Oleh: Runik Sri Astuti
Kondisi tenaga kerja Indonesia di Malaysia ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga. Mereka sudah mendapat perlakuan marjinal dan tidak manusiawi sejak masih berada di negeri sendiri. Mustahil meminta orang lain bersikap baik jika pemangku kebijakan kita tak berbenah diri.
Malaysia, 26 Agustus 2010. Masruroh, salah satu tenaga kerja Indonesia (TKI) yang menghuni tempat penampungan sementara Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia, menangis tersedu. Perempuan asal Mojokerto, Jawa Timur, itu tak mampu membendung isaknya ketika bercerita pengalaman pahit bekerja di negeri jiran.
Sekitar 1,5 tahun lalu Masruroh yang berpendidikan sekolah dasar berangkat ke Malaysia melalui agen. Tiga bulan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, gajinya habis diambil oleh agen dengan alasan membayar biaya pemberangkatan.
Namun, pada bulan keempat, ia tetap tak menerima uang dari majikan. Sampai 1,5 tahun bekerja, tidak hanya upah yang tidak diberikan, Masruroh justru mendapat penyiksaan jika melakukan kesalahan. Singkat cerita, ia tidak tahan dan berhasil kabur menuju KBRI.
”Saya pengin pulang, tetapi saya tidak punya uang. Saya juga malu sama keluarga kalau pulang tidak bawa uang. Saya bingung,” ujarnya penuh dengan isak tangis.
Di penampungan sementara terdapat puluhan teman Masruroh. Mereka TKI bermasalah yang lari dari majikan dan mencari perlindungan. Sebanyak 60 persen kabur karena tidak digaji oleh majikan. Sebagian lagi mengalami penyiksaan dan melahirkan tanpa suami.
Karena tingginya jumlah TKI bermasalah, pemerintah terpaksa menambah rumah penampungan dengan menyewa gedung yang lokasinya berpunggungan dengan kantor KBRI Malaysia. Tempat yang dinamakan Rumah Kita itu juga tidak pernah kosong dari TKI.
Minister Counsellor Information, Social and Culture KBRI di Malaysia Widyarka Ryananta mengatakan, di Malaysia nyaris tiada hari tanpa masalah. Selama tahun 2009 tercatat 1.170 TKI lari dari majikan. Sebanyak 60 persen di antaranya bermasalah soal penggajian, sisanya masalah kekerasan dan kriminal. ”Persoalan TKI di Malaysia paling banyak di antara negara tujuan pekerja lainnya. Penyebabnya, migrant worker di Malaysia kurang bagus, banyak pekerja ilegal masuk. Persoalan TKI semakin buruk dengan tidak adanya standar upah minimum sehingga TKI bisa mendapat upah sangat rendah, 200 ringgit Malaysia,” ujarnya.
Jika kita cermati dengan saksama, tenaga kerja Indonesia sejatinya adalah pahlawan pembangunan bagi Malaysia ataupun bagi Indonesia. Tanpa keringat mereka, nonsense Malaysia bisa membangun sedemikian pesat, bahkan melampaui pembangunan di Tanah Air.
Menteri Luar Negeri Malaysia Dato Seri Anifah Aman mengatakan, salah satu karya nyata TKI adalah kawasan Putra Jaya, yang merupakan pusat pemerintahan baru negara Malaysia. Kawasan yang sedang bergeliat karena aktivitas pemerintahan dan bisnis itu dibangun oleh TKI.
Pembangunan
Dalam pembangunan kawasan Putra Jaya yang sebelumnya merupakan daerah perbukitan dengan hutan pohon ini, TKI tak hanya menjadi sumber tenaga bangunan. Dalam konteks ini, TKI juga menjadi sumber uang bagi pembangunan di Malaysia.
Uang yang dipakai untuk membangun pusat pemerintahan Malaysia di Putra Jaya, bahkan juga pembangunan di seluruh Malaysia, adalah hasil keringat TKI di perkebunan kelapa sawit. Di sektor andalan Malaysia ini nyaris tidak ada warga Malaysia yang bekerja sebagai buruh kasar.
Namun, apa balasan yang mereka berikan kepada TKI? Upah yang masih sangat rendah, kurang dari 500 ringgit Malaysia per bulan; tidak diberikannya pendidikan bagi anak-anak TKI di daerah perkebunan; serta kasus penyiksaan dan pembayaran upah yang ditahan oleh majikan.
Lantas apakah semua masalah ini salah Malaysia? Coba tengok perlakuan kita kepada TKI, apakah lebih baik?
Pesawat Garuda Indonesia baru saja lepas landas di Kuala Lumpur International Airport setelah terlambat sekitar 30 menit dari jadwal boarding, pukul 12.15 waktu setempat. Di dalam pesawat milik maskapai penerbangan kebanggaan bangsa Indonesia itu, penumpang didominasi oleh TKI yang hendak mudik untuk merayakan Lebaran 2010, termasuk seorang pria yang duduk dengan memangku tas yang cukup berat dan besar. Pria yang diketahui bekerja di perkebunan itu tak dihiraukan oleh pramugari pesawat.
Tidak ada seorang awak pesawat pun yang memberi tahu dia untuk meletakkan tas tersebut di bawah kursi, sebagaimana standar keselamatan penerbangan. Beruntung, penerbangan selama hampir dua jam itu berlangsung lancar.
Setiba di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, semua penumpang yang baru mendarat harus melalui pemeriksaan keimigrasian, tak terkecuali para TKI dari Malaysia. Namun, sungguh di luar dugaan, para petugas keimigrasian yang berpenampilan rapi dan berdasi itu ternyata berkelakuan rendah.
Mereka memanggil TKI dengan kata ”Hoei, cepat ke sini”. Tidak hanya itu, pada saat mengembalikan paspor, para petugas yang konon lulusan perguruan tinggi itu melemparkan paspor ke muka TKI dan mengatakan, ”Wis, ambil.”
Saya pikir perlakuan buruk terhadap TKI akan berhenti sampai di situ. Namun, saya salah besar. Para TKI yang menuju ruang transit untuk penerbangan lanjutan masih dipersulit di pintu masuk.
Meski telah mengantongi tiket pesawat untuk penerbangan berikutnya, TKI tidak bisa bebas melenggang. Mereka tertahan di pintu masuk dan harus menunggu berjam-jam. Berbeda dengan calon penumpang non-TKI yang cukup menunjukkan tiket pesawat untuk menuju ruang tunggu.
Lamban
Karena lambannya pelayanan, ditambah sikap petugas yang tidak ramah, ratusan TKI telantar. Mereka duduk di lantai karena tempat duduk yang disediakan tidak lebih dari 10 kursi. Padahal, sebagai pemegang tiket pesawat, mereka juga berhak menikmati kenyamanan fasilitas ruang tunggu di bandara yang pada 20 tahun lalu pernah menjadi yang terbesar di Asia Tenggara itu.
Mungkin bagi TKI, perlakuan tidak manusiawi itu dianggap wajar karena mereka biasa menerima perlakuan yang lebih buruk lagi. Misalnya, bagaimana mereka dieksploitasi oleh para calo karena Pemerintah Indonesia tidak mampu mengendalikan pengiriman TKI ilegal ke Malaysia. Berdasarkan data, jumlah TKI di Malaysia mencapai 2,2 juta orang, 1 juta di antaranya undocument.
Pengamatan di Blitar, Jawa Timur, sebagai salah satu daerah pemasok TKI ke Malaysia, kemiskinan menjadi alasan utama keberangkatan. Namun, karena masyarakat juga bodoh, mereka tidak tahu prosedur yang benar. Biaya pemberangkatan yang murah lebih menjadi pertimbangan yang dipilih TKI tanpa peduli soal hukum.
Gelar pahlawan devisa kepada TKI dan jasa mereka mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di Tanah Air tanpa merepotkan para pejabat elite tidak berbanding lurus dengan perlakuan yang diterima. Padahal, berapa investasi yang harus dikeluarkan untuk memberikan pekerjaan kepada 2,2 tenaga kerja kita seandainya mereka tidak jadi TKI?
Namun, fakta jauh lebih menyakitkan. Pada saat TKI kita berjuang bertaruh nyawa di negeri orang, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah malah berkongsi membangun gedung mewah senilai Rp 1,6 triliun. Tidak pernah tebersit di otak para elite itu untuk membenahi sistem pengiriman TKI dan memberikan pelatihan keterampilan.
Orang bijak berkata, benahilah dirimu sebelum membenahi orang lain. Mungkinkah kita bisa becermin diri supaya lebih menghargai pahlawan devisa ataukah mata hati kita sudah sedemikian terbutakan sehingga tak mampu melihat borok sendiri?
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/11/01/0328342/seperti.menguliti.borok.sen
Runik Sri Astuti
Kompas
Kondisi tenaga kerja Indonesia di Malaysia ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga. Mereka sudah mendapat perlakuan marjinal dan tidak manusiawi sejak masih berada di negeri sendiri. Mustahil meminta orang lain bersikap baik jika pemangku kebijakan kita tak berbenah diri.
Malaysia, 26 Agustus 2010. Masruroh, salah satu tenaga kerja Indonesia (TKI) yang menghuni tempat penampungan sementara Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia, menangis tersedu. Perempuan asal Mojokerto, Jawa Timur, itu tak mampu membendung isaknya ketika bercerita pengalaman pahit bekerja di negeri jiran.
Sekitar 1,5 tahun lalu Masruroh yang berpendidikan sekolah dasar berangkat ke Malaysia melalui agen. Tiga bulan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, gajinya habis diambil oleh agen dengan alasan membayar biaya pemberangkatan.
Namun, pada bulan keempat, ia tetap tak menerima uang dari majikan. Sampai 1,5 tahun bekerja, tidak hanya upah yang tidak diberikan, Masruroh justru mendapat penyiksaan jika melakukan kesalahan. Singkat cerita, ia tidak tahan dan berhasil kabur menuju KBRI.
”Saya pengin pulang, tetapi saya tidak punya uang. Saya juga malu sama keluarga kalau pulang tidak bawa uang. Saya bingung,” ujarnya penuh dengan isak tangis.
Di penampungan sementara terdapat puluhan teman Masruroh. Mereka TKI bermasalah yang lari dari majikan dan mencari perlindungan. Sebanyak 60 persen kabur karena tidak digaji oleh majikan. Sebagian lagi mengalami penyiksaan dan melahirkan tanpa suami.
Karena tingginya jumlah TKI bermasalah, pemerintah terpaksa menambah rumah penampungan dengan menyewa gedung yang lokasinya berpunggungan dengan kantor KBRI Malaysia. Tempat yang dinamakan Rumah Kita itu juga tidak pernah kosong dari TKI.
Minister Counsellor Information, Social and Culture KBRI di Malaysia Widyarka Ryananta mengatakan, di Malaysia nyaris tiada hari tanpa masalah. Selama tahun 2009 tercatat 1.170 TKI lari dari majikan. Sebanyak 60 persen di antaranya bermasalah soal penggajian, sisanya masalah kekerasan dan kriminal. ”Persoalan TKI di Malaysia paling banyak di antara negara tujuan pekerja lainnya. Penyebabnya, migrant worker di Malaysia kurang bagus, banyak pekerja ilegal masuk. Persoalan TKI semakin buruk dengan tidak adanya standar upah minimum sehingga TKI bisa mendapat upah sangat rendah, 200 ringgit Malaysia,” ujarnya.
Jika kita cermati dengan saksama, tenaga kerja Indonesia sejatinya adalah pahlawan pembangunan bagi Malaysia ataupun bagi Indonesia. Tanpa keringat mereka, nonsense Malaysia bisa membangun sedemikian pesat, bahkan melampaui pembangunan di Tanah Air.
Menteri Luar Negeri Malaysia Dato Seri Anifah Aman mengatakan, salah satu karya nyata TKI adalah kawasan Putra Jaya, yang merupakan pusat pemerintahan baru negara Malaysia. Kawasan yang sedang bergeliat karena aktivitas pemerintahan dan bisnis itu dibangun oleh TKI.
Pembangunan
Dalam pembangunan kawasan Putra Jaya yang sebelumnya merupakan daerah perbukitan dengan hutan pohon ini, TKI tak hanya menjadi sumber tenaga bangunan. Dalam konteks ini, TKI juga menjadi sumber uang bagi pembangunan di Malaysia.
Uang yang dipakai untuk membangun pusat pemerintahan Malaysia di Putra Jaya, bahkan juga pembangunan di seluruh Malaysia, adalah hasil keringat TKI di perkebunan kelapa sawit. Di sektor andalan Malaysia ini nyaris tidak ada warga Malaysia yang bekerja sebagai buruh kasar.
Namun, apa balasan yang mereka berikan kepada TKI? Upah yang masih sangat rendah, kurang dari 500 ringgit Malaysia per bulan; tidak diberikannya pendidikan bagi anak-anak TKI di daerah perkebunan; serta kasus penyiksaan dan pembayaran upah yang ditahan oleh majikan.
Lantas apakah semua masalah ini salah Malaysia? Coba tengok perlakuan kita kepada TKI, apakah lebih baik?
Pesawat Garuda Indonesia baru saja lepas landas di Kuala Lumpur International Airport setelah terlambat sekitar 30 menit dari jadwal boarding, pukul 12.15 waktu setempat. Di dalam pesawat milik maskapai penerbangan kebanggaan bangsa Indonesia itu, penumpang didominasi oleh TKI yang hendak mudik untuk merayakan Lebaran 2010, termasuk seorang pria yang duduk dengan memangku tas yang cukup berat dan besar. Pria yang diketahui bekerja di perkebunan itu tak dihiraukan oleh pramugari pesawat.
Tidak ada seorang awak pesawat pun yang memberi tahu dia untuk meletakkan tas tersebut di bawah kursi, sebagaimana standar keselamatan penerbangan. Beruntung, penerbangan selama hampir dua jam itu berlangsung lancar.
Setiba di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, semua penumpang yang baru mendarat harus melalui pemeriksaan keimigrasian, tak terkecuali para TKI dari Malaysia. Namun, sungguh di luar dugaan, para petugas keimigrasian yang berpenampilan rapi dan berdasi itu ternyata berkelakuan rendah.
Mereka memanggil TKI dengan kata ”Hoei, cepat ke sini”. Tidak hanya itu, pada saat mengembalikan paspor, para petugas yang konon lulusan perguruan tinggi itu melemparkan paspor ke muka TKI dan mengatakan, ”Wis, ambil.”
Saya pikir perlakuan buruk terhadap TKI akan berhenti sampai di situ. Namun, saya salah besar. Para TKI yang menuju ruang transit untuk penerbangan lanjutan masih dipersulit di pintu masuk.
Meski telah mengantongi tiket pesawat untuk penerbangan berikutnya, TKI tidak bisa bebas melenggang. Mereka tertahan di pintu masuk dan harus menunggu berjam-jam. Berbeda dengan calon penumpang non-TKI yang cukup menunjukkan tiket pesawat untuk menuju ruang tunggu.
Lamban
Karena lambannya pelayanan, ditambah sikap petugas yang tidak ramah, ratusan TKI telantar. Mereka duduk di lantai karena tempat duduk yang disediakan tidak lebih dari 10 kursi. Padahal, sebagai pemegang tiket pesawat, mereka juga berhak menikmati kenyamanan fasilitas ruang tunggu di bandara yang pada 20 tahun lalu pernah menjadi yang terbesar di Asia Tenggara itu.
Mungkin bagi TKI, perlakuan tidak manusiawi itu dianggap wajar karena mereka biasa menerima perlakuan yang lebih buruk lagi. Misalnya, bagaimana mereka dieksploitasi oleh para calo karena Pemerintah Indonesia tidak mampu mengendalikan pengiriman TKI ilegal ke Malaysia. Berdasarkan data, jumlah TKI di Malaysia mencapai 2,2 juta orang, 1 juta di antaranya undocument.
Pengamatan di Blitar, Jawa Timur, sebagai salah satu daerah pemasok TKI ke Malaysia, kemiskinan menjadi alasan utama keberangkatan. Namun, karena masyarakat juga bodoh, mereka tidak tahu prosedur yang benar. Biaya pemberangkatan yang murah lebih menjadi pertimbangan yang dipilih TKI tanpa peduli soal hukum.
Gelar pahlawan devisa kepada TKI dan jasa mereka mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di Tanah Air tanpa merepotkan para pejabat elite tidak berbanding lurus dengan perlakuan yang diterima. Padahal, berapa investasi yang harus dikeluarkan untuk memberikan pekerjaan kepada 2,2 tenaga kerja kita seandainya mereka tidak jadi TKI?
Namun, fakta jauh lebih menyakitkan. Pada saat TKI kita berjuang bertaruh nyawa di negeri orang, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah malah berkongsi membangun gedung mewah senilai Rp 1,6 triliun. Tidak pernah tebersit di otak para elite itu untuk membenahi sistem pengiriman TKI dan memberikan pelatihan keterampilan.
Orang bijak berkata, benahilah dirimu sebelum membenahi orang lain. Mungkinkah kita bisa becermin diri supaya lebih menghargai pahlawan devisa ataukah mata hati kita sudah sedemikian terbutakan sehingga tak mampu melihat borok sendiri?
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/11/01/0328342/seperti.menguliti.borok.sen
Runik Sri Astuti
Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya