smua hal pada mulanya lokal. Siapa yang menentukan bahwa sesuatu berskala lokal atau global itu? Ini kategorisasi objektif, apa adanya, tanpa muatan kepentingan politik, bisnis dan lain-lain?
Tunggu.Dalam perkara ini,saya tak terlalu percaya pada apa yang disebut ‘motif baik’. Larangan etis agar kita tak berprasangka buruk pada pihak lain, bagi saya juga tidak relevan. Kita justru harus berprasangka buruk di tengah permainan dunia yang juga buruk ini. ‘Sangka baik’,‘khusnudhon’, malah menjadi naif sekali.Kategori ‘lokal’ dan ‘global’ itu jelas lebih merupakan sebuah tipu daya licik.
Kita tahu,lokal itu diasosiasikan serbaterbatas: diproduksi di tingkat lokal,dikonsumsi di tingkat lokal, dengan kualitas yang juga lokal. Mentalitas kolonial hendak menekankan: ‘lokal’ itu rendah mutunya, dan hanya cocok buat ‘inlander’,‘ kelas kuli’, ‘ndeso’. Maksudnya? Mulut dan aspirasi maupun kesadaran kritis kita, dibungkam. “Kamu hanya kuli, hanya ndeso, inlander, aboriginal, jadi jangan mimpi bermain di pasaran global”.
Begitulah konstruksi kebudayaan kolonial yang hendak membungkam kita. Bangsaku, yang pernah merasakan getirnya hidup sebagai kuli,dijajah,diinjak,dan dibunuh, jangan dengarkan suara mereka. Itu semua untuk mematikan kesadaran kritis kita, agar kita tak menjadi pesaing mereka. Kita hendak dibunuh dengan cara ketika VOC membunuh kita.Tapi kita memilih melawan. Dan kita menang. Kenapa harus kalah? Maka, kalau begitulah definisi ‘lokal’, lantas apa yang ‘global’?
Semua hal berpijak di bumi,di suatu lingkup geografis, dan dengan begitu semua hal ‘lokal’ adanya. Tari piring itu lokal. Tapi balet juga lokal. Gethuk lindri yang sumringah, dan wangi aromanya, itu lokal. Tapi sandwich, yang dibikin di Paris,di London,atau New York, apa bukan lokal? Rokok putih, yang ‘pucet’, yang dinamai Marlboro,yang gagah iklannya, itu produk lokal, dan tak begitu laku di negerinya, karena ada kretek, produk lokal lain, yang lahir dari tangan pribumi, inlander, yang aroma cengkehnya wangi,semerbak,dan membikin citra laki-laki sejati yang berselera, dan hebat.
Semua itu lokal.Tidak ada yang global. Sandal kulit Malioboro itu juga lokal. Sandal kulit Clark yang mahal itu pun hanya lokal. Celana kolor Madura,yang komprang, bahan kastup,warna hitam, itu lokal.Tapi celana olah raga yang disebut ‘bermerek’ yang dipakai Maradona, siapa bilang bukan lokal pula? Celana komprang Madura, itu sudah lebih dari sekedar merek.Itu identitasMaduradankemaduraan.
Itu identitas lokal.Tapi siapa bilang, tak mungkin menjadi global? Tunggu sebentar.Reog dan jathilan Ponorogo, yang lokal, mengapa disukai di negeri miskin kebudayaan seperti Malaysia, dan diakui milik mereka? Kaus-kaus produk Dagadu di Yogya, yang mentereng dan murah harganya, yang luculucu dan kreatif pemberian mereknya, “Yogya Pangkal Pandai”, misalnya, tak mungkin mengglobal, hanya karena lokal?
Bohong. Bangsaku, jangan percaya. Omongan kaum kolonial jangan didengar. Pada mulanya semua lokal. Kita tak perlu membangun semangat nasional untuk mengatrol produk kita.Tanpa dikatrol, produk kita sudah tinggi kualitasnya. Tanpa dibanggakan, dia sudah memancarkan rasa bangga pada kita. Kalau kita bersikap ‘nrimo’, negeri archipelago yang begini luas,dengan dua ratus lima puluh juta penduduk, bukankah ini sudah cukup untuk dijadikan suatu ‘big market’?
Cukup.Sangat cukup. Kalau kita digencet di pasaran global,kita bisa menerapkan prinsip nasionalistis tulen seperti India dulu: ‘be Indian by Indian’. Kita bisa dengan bangga berkata: produk Indonesia, buat Indonesia,‘a self supporting big society’. Gagah sekali bukan? Sisanya, yang ‘cacat’, kurang ‘quality control’? Kalau ada sisa, yang cacatcacat tadi—kalau betul ada— bolehlah dikirim ke Paris, London, Tokyo, dan kota-kota yang disebut pusat mode dunia lainnya.
Harus begitulah semangat dan aspirasi bangsa kita. Dan ini bukan kolonial, bukan penjajah,bukan merendahkan martabat bangsa lain. Dan kita,dengan sendirinya, kita tak boleh minder.Kita,yang lokal,yang pribumi,yang inlander, dan ndeso bukankah sudah kasih bukti, kretek kita global, batik kita global,keris kita global, wayang kulit kita global, kopikitaglobal,cengkihkitaglobal, rempah-rempah kita jelas global, dan itulah yang dulu bikin bangsa-bangsa asing menjarah- rayah kita.
Rangkaian ini belum berakhir di sini. Mari kita bermain di pasar global. Di kampung saya saja ada tukang becak, yang berkenalan dengan orang Prancis, kemudian bisa menjadi pemain global dalam urusan mebel dan perabotan rumah tangga dari kayu-kayu jati lokal. Dan apa yang lokal ini sudah global.Dengan sendirinya, tukang becak telah membuktikannya. Kita bangkit pelan-pelan,tapi pasti.
Kita jadi pemain global, sambil menikmati ’local market, but big market’ di halaman rumah kita sendiri.Fasilitas alam: langit cerah, matahari memancar tiap saat, udara segar, dan bisa dibikin lebih segar lagi,lingkungan hijau, dan bisa dibikin lebih hijau lagi,semua merupakan ‘great capital’ yang bangsa asing tak punya, dan karena itu mereka dengki pada kita.
Kita melawan ‘labelling system’ yang membikin kita hanya lokal,pribumi,‘inlander’, ‘ndeso’ tadi. Ini tidak adil.Tapi buat melakukan serangan balik, ada saatnya kita mengejek: ‘yes Sir’,ini hanya produk lokal,pada saat orang asing terkagumkagum pada produk kita.Saat ini kita belum apa-apa,dan boleh dikatakan kita belum memulai suatu langkah pendek sekalipun.
Padahal dunia berputar,dan di tangan kapitalis kolonial, putaran dunia itu dipercepat. Mereka tak sudi menunggu kita. Persetan! Kita bergerak dengan irama kita sendiri.Kita mengintip. Kita belajar—sama seperti ketika Jepang mengintip kemajuan dunia Barat— tapi kita mengintip dengan cara kita. Cara Dagadu itu bagus. Kemampuan ukir mengukir kayu kita sudah secara alamiah nomor satu di dunia.
Batik kita, yang hendak dicuri Malaysia, kita rebut kembali, kita percanggih, dan dengan sendirinya kita nomor satu. Produk kulit? Kita termasuk jagonya.Jaket kulit produk kita, diperhalus. Model? Nyontek milik kolonial itu.Tas kulit kita tidak jelek,tapi harus ditingkatkan. Corak, gaya, model? Kopi apa yang dimiliki kaum kolonial yang sudah terlalu kaya tapi tetap serakah itu biar mereka mengerti sedikit prinsip berbagi di dunia fana ini. Nama dan merek?
Bikin merek jaket Poniman, yang dari Jawa,jaket Checep,yang produk Sunda.Sepatu? Bikin merek ‘Parantos’. Boleh juga mereka ‘ Waspodo.’ Tapi apa salahnya pakai merek ‘Ojo lali’? Ini harus dibuat, dengan kesadaran lokal, dan Tuhanakanmembantulangkah kita,membawa semua jenis produk tadi ke pasaran global. Sudah terlambat? Tak peduli. Kita mainkan saja. Sulit menerobos barikade China?
Hidup memang sulit.Menganggur di rumah saja sulit, apa lagi bertarung di pasaran global. Maju terus, pantang mundur! Inilah kita.Ini pribumi,Ini inlander. Ini Poniman. Ini Chevep.Ini ‘Parantos’ Inilah si lokal.Apa salahnya ‘being local’, karena bukankah ‘what is local is also global’? Efek psikologis dari kolonialisasi itu bukan keminderan yang mendalam dan mencekik kreativitas kita.
Tapi sebaliknya: kolonialisme melahirkan protes dan kemarahan,yang membuat kita bangkit. Dulu kita pernah terjajah. Sekarang,cukup.Bangsa kita tahu caranya merdeka. Juga merdeka dalam urusan dagang seperti ini. Kalau ada pemerintah,yang mau menyadari perlunya melindungi bangsanya di pasaran dunia,mungkin akan lebih baik. Dan seperti bangsa-bangsa lain, pemerintahnya melek, dan peduli.
Bangsa lalu terlindungi. Tapi kalau pemerintah tidur, dan mungkin sebaiknya tidur nyenyak seperti sekarang, kita akan tetap kreatif. Kita akan bangkit.Tanpa pemerintah. Apa boleh buat. Semangat dan aspirasi kita jelas.Kita bangun identitas kita sendiri. Ciri dan identitas kita lokal.Dan kita bangga dengan identitas kita sendiri. Pelan-pelan kesadaran ini menyebar di seluruh tanah air.
Produk pakaian dalam, bermerek ‘Eling’, jelas lokal.Tapi kita selalu melek kualitas, tak mempersoalkan lokal atau global. Tidak relevan untuk bertanya di mana suatu produk dibuat. Tidak relevan pula menanyakan apakah sesuatu produk lokal atau global. Orang bertanya: bagaimana kualitas suatu produk. Dan itu menjadi suatu gejala penting,yang kita petik sebagai modal utama untuk merasa bangga pada identitas lokal kita. Kita tahu, apa yang lokal,juga global.
Tunggu.Dalam perkara ini,saya tak terlalu percaya pada apa yang disebut ‘motif baik’. Larangan etis agar kita tak berprasangka buruk pada pihak lain, bagi saya juga tidak relevan. Kita justru harus berprasangka buruk di tengah permainan dunia yang juga buruk ini. ‘Sangka baik’,‘khusnudhon’, malah menjadi naif sekali.Kategori ‘lokal’ dan ‘global’ itu jelas lebih merupakan sebuah tipu daya licik.
Kita tahu,lokal itu diasosiasikan serbaterbatas: diproduksi di tingkat lokal,dikonsumsi di tingkat lokal, dengan kualitas yang juga lokal. Mentalitas kolonial hendak menekankan: ‘lokal’ itu rendah mutunya, dan hanya cocok buat ‘inlander’,‘ kelas kuli’, ‘ndeso’. Maksudnya? Mulut dan aspirasi maupun kesadaran kritis kita, dibungkam. “Kamu hanya kuli, hanya ndeso, inlander, aboriginal, jadi jangan mimpi bermain di pasaran global”.
Begitulah konstruksi kebudayaan kolonial yang hendak membungkam kita. Bangsaku, yang pernah merasakan getirnya hidup sebagai kuli,dijajah,diinjak,dan dibunuh, jangan dengarkan suara mereka. Itu semua untuk mematikan kesadaran kritis kita, agar kita tak menjadi pesaing mereka. Kita hendak dibunuh dengan cara ketika VOC membunuh kita.Tapi kita memilih melawan. Dan kita menang. Kenapa harus kalah? Maka, kalau begitulah definisi ‘lokal’, lantas apa yang ‘global’?
Semua hal berpijak di bumi,di suatu lingkup geografis, dan dengan begitu semua hal ‘lokal’ adanya. Tari piring itu lokal. Tapi balet juga lokal. Gethuk lindri yang sumringah, dan wangi aromanya, itu lokal. Tapi sandwich, yang dibikin di Paris,di London,atau New York, apa bukan lokal? Rokok putih, yang ‘pucet’, yang dinamai Marlboro,yang gagah iklannya, itu produk lokal, dan tak begitu laku di negerinya, karena ada kretek, produk lokal lain, yang lahir dari tangan pribumi, inlander, yang aroma cengkehnya wangi,semerbak,dan membikin citra laki-laki sejati yang berselera, dan hebat.
Semua itu lokal.Tidak ada yang global. Sandal kulit Malioboro itu juga lokal. Sandal kulit Clark yang mahal itu pun hanya lokal. Celana kolor Madura,yang komprang, bahan kastup,warna hitam, itu lokal.Tapi celana olah raga yang disebut ‘bermerek’ yang dipakai Maradona, siapa bilang bukan lokal pula? Celana komprang Madura, itu sudah lebih dari sekedar merek.Itu identitasMaduradankemaduraan.
Itu identitas lokal.Tapi siapa bilang, tak mungkin menjadi global? Tunggu sebentar.Reog dan jathilan Ponorogo, yang lokal, mengapa disukai di negeri miskin kebudayaan seperti Malaysia, dan diakui milik mereka? Kaus-kaus produk Dagadu di Yogya, yang mentereng dan murah harganya, yang luculucu dan kreatif pemberian mereknya, “Yogya Pangkal Pandai”, misalnya, tak mungkin mengglobal, hanya karena lokal?
Bohong. Bangsaku, jangan percaya. Omongan kaum kolonial jangan didengar. Pada mulanya semua lokal. Kita tak perlu membangun semangat nasional untuk mengatrol produk kita.Tanpa dikatrol, produk kita sudah tinggi kualitasnya. Tanpa dibanggakan, dia sudah memancarkan rasa bangga pada kita. Kalau kita bersikap ‘nrimo’, negeri archipelago yang begini luas,dengan dua ratus lima puluh juta penduduk, bukankah ini sudah cukup untuk dijadikan suatu ‘big market’?
Cukup.Sangat cukup. Kalau kita digencet di pasaran global,kita bisa menerapkan prinsip nasionalistis tulen seperti India dulu: ‘be Indian by Indian’. Kita bisa dengan bangga berkata: produk Indonesia, buat Indonesia,‘a self supporting big society’. Gagah sekali bukan? Sisanya, yang ‘cacat’, kurang ‘quality control’? Kalau ada sisa, yang cacatcacat tadi—kalau betul ada— bolehlah dikirim ke Paris, London, Tokyo, dan kota-kota yang disebut pusat mode dunia lainnya.
Harus begitulah semangat dan aspirasi bangsa kita. Dan ini bukan kolonial, bukan penjajah,bukan merendahkan martabat bangsa lain. Dan kita,dengan sendirinya, kita tak boleh minder.Kita,yang lokal,yang pribumi,yang inlander, dan ndeso bukankah sudah kasih bukti, kretek kita global, batik kita global,keris kita global, wayang kulit kita global, kopikitaglobal,cengkihkitaglobal, rempah-rempah kita jelas global, dan itulah yang dulu bikin bangsa-bangsa asing menjarah- rayah kita.
Rangkaian ini belum berakhir di sini. Mari kita bermain di pasar global. Di kampung saya saja ada tukang becak, yang berkenalan dengan orang Prancis, kemudian bisa menjadi pemain global dalam urusan mebel dan perabotan rumah tangga dari kayu-kayu jati lokal. Dan apa yang lokal ini sudah global.Dengan sendirinya, tukang becak telah membuktikannya. Kita bangkit pelan-pelan,tapi pasti.
Kita jadi pemain global, sambil menikmati ’local market, but big market’ di halaman rumah kita sendiri.Fasilitas alam: langit cerah, matahari memancar tiap saat, udara segar, dan bisa dibikin lebih segar lagi,lingkungan hijau, dan bisa dibikin lebih hijau lagi,semua merupakan ‘great capital’ yang bangsa asing tak punya, dan karena itu mereka dengki pada kita.
Kita melawan ‘labelling system’ yang membikin kita hanya lokal,pribumi,‘inlander’, ‘ndeso’ tadi. Ini tidak adil.Tapi buat melakukan serangan balik, ada saatnya kita mengejek: ‘yes Sir’,ini hanya produk lokal,pada saat orang asing terkagumkagum pada produk kita.Saat ini kita belum apa-apa,dan boleh dikatakan kita belum memulai suatu langkah pendek sekalipun.
Padahal dunia berputar,dan di tangan kapitalis kolonial, putaran dunia itu dipercepat. Mereka tak sudi menunggu kita. Persetan! Kita bergerak dengan irama kita sendiri.Kita mengintip. Kita belajar—sama seperti ketika Jepang mengintip kemajuan dunia Barat— tapi kita mengintip dengan cara kita. Cara Dagadu itu bagus. Kemampuan ukir mengukir kayu kita sudah secara alamiah nomor satu di dunia.
Batik kita, yang hendak dicuri Malaysia, kita rebut kembali, kita percanggih, dan dengan sendirinya kita nomor satu. Produk kulit? Kita termasuk jagonya.Jaket kulit produk kita, diperhalus. Model? Nyontek milik kolonial itu.Tas kulit kita tidak jelek,tapi harus ditingkatkan. Corak, gaya, model? Kopi apa yang dimiliki kaum kolonial yang sudah terlalu kaya tapi tetap serakah itu biar mereka mengerti sedikit prinsip berbagi di dunia fana ini. Nama dan merek?
Bikin merek jaket Poniman, yang dari Jawa,jaket Checep,yang produk Sunda.Sepatu? Bikin merek ‘Parantos’. Boleh juga mereka ‘ Waspodo.’ Tapi apa salahnya pakai merek ‘Ojo lali’? Ini harus dibuat, dengan kesadaran lokal, dan Tuhanakanmembantulangkah kita,membawa semua jenis produk tadi ke pasaran global. Sudah terlambat? Tak peduli. Kita mainkan saja. Sulit menerobos barikade China?
Hidup memang sulit.Menganggur di rumah saja sulit, apa lagi bertarung di pasaran global. Maju terus, pantang mundur! Inilah kita.Ini pribumi,Ini inlander. Ini Poniman. Ini Chevep.Ini ‘Parantos’ Inilah si lokal.Apa salahnya ‘being local’, karena bukankah ‘what is local is also global’? Efek psikologis dari kolonialisasi itu bukan keminderan yang mendalam dan mencekik kreativitas kita.
Tapi sebaliknya: kolonialisme melahirkan protes dan kemarahan,yang membuat kita bangkit. Dulu kita pernah terjajah. Sekarang,cukup.Bangsa kita tahu caranya merdeka. Juga merdeka dalam urusan dagang seperti ini. Kalau ada pemerintah,yang mau menyadari perlunya melindungi bangsanya di pasaran dunia,mungkin akan lebih baik. Dan seperti bangsa-bangsa lain, pemerintahnya melek, dan peduli.
Bangsa lalu terlindungi. Tapi kalau pemerintah tidur, dan mungkin sebaiknya tidur nyenyak seperti sekarang, kita akan tetap kreatif. Kita akan bangkit.Tanpa pemerintah. Apa boleh buat. Semangat dan aspirasi kita jelas.Kita bangun identitas kita sendiri. Ciri dan identitas kita lokal.Dan kita bangga dengan identitas kita sendiri. Pelan-pelan kesadaran ini menyebar di seluruh tanah air.
Produk pakaian dalam, bermerek ‘Eling’, jelas lokal.Tapi kita selalu melek kualitas, tak mempersoalkan lokal atau global. Tidak relevan untuk bertanya di mana suatu produk dibuat. Tidak relevan pula menanyakan apakah sesuatu produk lokal atau global. Orang bertanya: bagaimana kualitas suatu produk. Dan itu menjadi suatu gejala penting,yang kita petik sebagai modal utama untuk merasa bangga pada identitas lokal kita. Kita tahu, apa yang lokal,juga global.
● MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.comThis e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya