REALITAS kemiskinan tidak sederhana. Ia tidak dapat dipahami hanya dari sederet angka tentang seberapa besar jumlah orang yang tingkat biaya konsumsinya tidak mencapai "garis kemiskinan". Kenyataan yang ada jauh lebih rumit.
Dalam pertemuan dengan kelompok pemulung yang tergabung dalam Rakyat Miskin Kota di Surabaya, Jawa Timur, yang diselenggarakan oleh Konsorsium Kelompok Kerja Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan Struktural (Kikis) pada tanggal 19 September 2002, terkuak cerita ini.
Seorang anak perempuan dari keluarga pemulung yang tinggal di bawah jembatan meninggal setelah melahirkan anaknya. Namun, jenazah itu harus menunggu sampai dua hari untuk dimakamkan karena tidak ada sebidang tanah pun yang tersedia untuk itu.
Kondisi yang sama, dalam konteks yang berbeda, dikisahkan oleh Karsiman, seorang sopir taksi. "Beberapa kali saya hampir tertabrak kereta api yang melintas," ucapnya, mengingat peristiwa yang menimpanya. Katanya, ia sering kali tidak mendengar sinyal pertanda kereta akan lewat karena pikirannya dipenuhi berbagai kebutuhan di rumah.
"Anak saya tiga, masih sekolah semua. Biayanya banyak sekali. Pernah suatu kali istri saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit, sementara saya sama sekali tidak ada uang. Kereta sudah dekat, sementara mesin mobil saya malah mati di tengah. Saya panik sekali. Waktu akhirnya lolos, saya merasa dikasih hidup lagi," ujar laki-laki berusia sekitar 35 tahun itu.
Sebelum menjadi sopir taksi, Karsiman bekerja di sebuah perusahaan swasta. Ketika terjadi krisis ekonomi, perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Ia mendapat pesangon yang jumlahnya tidak banyak. Sementara itu, ia pun masih mencicil rumah. Sekarang rumah itu sudah dialihkan. Bersama keluarganya, Karsiman mengontrak rumah.
Begitulah. Dengan pemaparan itu tampak bahwa kemiskinan tidak berdiri sendiri sebagai realitas sepi. Realitas kemiskinan selalu merupakan akibat dari sesuatu, dan sesuatu itu datang di luar yang bersangkutan.
MOBIL mewah yang saat ini berseliweran di jalan-jalan raya Kota Jakarta dan jalanan yang macet karena pertumbuhan jumlah mobil tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan, bukanlah indikator kemakmuran. Sebaliknya, pemandangan itu bisa menjadi sangat manipulatif.
Tidak ada keraguan bahwa Indonesia kini tergolong negara miskin. Laporan Gerakan Anti-Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menyebut, sebelum krisis sekitar 20 juta warga Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Sesudah krisis, jumlah itu meningkat sampai dua kalinya.
Setiap hari lahir sekitar 11.000 anak Indonesia, namun 800 di antaranya meninggal sebelum usia lima tahun oleh penyakit-penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Angka kematian ibu melahirkan tidak pernah turun dari 360 per 100.000 kelahiran hidup meskipun angka sebenarnya boleh jadi lebih dari dua kalinya. Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (Unicef) menyatakan, dua sampai tiga juta anak Indonesia akan disebut sebagai generasi yang hilang akibat kekurangan pangan, berpenyakitan, dan tidak berpendidikan.
"Penanggulangan kemiskinan seharusnya didasarkan pada perspektif hak," kata Wardah Hafidz dari Urban Poor Consortium (UPC). Tuntutan ini didasarkan pada sejumlah fakta. "Kalau saya bisa tinggal di tempat yang nyaman, mengapa mereka harus digusur?" tanya Binny Buchori, Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).
Kaum miskin selalu menempati wilayah perkotaan yang kumuh. Akses air bersih tidak memadai, tempat tinggal tidak layak, tidak ada jaminan kesehatan dan pendidikan, tidak ada akses pendaftaran kependudukan, serta tidak ada jaminan keamanan dalam menjalankan pekerjaannya.
"Sebagai warga negara, mereka harus menjalani kehidupan yang tidak bermartabat," kata Wardah lagi. Ironi pun bermunculan. Ketika mendapati mereka tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP), pemerintah bukannya menggunakan pendekatan untuk menanggulangi kemiskinan, tetapi penertiban.
Ketika kaum miskin berjuang mencari penghidupan dan menciptakan pekerjaan, misalnya sebagai pedagang kaki lima, mereka sekali lagi menjadi obyek penertiban, dan acap kali juga mengarah pada perampasan harta kaum miskin oleh petugas penertiban.
"Padahal dalam kondisi ekonomi yang sangat kritis, yang menyelamatkan ekonomi di negeri ini adalah sektor informal," ucap Binny menambahkan.
Situasi yang sama terjadi di kalangan petani miskin yang tidak bertanah dan memiliki tanah kurang dari 0,2 hektar. Selama ini juga tidak tampak kebijakan yang menyelesaikan ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah.
KRISIS ekonomi politik tidak saja memberi label "negara miskin" pada Indonesia, tetapi juga memaksanya terjebak dalam jeratan akumulasi utang luar negeri.
Binny memaparkan besarnya utang pemerintah dan swasta yang menyebabkan kewajiban menyicil utang jangka pendek hampir setara dengan seperempat sampai sepertiga cadangan devisa, antara tujuh sampai sembilan miliar dollar AS. "Belanja pembangunan makin lama makin berkurang karena uangnya dipakai untuk membayar cicilan utang," kata Binny menjelaskan.
Situasi inilah yang membuat sumbangan pemikiran ahli ekonomi Amartya Sen mengenai kebebasan manusia, yang amat berharga untuk melacak sebab-sebab kemiskinan tidak menembus kenyataan di negeri ini. Kemiskinan di Indonesia tidak hanya berakar pada pilihan-pilihan politik yang salah, tetapi juga hilangnya kemampuan negara menentukan prioritasnya sendiri bagi masyarakatnya.
"Dalam situasi seperti ini ada Millenium Development Goal yang targetnya antara lain menghapus kemiskinan dan kelaparan sampai separuh dari jumlah yang ada saat ini tahun 2015," ujar Binny.
Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Ketika sarana kesejahteraan dimonetasi atas nama implementasi peraturan perdagangan dan jasa yang diadopsi negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), maka hanya mereka yang mampu dapat membeli pelayanan kesejahteraan, seperti pendidikan dan kesehatan yang terbaik.
Menurut Wardah, hak-hak orang miskin tidak bisa diberikan atau dicabut. Peran negara di sini adalah menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar kaum miskin, dengan melakukan tindakan yang nondiskriminatif.
Kebijakan menolak kemiskinan dan pemiskinan haruslah melibatkan kaum miskin, bukan hanya birokrat. Demikian usul Wardah.
Strategi untuk implementasi kebijakan prokemiskinan, seperti diusulkan oleh GAPRI, mencakup restrukturisasi relasi politik; redistribusi kekayaan, termasuk di dalamnya pembaruan agraria, reformasi pajak dan anggaran prorakyat, redistribusi kekayaan melalui bidang kesehatan dan pendidikan; dan reorientasi pengelolaan ekonomi, menuju ekonomi kerakyatan. (mh)
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/17/utama/630796.htm
Dalam pertemuan dengan kelompok pemulung yang tergabung dalam Rakyat Miskin Kota di Surabaya, Jawa Timur, yang diselenggarakan oleh Konsorsium Kelompok Kerja Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan Struktural (Kikis) pada tanggal 19 September 2002, terkuak cerita ini.
Seorang anak perempuan dari keluarga pemulung yang tinggal di bawah jembatan meninggal setelah melahirkan anaknya. Namun, jenazah itu harus menunggu sampai dua hari untuk dimakamkan karena tidak ada sebidang tanah pun yang tersedia untuk itu.
Kondisi yang sama, dalam konteks yang berbeda, dikisahkan oleh Karsiman, seorang sopir taksi. "Beberapa kali saya hampir tertabrak kereta api yang melintas," ucapnya, mengingat peristiwa yang menimpanya. Katanya, ia sering kali tidak mendengar sinyal pertanda kereta akan lewat karena pikirannya dipenuhi berbagai kebutuhan di rumah.
"Anak saya tiga, masih sekolah semua. Biayanya banyak sekali. Pernah suatu kali istri saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit, sementara saya sama sekali tidak ada uang. Kereta sudah dekat, sementara mesin mobil saya malah mati di tengah. Saya panik sekali. Waktu akhirnya lolos, saya merasa dikasih hidup lagi," ujar laki-laki berusia sekitar 35 tahun itu.
Sebelum menjadi sopir taksi, Karsiman bekerja di sebuah perusahaan swasta. Ketika terjadi krisis ekonomi, perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Ia mendapat pesangon yang jumlahnya tidak banyak. Sementara itu, ia pun masih mencicil rumah. Sekarang rumah itu sudah dialihkan. Bersama keluarganya, Karsiman mengontrak rumah.
Begitulah. Dengan pemaparan itu tampak bahwa kemiskinan tidak berdiri sendiri sebagai realitas sepi. Realitas kemiskinan selalu merupakan akibat dari sesuatu, dan sesuatu itu datang di luar yang bersangkutan.
MOBIL mewah yang saat ini berseliweran di jalan-jalan raya Kota Jakarta dan jalanan yang macet karena pertumbuhan jumlah mobil tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan, bukanlah indikator kemakmuran. Sebaliknya, pemandangan itu bisa menjadi sangat manipulatif.
Tidak ada keraguan bahwa Indonesia kini tergolong negara miskin. Laporan Gerakan Anti-Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menyebut, sebelum krisis sekitar 20 juta warga Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Sesudah krisis, jumlah itu meningkat sampai dua kalinya.
Setiap hari lahir sekitar 11.000 anak Indonesia, namun 800 di antaranya meninggal sebelum usia lima tahun oleh penyakit-penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Angka kematian ibu melahirkan tidak pernah turun dari 360 per 100.000 kelahiran hidup meskipun angka sebenarnya boleh jadi lebih dari dua kalinya. Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (Unicef) menyatakan, dua sampai tiga juta anak Indonesia akan disebut sebagai generasi yang hilang akibat kekurangan pangan, berpenyakitan, dan tidak berpendidikan.
"Penanggulangan kemiskinan seharusnya didasarkan pada perspektif hak," kata Wardah Hafidz dari Urban Poor Consortium (UPC). Tuntutan ini didasarkan pada sejumlah fakta. "Kalau saya bisa tinggal di tempat yang nyaman, mengapa mereka harus digusur?" tanya Binny Buchori, Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).
Kaum miskin selalu menempati wilayah perkotaan yang kumuh. Akses air bersih tidak memadai, tempat tinggal tidak layak, tidak ada jaminan kesehatan dan pendidikan, tidak ada akses pendaftaran kependudukan, serta tidak ada jaminan keamanan dalam menjalankan pekerjaannya.
"Sebagai warga negara, mereka harus menjalani kehidupan yang tidak bermartabat," kata Wardah lagi. Ironi pun bermunculan. Ketika mendapati mereka tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP), pemerintah bukannya menggunakan pendekatan untuk menanggulangi kemiskinan, tetapi penertiban.
Ketika kaum miskin berjuang mencari penghidupan dan menciptakan pekerjaan, misalnya sebagai pedagang kaki lima, mereka sekali lagi menjadi obyek penertiban, dan acap kali juga mengarah pada perampasan harta kaum miskin oleh petugas penertiban.
"Padahal dalam kondisi ekonomi yang sangat kritis, yang menyelamatkan ekonomi di negeri ini adalah sektor informal," ucap Binny menambahkan.
Situasi yang sama terjadi di kalangan petani miskin yang tidak bertanah dan memiliki tanah kurang dari 0,2 hektar. Selama ini juga tidak tampak kebijakan yang menyelesaikan ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah.
KRISIS ekonomi politik tidak saja memberi label "negara miskin" pada Indonesia, tetapi juga memaksanya terjebak dalam jeratan akumulasi utang luar negeri.
Binny memaparkan besarnya utang pemerintah dan swasta yang menyebabkan kewajiban menyicil utang jangka pendek hampir setara dengan seperempat sampai sepertiga cadangan devisa, antara tujuh sampai sembilan miliar dollar AS. "Belanja pembangunan makin lama makin berkurang karena uangnya dipakai untuk membayar cicilan utang," kata Binny menjelaskan.
Situasi inilah yang membuat sumbangan pemikiran ahli ekonomi Amartya Sen mengenai kebebasan manusia, yang amat berharga untuk melacak sebab-sebab kemiskinan tidak menembus kenyataan di negeri ini. Kemiskinan di Indonesia tidak hanya berakar pada pilihan-pilihan politik yang salah, tetapi juga hilangnya kemampuan negara menentukan prioritasnya sendiri bagi masyarakatnya.
"Dalam situasi seperti ini ada Millenium Development Goal yang targetnya antara lain menghapus kemiskinan dan kelaparan sampai separuh dari jumlah yang ada saat ini tahun 2015," ujar Binny.
Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Ketika sarana kesejahteraan dimonetasi atas nama implementasi peraturan perdagangan dan jasa yang diadopsi negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), maka hanya mereka yang mampu dapat membeli pelayanan kesejahteraan, seperti pendidikan dan kesehatan yang terbaik.
Menurut Wardah, hak-hak orang miskin tidak bisa diberikan atau dicabut. Peran negara di sini adalah menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar kaum miskin, dengan melakukan tindakan yang nondiskriminatif.
Kebijakan menolak kemiskinan dan pemiskinan haruslah melibatkan kaum miskin, bukan hanya birokrat. Demikian usul Wardah.
Strategi untuk implementasi kebijakan prokemiskinan, seperti diusulkan oleh GAPRI, mencakup restrukturisasi relasi politik; redistribusi kekayaan, termasuk di dalamnya pembaruan agraria, reformasi pajak dan anggaran prorakyat, redistribusi kekayaan melalui bidang kesehatan dan pendidikan; dan reorientasi pengelolaan ekonomi, menuju ekonomi kerakyatan. (mh)
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/17/utama/630796.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya