Tahun ini, pemerintah menargetkan penurunan konsumsi beras per kapita sebesar 1,5 persen. Target penurunan itu tergolong kecil. Tanpa perlu bekerja keras pun target itu kemungkinan besar bisa dicapai. Sebab, menurut sensus Ekonomi Nasional BPS (2011), tahun 2010 konsumsi beras per kapita bisa ditekan sebesar 1,4 persen dari konsumsi per kapita 2009.
Sayangnya, penurunan tersebut tidak diikuti peningkatan konsumsi pangan lokal. Peningkatan konsumsi justru terjadi pada terigu, terutama berupa produk mi, yang sepenuhnya berasal gandum yang diimpor. Kenaikan juga terjadi pada konsumsi kentang. Konsumsi pangan lokal yang diharapkan bisa jadi sumber pangan pokok, seperti jagung, singkong, dan umbi-umbian, justru menurun. Inilah salah kaprah diversifikasi pangan.
Satu dasawarsa terakhir, konsumsi pangan dari gandum impor yang diolah jadi tepung terigu, meningkat pesat. Pada 1987, konsumsi terigu per kapita Indonesia masih 1,05 kg per tahun, naik jadi 2,64 kg per tahun pada 1996, dan meledak jadi 17 kg pada 2010. Jadi, hanya dalam 15 tahun konsumsi terigu naik 6,5 kali lipat. Tidak ada jenis pangan lain yang mengalami ledakan konsumsi seperti terigu. Konsekuensinya, impor gandum juga meledak, jadi lebih dari lima juta ton pada 2008 dengan nilai 2,245 miliar dolar AS.
Dalam struktur diet makanan warga, gandum kini menempati posisi kedua setelah beras, menyalip jagung dan umbi-umbian. Aneka pangan berbasis gandum jauh lebih populer ketimbang pangan lokal, seperti singkong, sagu, jagung, sukun, atau ganyong. Di mata warga, aneka pangan lokal itu lebih inferior dari gandum yang lebih mewakili cita rasa dan selera global.
Temuan Fabiosa (2006) dalam "Westernization of the Asian Diet: The Case of Rising Wheat Consumption in Indonesia" cukup mengejutkan: "Setiap peningkatan satu persen pendapatan warga Indonesia, pengeluaran konsumsi pangan yang dibuat dari gandum meningkat pada kisaran 0,44-0,84 persen. Sebaliknya, konsumsi beras tergerus".
Ini menegaskan dua hal sekaligus. Pertama, perlahan-lahan konsumsi beras mulai tersubstitusi oleh gandum. Dari sisi diversifikasi makanan, substitusi itu bisa dipandang baik. Namun, substitusi beras oleh gandum adalah diversifikasi salah kaprah yang tidak dikehendaki. Sebab, ini yang kedua, substitusi itu hanya akan mempertegas fenomena peningkatan ketergantungan kita pada pangan impor.
Padahal, Indonesia memiliki aneka sumber daya lokal yang bisa menggantikan gandum, seperti singkong, gembili, sukun, dan ubi jalar. Substitusi gandum dengan pangan lokal tidak hanya menghemat devisa, tapi juga menciptakan dampak berganda (multiplier effect) yang luar biasa di berbagai sektor.
Sampai saat ini, semua perut warga negeri ini bergantung pada beras dengan tingkat partisipasi rata-rata 100 persen, kecuali Maluku dan Papua (80 persen). Konsumsi per kapita beras mencapai 139,15 kg per tahun-tertinggi di dunia. Akibatnya, pemerintah dipaksa melakukan segala cara untuk menggenjot produksi beras agar pasokan domestik mencukupi kebutuhan. Padahal, lahan sawah kelelahan, produktivitasnya melandai, dan luasnya terus tergerogoti kepentingan lain.
Infrastruktur irigasi banyak yang rusak dan kontinuitas ketersediaan air semakin sulit dipenuhi. Dari sisi teknologi produksi, apa yang dihasilkan petani di sawah irigasi saat ini telah mendekati batas frontier yang bisa dicapai di lapangan: 6,4 ton/ha, kedua tertinggi di Asia Timur setelah Cina (7,6 ton/ha). Potensi peningkatan produktivitas hanya 0,5-1,0 ton/ha dengan input yang kian mahal.
Untuk menekan konsumsi beras per kapita, pemerintah menggulirkan kampanye "One Day No Rice". Menurut hitungan pemerintah, cara ini bakal menghemat 1,1 juta ton beras senilai Rp 6 triliun. Jika uang itu dialihkan untuk mengonsumsi pangan lokal, seperti singkong, ubi jalar, ganyong, dan sukun, itu akan menciptakan dampak berganda yang luar biasa. Pertanyaannya, segampang itukah orang mau menekan konsumsi beras? Orang tak akan mau menekan konsumsi beras tanpa insentif.
Namun, usaha mengurangi konsumsi beras harus dilakukan. Tidak saja karena konsumsi per kapita kita terbesar di dunia, tapi menggantungkan hidup-mati hanya pada beras jelas bukan pilihan yang bijak. Negeri ini pernah memiliki tradisi pangan lokal adaptif yang luar biasa ragam jenisnya. Sejarah mencatat gaplek (Lampung, Jateng, Jatim), sagu (Maluku, Papua), jagung (Jateng, Jatim, Nusa Tenggara), cantel/sorgum (Nusa Tenggara), serta talas dan ubi jalar (Papua) sebagai pangan baku warga selama bertahun-tahun. Pola makan unik, khas, beragam, dan adaptif terhadap lingkungan itu diwariskan turun-temurun dan terbukti mampu menjamin kedaulatan pangan warga.
Berkat rekayasa negara lewat adopsi teknologi introduksi, secara dramatis pola makan bergeser ke satu jenis, yakni beras. Dalam struktur diet makanan, pada 1954 pangsa beras baru mencapai 53,5 persen. Sisanya, dari ubi kayu (22,6 persen), jagung (18,9 persen) dan kentang (4,99 persen). Namun, pada 1987 atau tiga tahun setelah swasembada beras, sudah terjadi pergeseran luar biasa. Beras mendominasi struktur diet makanan dengan pangsa 81,1 persen, disusul ubi kayu (10,02 persen) dan jagung (7,82 persen). Kini, semua perut warga bergantung pada beras dengan tingkat partisipasi rata-rata 100 persen, kecuali Maluku dan Papua (80 persen).
Untuk menekan konsumsi beras, kampanye tidak cukup dengan imbauan, tapi harus dilakukan secara struktural lewat aparatur negara dan perangkat-perangkatnya. Yang tak kalah penting adalah pencitraan lewat promosi. Mi instan bisa jadi makanan yang menembus lintas batas sosial seperti sekarang karena sukses pencitraan massif dan terus-menerus lewat iklan. Kedua, kampanye harus dibarengi ketersediaan pangan lokal dalam jumlah cukup, tersedia kapan saja dan di mana saja, harganya terjangkau kantong, serta rasanya enak, bergizi, dan mudah dimasak.
Dengan semua ini akan ada insentif menekan konsumi beras. Ahli-ahli pangan dan kebudayaan kita bisa merekayasa guna memenuhi semua syarat itu, termasuk mengkreasi pangan yang diminati warga. Ketiga, agar tidak terpleset beralih ke pangan berbasis gandum impor, harus ada peraturan tegas dan rigid oleh negara. Keempat, ini yang cukup sulit, mesti dilakukan konsisten, terencana, dan terus-menerus.
URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/136060/Salah_Kaprah_Diversifikasi_Pan
Khudori
Republika
Sayangnya, penurunan tersebut tidak diikuti peningkatan konsumsi pangan lokal. Peningkatan konsumsi justru terjadi pada terigu, terutama berupa produk mi, yang sepenuhnya berasal gandum yang diimpor. Kenaikan juga terjadi pada konsumsi kentang. Konsumsi pangan lokal yang diharapkan bisa jadi sumber pangan pokok, seperti jagung, singkong, dan umbi-umbian, justru menurun. Inilah salah kaprah diversifikasi pangan.
Satu dasawarsa terakhir, konsumsi pangan dari gandum impor yang diolah jadi tepung terigu, meningkat pesat. Pada 1987, konsumsi terigu per kapita Indonesia masih 1,05 kg per tahun, naik jadi 2,64 kg per tahun pada 1996, dan meledak jadi 17 kg pada 2010. Jadi, hanya dalam 15 tahun konsumsi terigu naik 6,5 kali lipat. Tidak ada jenis pangan lain yang mengalami ledakan konsumsi seperti terigu. Konsekuensinya, impor gandum juga meledak, jadi lebih dari lima juta ton pada 2008 dengan nilai 2,245 miliar dolar AS.
Dalam struktur diet makanan warga, gandum kini menempati posisi kedua setelah beras, menyalip jagung dan umbi-umbian. Aneka pangan berbasis gandum jauh lebih populer ketimbang pangan lokal, seperti singkong, sagu, jagung, sukun, atau ganyong. Di mata warga, aneka pangan lokal itu lebih inferior dari gandum yang lebih mewakili cita rasa dan selera global.
Temuan Fabiosa (2006) dalam "Westernization of the Asian Diet: The Case of Rising Wheat Consumption in Indonesia" cukup mengejutkan: "Setiap peningkatan satu persen pendapatan warga Indonesia, pengeluaran konsumsi pangan yang dibuat dari gandum meningkat pada kisaran 0,44-0,84 persen. Sebaliknya, konsumsi beras tergerus".
Ini menegaskan dua hal sekaligus. Pertama, perlahan-lahan konsumsi beras mulai tersubstitusi oleh gandum. Dari sisi diversifikasi makanan, substitusi itu bisa dipandang baik. Namun, substitusi beras oleh gandum adalah diversifikasi salah kaprah yang tidak dikehendaki. Sebab, ini yang kedua, substitusi itu hanya akan mempertegas fenomena peningkatan ketergantungan kita pada pangan impor.
Padahal, Indonesia memiliki aneka sumber daya lokal yang bisa menggantikan gandum, seperti singkong, gembili, sukun, dan ubi jalar. Substitusi gandum dengan pangan lokal tidak hanya menghemat devisa, tapi juga menciptakan dampak berganda (multiplier effect) yang luar biasa di berbagai sektor.
Sampai saat ini, semua perut warga negeri ini bergantung pada beras dengan tingkat partisipasi rata-rata 100 persen, kecuali Maluku dan Papua (80 persen). Konsumsi per kapita beras mencapai 139,15 kg per tahun-tertinggi di dunia. Akibatnya, pemerintah dipaksa melakukan segala cara untuk menggenjot produksi beras agar pasokan domestik mencukupi kebutuhan. Padahal, lahan sawah kelelahan, produktivitasnya melandai, dan luasnya terus tergerogoti kepentingan lain.
Infrastruktur irigasi banyak yang rusak dan kontinuitas ketersediaan air semakin sulit dipenuhi. Dari sisi teknologi produksi, apa yang dihasilkan petani di sawah irigasi saat ini telah mendekati batas frontier yang bisa dicapai di lapangan: 6,4 ton/ha, kedua tertinggi di Asia Timur setelah Cina (7,6 ton/ha). Potensi peningkatan produktivitas hanya 0,5-1,0 ton/ha dengan input yang kian mahal.
Untuk menekan konsumsi beras per kapita, pemerintah menggulirkan kampanye "One Day No Rice". Menurut hitungan pemerintah, cara ini bakal menghemat 1,1 juta ton beras senilai Rp 6 triliun. Jika uang itu dialihkan untuk mengonsumsi pangan lokal, seperti singkong, ubi jalar, ganyong, dan sukun, itu akan menciptakan dampak berganda yang luar biasa. Pertanyaannya, segampang itukah orang mau menekan konsumsi beras? Orang tak akan mau menekan konsumsi beras tanpa insentif.
Namun, usaha mengurangi konsumsi beras harus dilakukan. Tidak saja karena konsumsi per kapita kita terbesar di dunia, tapi menggantungkan hidup-mati hanya pada beras jelas bukan pilihan yang bijak. Negeri ini pernah memiliki tradisi pangan lokal adaptif yang luar biasa ragam jenisnya. Sejarah mencatat gaplek (Lampung, Jateng, Jatim), sagu (Maluku, Papua), jagung (Jateng, Jatim, Nusa Tenggara), cantel/sorgum (Nusa Tenggara), serta talas dan ubi jalar (Papua) sebagai pangan baku warga selama bertahun-tahun. Pola makan unik, khas, beragam, dan adaptif terhadap lingkungan itu diwariskan turun-temurun dan terbukti mampu menjamin kedaulatan pangan warga.
Berkat rekayasa negara lewat adopsi teknologi introduksi, secara dramatis pola makan bergeser ke satu jenis, yakni beras. Dalam struktur diet makanan, pada 1954 pangsa beras baru mencapai 53,5 persen. Sisanya, dari ubi kayu (22,6 persen), jagung (18,9 persen) dan kentang (4,99 persen). Namun, pada 1987 atau tiga tahun setelah swasembada beras, sudah terjadi pergeseran luar biasa. Beras mendominasi struktur diet makanan dengan pangsa 81,1 persen, disusul ubi kayu (10,02 persen) dan jagung (7,82 persen). Kini, semua perut warga bergantung pada beras dengan tingkat partisipasi rata-rata 100 persen, kecuali Maluku dan Papua (80 persen).
Untuk menekan konsumsi beras, kampanye tidak cukup dengan imbauan, tapi harus dilakukan secara struktural lewat aparatur negara dan perangkat-perangkatnya. Yang tak kalah penting adalah pencitraan lewat promosi. Mi instan bisa jadi makanan yang menembus lintas batas sosial seperti sekarang karena sukses pencitraan massif dan terus-menerus lewat iklan. Kedua, kampanye harus dibarengi ketersediaan pangan lokal dalam jumlah cukup, tersedia kapan saja dan di mana saja, harganya terjangkau kantong, serta rasanya enak, bergizi, dan mudah dimasak.
Dengan semua ini akan ada insentif menekan konsumi beras. Ahli-ahli pangan dan kebudayaan kita bisa merekayasa guna memenuhi semua syarat itu, termasuk mengkreasi pangan yang diminati warga. Ketiga, agar tidak terpleset beralih ke pangan berbasis gandum impor, harus ada peraturan tegas dan rigid oleh negara. Keempat, ini yang cukup sulit, mesti dilakukan konsisten, terencana, dan terus-menerus.
URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/136060/Salah_Kaprah_Diversifikasi_Pan
Khudori
Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya