Oleh: Khudori
Dalam pidato pengantar rancangan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010, 3 Agustus lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan anggaran antikemiskinan dipatok Rp 88,2 triliun. Sasarannya, angka kemiskinan bisa ditekan 12-13,5 persen pada 2010. SBY optimistis sasaran itu bisa dicapai. SBY menyebut angka kemiskinan terus menurun sepanjang pemerintahannya: 35,1 juta pada 2005, 39,2 juta (2006), 37,2 juta (2007), 34,96 juta (2008), dan 32,5 juta (2009). Untuk mencapai itu anggaran antikemiskinan digenjot menjadi Rp 66 triliun (2009) dari sebelumnya Rp 23 triliun (2005), Rp 42 triliun (2006), Rp 51 triliun (2007), dan Rp 60 triliun (2008).
Pada era SBY, program antikemiskinan dibagi tiga cluster. Cluster pertama berupa bantuan dan perlindungan sosial kepada keluarga kurang mampu. Seperti penyediaan beras untuk rakyat miskin (raskin), Program Keluarga Harapan, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat, dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Selain itu, ada bantuan bagi lanjut usia dan cacat ganda telantar, bantuan bencana alam, Bantuan Langsung Tunai sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak, serta beasiswa untuk anak dari rumah tangga kelompok sasaran.
Adapun cluster kedua, dilaksanakan program dan anggaran berbasis masyarakat, yang dilaksanakan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Dalam program ini diadakan pendampingan pada desa-desa yang masih memiliki kelompok masyarakat miskin. Masyarakat diberdayakan agar dapat memanfaatkan berbagai program yang telah disediakan. Dalam PNPM Mandiri ini masyarakat desa dan kelurahan yang menentukan sendiri pemanfaatan anggaran yang dialokasikan.
Cluster ketiga, dilakukan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk perbaikan iklim berusaha dan penyediaan Kredit Usaha Rakyat (KUR). SBY menyebut cluster pertama sebagai pemberian ikan bagi rakyat miskin dan hampir miskin. Cluster kedua dianalogikan sebagai pemberian kail agar warga lebih mandiri. Dan cluster ketiga ibarat pemberian perahu. Diharapkan masyarakat kecil bisa mengembangkan usahanya sendiri, bahkan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.
Pengelompokan cluster bisa dipahami karena kelompok miskin tidak homogen. Pertanyaannya, jika pada cluster pertama hanya diberi "ikan" tanpa pemberdayaan, apakah itu tidak menimbulkan ketergantungan pada diri kelompok paling miskin itu? Ditilik dari prinsip pengembangan masyarakat (community development), jelas ini kurang tepat. Bagaimanapun kelompok cluster pertama tetap mempunyai potensi pengembangan, bukan sekadar "hidup dari pemberian". Karena itu, pada cluster pertama porsi "ikannya" lebih besar daripada kelompok lain agar bisa survive. Namun, pada saat bersamaan mereka juga perlu diberi kail. Kalau tidak, selamanya mereka miskin dan tidak berdaya.
Pada titik ini perlu mendudukkan kail dan ikan dalam penanganan kemiskinan secara proporsional. Dalam realitasnya, keduanya tidak bisa dipisahkan. Misalnya tukang bakso. Setelah punya modal, ia bisa berjualan bakso dengan pendapatan sehari Rp 20 ribu. Tapi, begitu sakit, karena si tukang bakso satu-satunya tulang punggung keluarga, gerobak bakso dijual karena ia tidak punya kartu sehat. Pemberian ikan dalam bentuk bantuan langsung juga tidak selamanya membuat orang miskin malas dan bergantung pada negara. Syaratnya, sasaran, kriteria, dan mekanisme harus jelas. Visinya pun harus jangka panjang, bukan sekadar proyek yang sporadis ala BLT kompensasi kenaikan harga BBM.
Pertanyaan lain menyangkut fokus program. Anggaran antikemiskinan ditebar pada 51 program yang tersebar hampir di semua departemen/lembaga. Akibatnya, terjadi tumpang-tindih, bahkan repetisi program yang ujung-ujungnya penghamburan anggaran. Akan lebih baik jika penanggulangan kemiskinan dikumpulkan dalam satu lembaga sehingga pelaksanaan program lebih bermanfaat, efektif, dan efisien. Apa yang paling mengkhawatirkan adalah upaya antikemiskinan akan gagal seperti yang sudah-sudah.
Sudah tidak terhitung program dan usaha pemerintah untuk memberdayakan ekonomi rakyat miskin. Tanpa mengecilkan hasilnya, meskipun diklaim jumlahnya menurun, sejatinya jumlah penduduk miskin masih bejibun. Di tengah membaiknya berbagai indikator makroekonomi, kemiskinan tidak juga menurun drastis, gizi buruk masih menjangkiti 2,3 juta jiwa, dan pengangguran masih sebesar 10,4 persen. Pada rentang 2004-2008, anggaran untuk memerangi kemiskinan naik hampir empat kali lipat, tapi angka kemiskinan hanya turun 1 persen. Ini membuktikan kebijakan ekonomi, terutama untuk memberantas kemiskinan, sepanjang empat tahun lebih pemerintahan SBY justru tumpul.
Negara yang mengemban amanat konstitusi untuk menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak justru absen. Negara yang bertindak represif melalui kebijakan pembangunan dengan membiarkan kemiskinan dan ketidakberdayaan warga berlarut-larut, kata Johan Galtung, berarti negara telah melakukan tindakan kekerasan secara sistematis. Apa yang salah dengan program antikemiskinan? Karena upaya pemerintah mengentaskan kemiskinan direduksi hanya dari sisi permodalan. Seakan-akan muncul simple truth bahwa modal adalah segala-galanya. Faktanya, ekonomi rakyat amat lemah dalam: keahlian dan keterampilan usaha, akses dana/modal usaha, dan pemasaran atau informasi (Suyanto, 1997; Dieter Evers, 1995; Sutojo, dkk, 1994). Menurut Chambers (1987), ada lima ketidakberuntungan pada kelompok rumah tangga miskin, yaitu kerentanan, kelemahan fisik, derajat isolasi, keterbatasan pemilikan aset, dan ketidakberdayaan.
Upaya pemberdayaan warga miskin tidak jauh dari penanganan hal-hal di atas. Pemberian "kail" dan bukan "ikan" sebagai strategi pemberdayaan ekonomi rakyat pun dirasa tidak memadai. Kelompok miskin juga perlu diajari bagaimana cara memancing yang baik. Bahkan ada persoalan mendasar bahwa kelompok miskin yang diberdayakan itu juga perlu dijamin agar "sungai" atau "kolam" yang dipancing tidak keruh dan sustainable. Bagaimana mereka bisa memancing jika kolamnya sudah dikaveling orang lain? Masih banyaknya jumlah warga miskin di era pemerintahan SBY tak hanya menunjukkan presiden terpilih itu gagal memahami kemiskinan, tapi juga gagal memenuhi janjinya. Pemilu presiden memberi harapan baru bagi warga miskin. Tapi, siapa pun presiden terpilih, ketika gagal memahami hakikat kemiskinan, mereka akan gagal menurunkannya.
URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/12/Opini/krn.20090812.17
Khudori
pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian
Dalam pidato pengantar rancangan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010, 3 Agustus lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan anggaran antikemiskinan dipatok Rp 88,2 triliun. Sasarannya, angka kemiskinan bisa ditekan 12-13,5 persen pada 2010. SBY optimistis sasaran itu bisa dicapai. SBY menyebut angka kemiskinan terus menurun sepanjang pemerintahannya: 35,1 juta pada 2005, 39,2 juta (2006), 37,2 juta (2007), 34,96 juta (2008), dan 32,5 juta (2009). Untuk mencapai itu anggaran antikemiskinan digenjot menjadi Rp 66 triliun (2009) dari sebelumnya Rp 23 triliun (2005), Rp 42 triliun (2006), Rp 51 triliun (2007), dan Rp 60 triliun (2008).
Pada era SBY, program antikemiskinan dibagi tiga cluster. Cluster pertama berupa bantuan dan perlindungan sosial kepada keluarga kurang mampu. Seperti penyediaan beras untuk rakyat miskin (raskin), Program Keluarga Harapan, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat, dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Selain itu, ada bantuan bagi lanjut usia dan cacat ganda telantar, bantuan bencana alam, Bantuan Langsung Tunai sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak, serta beasiswa untuk anak dari rumah tangga kelompok sasaran.
Adapun cluster kedua, dilaksanakan program dan anggaran berbasis masyarakat, yang dilaksanakan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Dalam program ini diadakan pendampingan pada desa-desa yang masih memiliki kelompok masyarakat miskin. Masyarakat diberdayakan agar dapat memanfaatkan berbagai program yang telah disediakan. Dalam PNPM Mandiri ini masyarakat desa dan kelurahan yang menentukan sendiri pemanfaatan anggaran yang dialokasikan.
Cluster ketiga, dilakukan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk perbaikan iklim berusaha dan penyediaan Kredit Usaha Rakyat (KUR). SBY menyebut cluster pertama sebagai pemberian ikan bagi rakyat miskin dan hampir miskin. Cluster kedua dianalogikan sebagai pemberian kail agar warga lebih mandiri. Dan cluster ketiga ibarat pemberian perahu. Diharapkan masyarakat kecil bisa mengembangkan usahanya sendiri, bahkan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.
Pengelompokan cluster bisa dipahami karena kelompok miskin tidak homogen. Pertanyaannya, jika pada cluster pertama hanya diberi "ikan" tanpa pemberdayaan, apakah itu tidak menimbulkan ketergantungan pada diri kelompok paling miskin itu? Ditilik dari prinsip pengembangan masyarakat (community development), jelas ini kurang tepat. Bagaimanapun kelompok cluster pertama tetap mempunyai potensi pengembangan, bukan sekadar "hidup dari pemberian". Karena itu, pada cluster pertama porsi "ikannya" lebih besar daripada kelompok lain agar bisa survive. Namun, pada saat bersamaan mereka juga perlu diberi kail. Kalau tidak, selamanya mereka miskin dan tidak berdaya.
Pada titik ini perlu mendudukkan kail dan ikan dalam penanganan kemiskinan secara proporsional. Dalam realitasnya, keduanya tidak bisa dipisahkan. Misalnya tukang bakso. Setelah punya modal, ia bisa berjualan bakso dengan pendapatan sehari Rp 20 ribu. Tapi, begitu sakit, karena si tukang bakso satu-satunya tulang punggung keluarga, gerobak bakso dijual karena ia tidak punya kartu sehat. Pemberian ikan dalam bentuk bantuan langsung juga tidak selamanya membuat orang miskin malas dan bergantung pada negara. Syaratnya, sasaran, kriteria, dan mekanisme harus jelas. Visinya pun harus jangka panjang, bukan sekadar proyek yang sporadis ala BLT kompensasi kenaikan harga BBM.
Pertanyaan lain menyangkut fokus program. Anggaran antikemiskinan ditebar pada 51 program yang tersebar hampir di semua departemen/lembaga. Akibatnya, terjadi tumpang-tindih, bahkan repetisi program yang ujung-ujungnya penghamburan anggaran. Akan lebih baik jika penanggulangan kemiskinan dikumpulkan dalam satu lembaga sehingga pelaksanaan program lebih bermanfaat, efektif, dan efisien. Apa yang paling mengkhawatirkan adalah upaya antikemiskinan akan gagal seperti yang sudah-sudah.
Sudah tidak terhitung program dan usaha pemerintah untuk memberdayakan ekonomi rakyat miskin. Tanpa mengecilkan hasilnya, meskipun diklaim jumlahnya menurun, sejatinya jumlah penduduk miskin masih bejibun. Di tengah membaiknya berbagai indikator makroekonomi, kemiskinan tidak juga menurun drastis, gizi buruk masih menjangkiti 2,3 juta jiwa, dan pengangguran masih sebesar 10,4 persen. Pada rentang 2004-2008, anggaran untuk memerangi kemiskinan naik hampir empat kali lipat, tapi angka kemiskinan hanya turun 1 persen. Ini membuktikan kebijakan ekonomi, terutama untuk memberantas kemiskinan, sepanjang empat tahun lebih pemerintahan SBY justru tumpul.
Negara yang mengemban amanat konstitusi untuk menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak justru absen. Negara yang bertindak represif melalui kebijakan pembangunan dengan membiarkan kemiskinan dan ketidakberdayaan warga berlarut-larut, kata Johan Galtung, berarti negara telah melakukan tindakan kekerasan secara sistematis. Apa yang salah dengan program antikemiskinan? Karena upaya pemerintah mengentaskan kemiskinan direduksi hanya dari sisi permodalan. Seakan-akan muncul simple truth bahwa modal adalah segala-galanya. Faktanya, ekonomi rakyat amat lemah dalam: keahlian dan keterampilan usaha, akses dana/modal usaha, dan pemasaran atau informasi (Suyanto, 1997; Dieter Evers, 1995; Sutojo, dkk, 1994). Menurut Chambers (1987), ada lima ketidakberuntungan pada kelompok rumah tangga miskin, yaitu kerentanan, kelemahan fisik, derajat isolasi, keterbatasan pemilikan aset, dan ketidakberdayaan.
Upaya pemberdayaan warga miskin tidak jauh dari penanganan hal-hal di atas. Pemberian "kail" dan bukan "ikan" sebagai strategi pemberdayaan ekonomi rakyat pun dirasa tidak memadai. Kelompok miskin juga perlu diajari bagaimana cara memancing yang baik. Bahkan ada persoalan mendasar bahwa kelompok miskin yang diberdayakan itu juga perlu dijamin agar "sungai" atau "kolam" yang dipancing tidak keruh dan sustainable. Bagaimana mereka bisa memancing jika kolamnya sudah dikaveling orang lain? Masih banyaknya jumlah warga miskin di era pemerintahan SBY tak hanya menunjukkan presiden terpilih itu gagal memahami kemiskinan, tapi juga gagal memenuhi janjinya. Pemilu presiden memberi harapan baru bagi warga miskin. Tapi, siapa pun presiden terpilih, ketika gagal memahami hakikat kemiskinan, mereka akan gagal menurunkannya.
URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/12/Opini/krn.20090812.17
Khudori
pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya