Oleh: Sri Palupi
Kita ini memang bangsa unggul. Kesabaran dan daya tahan kita dalam menyaksikan derita orang-orang kecil macam buruh migran sungguh luar biasa. Di negeri tetangga, pelecehan terhadap satu buruh migran saja sudah membuat pemerintah dan publiknya marah. Sementara itu, di sini deportasi, pemerkosaan, penganiayaan, ancaman hukuman mati, sampai kematian mengenaskan buruh migran terus berulang dari waktu ke waktu.
Bisa jadi banyaknya kasus buruh migran yang terus berulang itu membuat kita mati rasa dan memandang persoalan itu sebagai hal biasa.
Sekadar janji
Beruntunnya kasus buruh migran yang akhir-akhir ini diangkat media menimbulkan kesan bahwa kasus yang dihadapi buruh migran semakin buruk. Padahal sesungguhnya, situasi yang dihadapi buruh migran dari tahun ke tahun tak ada perubahan, tetap saja buruk. Belum pernah ada tahun saat kita terbebas dari kasus buruh migran. Kalaupun tak ada berita di media soal buruh migran, bukan berarti tak ada kasus. Sebab, nyatanya tidak semua kasus bisa diakses media.
Tahun lalu 300-an buruh migran mati di luar negeri, tetapi media tidak banyak mempersoalkan kematian yang tinggi ini. Hal itu karena tidak semua kasus kematian diketahui media. Untuk wilayah Kabupaten Banyumas, misalnya, pada tahun 2006 terdapat 15 buruh migran mati di luar negeri dan tak satu pun yang diberitakan media. Tahun ini Migrant Care mencatat 120-an buruh migran yang mati, sementara media hanya melaporkan 30 kasus kematian. Jadi realitas kondisi buruh migran lebih buruk daripada yang digambarkan media.
Meskipun dari tahun ke tahun tidak ada perubahan, kasus buruh migran yang terjadi tahun ini terasa lebih memprihatinkan. Bukan karena angka kasusnya lebih tinggi, tetapi karena kasus-kasus itu terjadi pada saat sudah ada Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang dikeluarkan pemerintah SBY-Kalla dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Kenyataannya, pembenahan mendasar terhadap sistem penempatan dan perlindungan buruh migran masih sekadar janji.
Tidak berdampak
Meskipun sudah ada UU No 39/2004, UU yang kelahirannya tidak melibatkan konsultasi publik ini terbukti tidak menjawab persoalan buruh migran. UU ini lebih banyak mengatur secara detail bisnis penempatan TKI ke luar negeri, sementara aspek perlindungan ditempatkan bukan sebagai perkara utama. Perlindungan buruh migran lebih banyak diserahkan kepada perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), yang notabene adalah lembaga bisnis. Padahal kalau spiritnya adalah perlindungan, pembenahan sistem penempatan, mulai dari perekrutan, pendidikan, sampai pemulangan buruh migran akan diatur pertama-tama berdasarkan perspektif perlindungan. Itulah mengapa keberadaan UU No 39/2004 juga tidak berdampak pada perbaikan nasib buruh migran Indonesia.
BNP2TKI yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah koordinasi antardepartemen dan mempercepat terwujudnya tujuan penempatan dan perlindungan buruh migran juga belum efektif menjalankan perannya. Yang terjadi, penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia masih berlangsung dengan pola lama. Nasib buruh migran tetap berada di tangan PJTKI yang bekerja tanpa standar dan beroperasi dengan tetap mengandalkan calo. Belum ada sistem kontrol efektif terhadap kinerja PJTKI. Juga tidak ada sanksi pidana bagi PJTKI yang melakukan pelanggaran selain sanksi administratif berupa pencabutan izin.
Inpres No 6/2006 yang diharapkan akan dapat memperbaiki keadaan pada kenyataannya juga bernasib sama dengan UU No 39/2004. Inpres itu menjadi tumpukan dokumen tanpa realisasi. Seperti halnya UU No 39/2004, secara substansial Inpres No 6/2006 juga lebih banyak bicara soal bisnis penempatan tenaga kerja dan miskin substansi perlindungan. Sistem perlindungan lebih banyak diarahkan ke penanganan (kasus) dan bukan pencegahan terjadinya kasus.
Selain miskin spirit perlindungan, kelemahan lain dari Inpres No 6/2006 adalah ketidakjelasan dalam hal cara menjalankan rencana. Dengan inpres itu pemerintah membuat rencana tindakan beserta target waktunya, tetapi tidak merumuskan bagaimana rencana itu hendak dijalankan. Sebagai gambaran, pemerintah berniat untuk memberantas percaloan melalui kegiatan pencegahan dan penindakan. Yang terjadi, pemerintah hanya menindak para calo yang beroperasi di lapangan, tetapi tidak membangun sistem perekrutan yang mampu menghilangkan peran calo. Padahal peran calo tidak akan pernah hilang selama mayoritas PJTKI masih berdomisili di Jakarta dan pelayanan pemerintah di bidang ketenagakerjaan belum menjangkau sampai ke tingkat desa. Akhirnya, rencana memberantas calo juga tidak mencapai hasil.
Terlepas dari kelemahannya, Inpres No 6/2006, apabila dijalankan secara serius, sebenarnya bisa membuka peluang bagi terwujudnya perlindungan nyata bagi buruh migran. Itu karena inpres yang berisi lima kebijakan terkait dengan penempatan dan perlindungan buruh migran tersebut setidaknya mulai bicara soal penyelesaian masalah krusial menyangkut perekrutan, pendidikan, pengurusan dokumen, dan perlindungan buruh migran di luar negeri melalui 27 butir tindakan. Sayangnya sampai batas akhir realisasi tindakan yang ditargetkan, yaitu Juli 2007, kegiatan yang mengarah pada perubahan mendasar dalam sistem penempatan dan perlindungan buruh migran ini belum juga dilaksanakan. Akhirnya janji membenahi sistem penempatan dan perlindungan buruh migran masih tetap tinggal menjadi janji.
Ironisnya, pemerintah daerah yang secara konsisten menjalankan Inpres No 6/2006 ini justru menjadi korban. Kabupaten Banyumas, misalnya, yang gencar memberantas percaloan dan pemerintahnya memperketat pengawasan terhadap kerja PJTKI, harus menghadapi kenyataan bahwa warganya banyak dimutasi ke daerah lain oleh para calo dan PJTKI. Akibatnya, daerah ini menghadapi persoalan tingginya penempatan buruh migran secara tidak sah, termasuk pemalsuan dokumen. Sedikitnya 70 persen buruh migran dari daerah ini ditempatkan tidak sesuai prosedur. Kondisi seperti ini semestinya mendorong pemerintah untuk membuat peraturan daerah perlindungan buruh migran di tingkat kabupaten/kota dan provinsi sehingga tidak ada lagi celah yang bisa dimainkan oleh PJTKI yang kinerjanya buruk. Peraturan daerah semacam ini juga berpeluang untuk mendorong tumbuhnya PJTKI yang berkinerja baik.
Mati rasa
Pemerintah sendiri sudah menyadari bahwa 80 persen masalah buruh migran ada di dalam negeri. Jadi kalau sistem penempatan buruh migran tidak dibenahi dari akarnya, sulit diharapkan bahwa pemerintah akan mampu memberikan perlindungan maksimal bagi buruh migran yang bekerja di luar negeri. Bayangkan saja, setiap tahun rata-rata 450.000 orang menjadi buruh migran dan entah berapa juta warga yang kini menjadi buruh migran.
Tak ada data akurat karena mayoritas buruh migran ditempatkan tanpa melalui prosedur. Dengan jumlah buruh migran sebesar itu, Indonesia hanya punya dua atase tenaga kerja. Bandingkan dengan Filipina yang sama-sama miskin, tetapi punya 100 atase tenaga kerja.
Dihadapkan pada masifnya kasus buruh migran, kita semakin kehilangan kata untuk menyikapinya. Tak tahu lagi apa yang mesti dikatakan untuk menggugat keadaan. Sebab, akar masalahnya sudah jelas dan sudah banyak dikupas. Demikian pula dengan solusinya. Yang belum jelas adalah pelaksanaannya. Kita memang bangsa besar, tetapi kita belum memiliki kemauan dan nyali besar untuk mengatasi kondisi buruk yang mengancam hak hidup warganya. Dengan membiarkan kasus buruh migran itu terus berulang, tanpa sadar kita telah mengafirmasi sikap Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, yang menyatakan bahwa kematian buruh migran Indonesia itu adalah takdir. Sebentuk mati rasa yang sungguh keterlaluan.
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0709/04/opini/3812588.htm
Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights
Kita ini memang bangsa unggul. Kesabaran dan daya tahan kita dalam menyaksikan derita orang-orang kecil macam buruh migran sungguh luar biasa. Di negeri tetangga, pelecehan terhadap satu buruh migran saja sudah membuat pemerintah dan publiknya marah. Sementara itu, di sini deportasi, pemerkosaan, penganiayaan, ancaman hukuman mati, sampai kematian mengenaskan buruh migran terus berulang dari waktu ke waktu.
Bisa jadi banyaknya kasus buruh migran yang terus berulang itu membuat kita mati rasa dan memandang persoalan itu sebagai hal biasa.
Sekadar janji
Beruntunnya kasus buruh migran yang akhir-akhir ini diangkat media menimbulkan kesan bahwa kasus yang dihadapi buruh migran semakin buruk. Padahal sesungguhnya, situasi yang dihadapi buruh migran dari tahun ke tahun tak ada perubahan, tetap saja buruk. Belum pernah ada tahun saat kita terbebas dari kasus buruh migran. Kalaupun tak ada berita di media soal buruh migran, bukan berarti tak ada kasus. Sebab, nyatanya tidak semua kasus bisa diakses media.
Tahun lalu 300-an buruh migran mati di luar negeri, tetapi media tidak banyak mempersoalkan kematian yang tinggi ini. Hal itu karena tidak semua kasus kematian diketahui media. Untuk wilayah Kabupaten Banyumas, misalnya, pada tahun 2006 terdapat 15 buruh migran mati di luar negeri dan tak satu pun yang diberitakan media. Tahun ini Migrant Care mencatat 120-an buruh migran yang mati, sementara media hanya melaporkan 30 kasus kematian. Jadi realitas kondisi buruh migran lebih buruk daripada yang digambarkan media.
Meskipun dari tahun ke tahun tidak ada perubahan, kasus buruh migran yang terjadi tahun ini terasa lebih memprihatinkan. Bukan karena angka kasusnya lebih tinggi, tetapi karena kasus-kasus itu terjadi pada saat sudah ada Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang dikeluarkan pemerintah SBY-Kalla dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Kenyataannya, pembenahan mendasar terhadap sistem penempatan dan perlindungan buruh migran masih sekadar janji.
Tidak berdampak
Meskipun sudah ada UU No 39/2004, UU yang kelahirannya tidak melibatkan konsultasi publik ini terbukti tidak menjawab persoalan buruh migran. UU ini lebih banyak mengatur secara detail bisnis penempatan TKI ke luar negeri, sementara aspek perlindungan ditempatkan bukan sebagai perkara utama. Perlindungan buruh migran lebih banyak diserahkan kepada perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), yang notabene adalah lembaga bisnis. Padahal kalau spiritnya adalah perlindungan, pembenahan sistem penempatan, mulai dari perekrutan, pendidikan, sampai pemulangan buruh migran akan diatur pertama-tama berdasarkan perspektif perlindungan. Itulah mengapa keberadaan UU No 39/2004 juga tidak berdampak pada perbaikan nasib buruh migran Indonesia.
BNP2TKI yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah koordinasi antardepartemen dan mempercepat terwujudnya tujuan penempatan dan perlindungan buruh migran juga belum efektif menjalankan perannya. Yang terjadi, penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia masih berlangsung dengan pola lama. Nasib buruh migran tetap berada di tangan PJTKI yang bekerja tanpa standar dan beroperasi dengan tetap mengandalkan calo. Belum ada sistem kontrol efektif terhadap kinerja PJTKI. Juga tidak ada sanksi pidana bagi PJTKI yang melakukan pelanggaran selain sanksi administratif berupa pencabutan izin.
Inpres No 6/2006 yang diharapkan akan dapat memperbaiki keadaan pada kenyataannya juga bernasib sama dengan UU No 39/2004. Inpres itu menjadi tumpukan dokumen tanpa realisasi. Seperti halnya UU No 39/2004, secara substansial Inpres No 6/2006 juga lebih banyak bicara soal bisnis penempatan tenaga kerja dan miskin substansi perlindungan. Sistem perlindungan lebih banyak diarahkan ke penanganan (kasus) dan bukan pencegahan terjadinya kasus.
Selain miskin spirit perlindungan, kelemahan lain dari Inpres No 6/2006 adalah ketidakjelasan dalam hal cara menjalankan rencana. Dengan inpres itu pemerintah membuat rencana tindakan beserta target waktunya, tetapi tidak merumuskan bagaimana rencana itu hendak dijalankan. Sebagai gambaran, pemerintah berniat untuk memberantas percaloan melalui kegiatan pencegahan dan penindakan. Yang terjadi, pemerintah hanya menindak para calo yang beroperasi di lapangan, tetapi tidak membangun sistem perekrutan yang mampu menghilangkan peran calo. Padahal peran calo tidak akan pernah hilang selama mayoritas PJTKI masih berdomisili di Jakarta dan pelayanan pemerintah di bidang ketenagakerjaan belum menjangkau sampai ke tingkat desa. Akhirnya, rencana memberantas calo juga tidak mencapai hasil.
Terlepas dari kelemahannya, Inpres No 6/2006, apabila dijalankan secara serius, sebenarnya bisa membuka peluang bagi terwujudnya perlindungan nyata bagi buruh migran. Itu karena inpres yang berisi lima kebijakan terkait dengan penempatan dan perlindungan buruh migran tersebut setidaknya mulai bicara soal penyelesaian masalah krusial menyangkut perekrutan, pendidikan, pengurusan dokumen, dan perlindungan buruh migran di luar negeri melalui 27 butir tindakan. Sayangnya sampai batas akhir realisasi tindakan yang ditargetkan, yaitu Juli 2007, kegiatan yang mengarah pada perubahan mendasar dalam sistem penempatan dan perlindungan buruh migran ini belum juga dilaksanakan. Akhirnya janji membenahi sistem penempatan dan perlindungan buruh migran masih tetap tinggal menjadi janji.
Ironisnya, pemerintah daerah yang secara konsisten menjalankan Inpres No 6/2006 ini justru menjadi korban. Kabupaten Banyumas, misalnya, yang gencar memberantas percaloan dan pemerintahnya memperketat pengawasan terhadap kerja PJTKI, harus menghadapi kenyataan bahwa warganya banyak dimutasi ke daerah lain oleh para calo dan PJTKI. Akibatnya, daerah ini menghadapi persoalan tingginya penempatan buruh migran secara tidak sah, termasuk pemalsuan dokumen. Sedikitnya 70 persen buruh migran dari daerah ini ditempatkan tidak sesuai prosedur. Kondisi seperti ini semestinya mendorong pemerintah untuk membuat peraturan daerah perlindungan buruh migran di tingkat kabupaten/kota dan provinsi sehingga tidak ada lagi celah yang bisa dimainkan oleh PJTKI yang kinerjanya buruk. Peraturan daerah semacam ini juga berpeluang untuk mendorong tumbuhnya PJTKI yang berkinerja baik.
Mati rasa
Pemerintah sendiri sudah menyadari bahwa 80 persen masalah buruh migran ada di dalam negeri. Jadi kalau sistem penempatan buruh migran tidak dibenahi dari akarnya, sulit diharapkan bahwa pemerintah akan mampu memberikan perlindungan maksimal bagi buruh migran yang bekerja di luar negeri. Bayangkan saja, setiap tahun rata-rata 450.000 orang menjadi buruh migran dan entah berapa juta warga yang kini menjadi buruh migran.
Tak ada data akurat karena mayoritas buruh migran ditempatkan tanpa melalui prosedur. Dengan jumlah buruh migran sebesar itu, Indonesia hanya punya dua atase tenaga kerja. Bandingkan dengan Filipina yang sama-sama miskin, tetapi punya 100 atase tenaga kerja.
Dihadapkan pada masifnya kasus buruh migran, kita semakin kehilangan kata untuk menyikapinya. Tak tahu lagi apa yang mesti dikatakan untuk menggugat keadaan. Sebab, akar masalahnya sudah jelas dan sudah banyak dikupas. Demikian pula dengan solusinya. Yang belum jelas adalah pelaksanaannya. Kita memang bangsa besar, tetapi kita belum memiliki kemauan dan nyali besar untuk mengatasi kondisi buruk yang mengancam hak hidup warganya. Dengan membiarkan kasus buruh migran itu terus berulang, tanpa sadar kita telah mengafirmasi sikap Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, yang menyatakan bahwa kematian buruh migran Indonesia itu adalah takdir. Sebentuk mati rasa yang sungguh keterlaluan.
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0709/04/opini/3812588.htm
Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya