikan posisi Malaysia sebagai produsen terbesar minyak sawit (crude palm oil/ CPO) di dunia. Namun, pada tahun 2008, antrean minyak goreng di Indonesia juga paling panjang di dunia. Buruh-buruh perkebunan sawit adalah bagian dari rakyat yang kelaparan karena bergaji rendah.
Soal kecukupan pangan
Dari beberapa contoh itu, akar penyebabnya adalah adanya pemisahan antara produksi dan konsumsi dalam strategi pembangunan pertanian dan pangan. Pembangunan pertanian dan pangan di Indonesia tidak dalam kerangka memenuhi kecukupan pangan keluarga tani, tetapi sekadar berorientasi produksi. Akibatnya, upah buruh tani amat rendah, tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Sebenarnya di Indonesia tidak ada satu pun instansi pemerintah yang khusus mengurusi pemenuhan pangan rakyat, termasuk keluarga tani. Departemen Pertanian mengurusi produksi pangan, tetapi tidak mengurus pemenuhan pangan. Bila ada penyakit akibat kelaparan, seperti defisiensi vitamin dan marasmik- kwasiorkor, baru Departemen Kesehatan turun tangan. Tugas Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) lebih pada pengawasan pangan, itu pun lebih yang bersifat industri.
Bulog sendiri adalah perusahaan umum (perum) yang memiliki mandat untuk mencari keuntungan agar bisa menyumbang keuangan pemerintah dan baru bekerja bila ada permintaan operasi pasar. Sementara sifat Dewan Ketahanan Pangan yang langsung dipimpin Presiden hanya pekerjaan koordinasi dan kebijakan, bukan operasi. Departemen Perdagangan yang sering dikritik karena soal harga tidak bisa berbuat banyak karena orientasi kerjanya lebih pada urusan distribusi di pasar dan bukan bertanggung jawab atas pemenuhan hak atas pangan.
Bangsa dungu
Agar bisa menghentikan bencana kelaparan ini, pembangunan pertanian ke depan selayaknya tidak hanya berorientasi pada produksi pangan seperti yang sudah terjadi, tetapi lebih dari itu, juga berorientasi pemenuhan kecukupan pangan dan kesejahteraan keluarga petani. Dengan tambahan orientasi itu, indikator pembangunan sektor pertanian tidak lagi menempatkan aspek keluarga tani sebagai penunjang tujuan produksi pangan, tetapi kecukupan pangan keluarga tani itu yang menjadi orientasi.
Dengan penyatuan orientasi antara produksi pangan dan pemenuhan pangan secara simultan, pemerintah akan berkewajiban menyusun program yang komprehensif. Jika dulu rencana produksi pertanian dipandu pasar (pendekatan agrobisnis), kini rencana produksi dipandu dari target pemenuhan hak pangan.
Atas dasar pendekatan ini diharapkan kita tidak lagi menjadi bangsa dungu, memiliki produksi pangan berlebih tetapi lebih dari seratus juta rakyat rawan pangan. Terlebih pada saat dunia dan bangsa ini masih dihinggapi multikrisis (finansial, pangan, dan iklim), kita harus bekerja dengan cermat dan tidak boros.
Mengalokasikan sumber ekonomi untuk memproduksi pangan secara berlebihan (over production) sangat tidak tepat. Padahal, kita sama-sama mengetahui, volatilitas harga pangan yang amat tinggi adalah akibat dari adanya over production di tangan perusahaan besar.
Kita berharap reorientasi kebijakan pangan itu tidak sekadar berhenti pada kertas kebijakan belaka. Restrukturisasi kelembagaan menjadi syarat mutlak agar kebijakan bisa menjadi program nyata. Ke depan, Departemen Pertanian tampaknya perlu disempurnakan menjadi Departemen Pertanian dan Pangan. Elemen pangan di situ bukan hanya dalam pengertian produksi, tetapi untuk merestrukturisasi kelembagaan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pangan ke tiap keluarga.
Semoga ironi akbar petani dan kelaparan bisa dihentikan pada pemerintahan ke depan.
URL Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/27/03053983/petani.dan.kelaparan
Tejo Pramono Petani Kecil Anggota Agroekologi Kolektif di Bogor dan Aktif dalam Gerakan Petani Internasional La Via Campesina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya