Senin, 24 Agustus 2009

"Corporate Responsibility"

Oleh: Todung Mulya Lubis

DALAM 20 tahun terakhir ini wacana tentang corporate responsibility banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, baik itu pengusaha, pemerintah, aktivis sosial, maupun lembaga-lembaga internasional. Perusahaan sebagai badan hukum adalah juga subyek hukum yang tunduk pada semua ketentuan hukum yang berlaku, termasuk terhadap produk hukum tertulis maupun produk hukum tidak tertulis (customary law).

Selain itu, perusahaan sebagai subyek hukum seyogianya juga menjadi makhluk sosial yang memerhatikan lingkungan sosialnya sehingga perusahaan itu tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing di lingkungannya. Hal ini sangat penting, terutama jika kita berbicara tentang perusahaan raksasa yang terkadang merupakan "negara dalam negara" karena saking besarnya. Celakanya, banyak perusahaan raksasa yang justru berperilaku sebagai penguasa daerah dan mendikte pemerintahan daerah. Satu dan lain hal karena pemerintahan daerah sangat bergantung pada perusahaan raksasa tersebut, baik itu pajak, retribusi, lapangan kerja, donasi, maupun pembangunan masyarakat (community development).

Wacana tentang corporate responsibility sering dikaitkan dengan corporate accountability karena memang pada dasarnya banyak persamaan, tetapi sesungguhnya kita dapat menemukan pula perbedaannya. Corporate responsibility selalu mengacu kepada semua upaya untuk membuat perusahaan bertindak secara bertanggung jawab secara sukarela (voluntary) karena pertimbangan etika dan sosial. Pengertian ini selanjutnya dikembangkan PBB melalui UN Global Compact dan International Chamber of Commerce (ICC).

Sementara itu, corporate accountability mengacu kepada semua kewajiban perusahaan untuk bertindak sesuai hukum dan norma-norma sosial atau jika tidak, perusahaan tersebut akan dihadapkan kepada konsekuensi dari in compliance yang bisa jadi menyeret perusahaan tersebut ke pengadilan. Promotor pendekatan ini banyak datang dari kalangan LSM yang melihat banyak perusahaan mencemari lingkungan dan melanggar hak komunal serta hak asasi fundamental. Terakhir isu ini diangkat sangat gencar oleh berbagai LSM dalam pertemuan Johannesburg Summit (2002).

BERBICARA mengenai corporate responsibility dan corporate accountability ini tak dapat kalau tidak berbicara juga tentang luas lingkup tanggung jawab negara karena realitasnya semua perusahaan berada dalam wilayah negara. Jadi, negara yang melakukan fungsi regulasi dan sanksi hukum tidak dapat lepas tanggung jawab. Ambil contoh perusahaan yang mencemari lingkungan atau melanggar hak asasi manusia. Dalam kasus ini apakah hanya perusahaan yang bertanggung jawab? Bukankah negara (dalam hal ini pemerintah) yang melakukan tindakan "pembiaran" tak harus bertanggung jawab? Di sinilah isu pokok yang kita hadapi karena terkadang alasan bahwa perusahaan itu tak mempunyai conscience apalagi karena perusahaan itu tak punya jiwa (soul) untuk dikutuk dan tak punya badan (body) untuk ditendang?

Dalam doktrin hukum internasional ihwal corporate responsibility yang dikaitkan dengan state responsibility ini cukup banyak diperdebatkan. Pada umumnya dianut pendapat bahwa setiap organ bukan negara yang melakukan tindakan tertentu bisa saja menjadi tanggung jawab negara, satu dan lain hal karena tindakan "pembiaran" (omission) oleh negara. International Law Commission telah mengeluarkan resolusi pada tahun 2001 yang pada hakikatnya mengesahkan tanggung jawab negara ini. Beberapa negara maju pun sesungguhnya mempunyai regulasi yang lebih kurang serupa dengan doktrin hukum internasional ini. Hal ini jelas bisa dilihat pada beberapa produk hukum di Amerika dan Jerman.

Selain pendekatan di atas ada lagi pendekatan yang melihat dari perspektif positive obligation of the state, terutama dalam konteks hukum internasional HAM. Pendekatan ini dihubungkan dengan tanggung jawab positif negara karena berlakunya Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (1966) yang mewajibkan negara melakukan semua upaya pencegahan pelanggaran HAM serta menginvestigasi dan menghukum pelanggaran HAM yang dilakukan setiap subyek hukum, termasuk perusahaan dalam wilayah hukum negara tersebut. Perdebatan mengenai hal ini sangat tajam dalam tubuh PBB dan organ-organnya, seperti ILO dan Commission on Human Rights. Sementara itu, di luar PBB kita menemukan pula perdebatan mengenai hal ini di American Convention on Human Rights yang dalam salah satu butir resolusinya mengatakan, "The state has a legal duty to take reasonable steps to prevent human rights violation…."

DALAM beberapa tahun terakhir ini ihwal pelanggaran HAM oleh perusahaan sudah mulai digiring ke pengadilan nasional maupun regional. Komisi Hak Asasi Manusia Afrika pada tahun 2001 dihadapkan kepada gugatan terhadap perusahaan minyak Shell di Nigeria karena perusahaan minyak tersebut dalam mengeksploitasi minyak di kawasan Ogoniland telah mengabaikan dan melanggar hak-hak kesehatan, lingkungan, hak-hak akan makanan, dan hak komunitas lokal yang berakibat pada rusaknya sendi-sendi kehidupan di Ogoniland.

Kasus lain adalah kasus yang menimpa Unocal Inc yang bersama-sama dengan Myanmar Oil Gas Enterprise di Myanmar dituduh telah melakukan kerja paksa dan eksploitasi buruh anak, serta memaksa penduduk untuk pindah. Perkara antara National Coalition Government of the Union of Burma vs Unocal Inc telah dibawa ke pengadilan di California. Kasus lain lagi terjadi di Indonesia ketika Exxon Mobil dibawa ke pengadilan District of Columbia (2001) karena telah diduga melakukan pelanggaran HAM bersama-sama dengan pemerintah dan militer Indonesia. Kasus-kasus seperti ini sangat banyak terjadi di negara-negara lain dan banyak yang tak dibawa ke pengadilan. Jadi jumlahnya tak akan pernah jelas, tetapi kita tentu bisa menduga-duga karena memang perselingkuhan antara negara dan perusahaan raksasa bukanlah hal baru buat kita.

Atas dasar inilah berbagai teori keterlibatan perusahaan dalam pelanggaran HAM dibangun. Paling tidak sekarang kita mengenal berbagai bentuk keterlibatan perusahaan yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu pertama, direct complicity yang artinya adalah pertanggungjawaban langsung perusahaan karena perusahaan tersebut turut melakukan atau memerintahkan pelanggaran HAM. Kedua, indirect complicity, artinya perusahaan secara tidak langsung bertanggung jawab atas pelanggaran HAM karena secara tidak langsung turut terlibat. Ketiga, beneficial complicity, artinya perusahaan mengetahui pelanggaran hak asasi dan karena turut diuntungkan tidak berbuat apa-apa untuk menghentikannya. Sekali lagi tanggung jawab perusahaan di sini dikaitkan dengan tanggung jawab negara karena bagaimanapun perusahaan itu berada dalam wilayah negara yang memiliki fungsi regulasi dan kekuasaan menjatuhkan sanksi.

Wacana mengenai hal ini memang belum banyak di Indonesia, tetapi kita akan dihadapkan pada banyak kasus pelanggaran HAM yang melibatkan perusahaan, dan untuk itu perusahaan tampaknya harus lebih waspada. Sayang, tingkat kewaspadaan tersebut masih sangat minimal, malah para pengusaha masih banyak yang antipati terhadap isu HAM karena itu tak berkaitan dengan pekerjaan mereka. Padahal, persoalan HAM akan semakin banyak dalam dunia perusahaan, baik itu yang menyolok mata (pelanggaran hak akan hidup, dislokasi paksa, dan sebagainya) maupun yang tersembunyi (diskriminasi jender, diskriminasi agama, diskriminasi ras, dan pelanggaran hak penderita AIDS/HIV).

Beberapa perusahaan sudah melakukan apa yang disebut human rights audit yang secara independen dilakukan oleh pihak ketiga. Pernah pula ada undangan untuk ceramah mengenai HAM untuk semua manager di perusahaan besar (konglomerat). Semua ini perlu mendapat perhatian lebih serius karena perusahaan di Indonesia juga perlu membangun budaya hormat terhadap HAM. Human rights audit mungkin bisa sedikit membedah dan membuka tabir perusahaan dalam sikap hormat mereka terhadap hak asasi manusia.

Todung Mulya Lubis Konsultan Hukum, Law Firm, Lubis, Santosa & Maulana

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0401/28/opini/824683.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...