Oleh: Ikrar Nusa Bhakti
INDONESIA kembali berduka. Rasanya negeri ini tak putus dirundung malang. Bencana demi bencana datang silih berganti dan korban nyawa pun berjatuhan.
Berawal dari banjir di Wasior, Papua Barat, berlanjut dengan gempa dan tsunami di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, dan disusul oleh meletusnya Gunung Merapi yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Kita juga masih menanti dengan penuh kecemasan, apa yang akan terjadi di Gunung Papandayan di Jawa Barat dan anak gunung Krakatau di Provinsi Banten.
Di tengah lambannya bantuan oleh institusi negara, seperti diberitakan sebuah harian Ibu Kota akhir pekan lalu, ternyata rakyat Indonesia masih cukup sigap dalam membantu saudara-saudaranya yang tertimpa bencana alam. Ini menunjukkan betapa rasa senasib dan sepenanggungan masih ada di bumi pertiwi tercinta ini. Kita lihat betapa dari satu ponsel ke ponsel lain atau dari alat jejaring telekomunikasi sosial tampak betapa upaya untuk menggalang bantuan dan menyalurkannya kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan terus berjalan.
Mereka melakukan itu tanpa pamrih. Ada yang secara kebetulan akan pulang ke kampung halamannya di Yogyakarta dan mengirim pesan bagi siapa yang ingin mengirim masker pernapasan dapat menghubunginya secepatnya.Ada pula yang menggalang dana untuk membantu para korban di tiga tempat sekaligus––Wasior, Mentawai, dan Merapi.
Kebersamaan kita sebagai sesama anak bangsa ternyata masih ada. Kita sebagai bangsa ternyata masih lulus ujian kesetiaan bahwa kita adalah anak-anak Indonesia yang harus melihat bahwa duka yang dialami orang di Wasior,Mentawai, dan Merapi adalah duka kita bersama.Ini menunjukkan betapa tiada sekat-sekat agama, suku, ras atau golongan bagi kita yang tidak berhitung secara politis.Perasaan kekitaan (We Feeling) ternyata masih ada pada diri kita sebagai bangsa Indonesia.
Lain Awam, Lain Elite Politik
Namun, pada tingkatan elite politik,tampak kasat mata betapa ada perbedaan dengan golongan masyarakat awam.Pernyataan Ketua DPR, Marzuki Alie mengenai tsunami di Mentawai telah menimbulkan reaksi politik yang amat dahsyat bukan saja dari rekan-rekannya sesama politisi,melainkan juga dari khalayak luas. Mungkin Ketua DPR tidak bermaksud buruk.
Sesuai dengan pribahasa Indonesia “jika tidak ingin tersapu ombak, jangan berumah di tepi pantai”, peribahasa itu amatlah bijak. Namun,Ketua DPR tampaknya kurang tepat dalam membuat pernyataannya, seakan ia menyalahkan masyarakat Mentawai karena menempati pulau yang penuh dengan bahaya.
Lucunya, sesama anggota Partai Demokrat,Ruhut Sitompul,bukannya membantu memperbaiki nama sesama anggota partainya, malah mengancam akan mengadukan Marzuki Alie ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang adalah juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.Politik seakan begitu kejam.Namun, para wakil rakyat kita juga kurang sensitif di dalam membuat pernyataan politiknya di depan publik.
Pembenahan
Bencana demi bencana sudah datang silih berganti. Undangundang penanganan bencana juga sudah ada. Badan-badan penanganan bencana di tingkat daerah juga sudah mulai didirikan walau baru institusi tanpa sumber daya manusia yang permanen. Di Aceh misalnya, badan itu sudah berdiri, gedungnya sudah ada, latihanlatihan bersama antara anggota TNI dan masyarakat juga sudah dilakukan bulan lalu, tapi persoalan dana dan sumber daya manusia yang mengurusi belumlah sepenuhnya berfungsi.
Satu sisi yang dapat kita catat, ternyata dalam setiap penanganan bencana pemerintah masih mengalami kesulitan untuk bergerak cepat. Pertama adalah persoalan anggaran. Ada ketakutan dari instansi pemerintah,TNI, dan Polri untuk menggunakan dana dari mata anggaran lain karena ketakutan hasil audit atas instansi tersebut menunjukkan adanya dana yang digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya.
Jika ini terjadi, pimpinan instansi tersebut akan menghadapi persoalan terkait dengan hasil audit walaupun tidak sepeserpun ia mengambil uang itu untuk kepentingan diri atau instansinya. Kedua,kita tahu bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Namun kita lihat betapa prasarana pelabuhan di negeri ini masih sangat terbatas.Tengok misalnya di Kepulauan Mentawai,tidak ada pelabuhan yang dibangun pemerintah untuk memudahkan bersandarnya kapal-kapal di daratan.
Lebih dari 10 tahun lalu penulis pernah melakukan penelitian ke Pulau Siberut, bagian dari gugusan Kepulauan Mentawai, kapal bersandar di dermaga yang serbadarurat hanya bertopangan kayu.Tidak jarang kapal harus menurunkan jangkar di lautan dan kami ke daratan dengan kapal-kapal kecil. Memasuki pulau-pulau di kawasan itu, kita akan semakin mengelus dada,tidak ada jalanan.
Segalanya harus ditransportasikan melalui sungai-sungai kecil yang di musim kemarau akan kekurangan air. Ketiga, kita juga dapat melihat betapa negeri ini juga memiliki armada udara yang amat terbatas untuk operasi bantuan droppingmelalui udara. Kecelakaan pesawat milik Polri di Nabire setelah melakukan bantuan ke Wasior menunjukkan betapa kurangnya institusi TNI dan Polri memiliki pesawat angkut besar ataupun kecil yang siap dioperasikan di berbagai medan yang sulit seperti di tanah Papua.
Keempat,cobalah kita pergi ke wilayah-wilayah lain di belahan barat dan timur Indonesia yang jauh dari pusat kekuasaan di Jakarta. Betapa kita tidak memiliki pelabuhan yang layak dan sarana transportasi laut yang ditempatkan oleh TNI di daerah-daerah terpencil secara permanen. Inilah negeri yang bernama Indonesia. Rakyatnya begitu antusias untuk bahu-membahu membantu saudara-saudaranya yang tertimpa bencana.
Anggota TNI dan Polri juga antusias untuk membantu, tapi sarananya amatlah terbatas, sementara para wakil rakyatnya sibuk menyiapkan studi banding ke mancanegara yang belum tentu tepat guna. Kebersamaan kita memang diuji kembali.Di tingkat masyarakat, kita sudah lulus dengan predikat cum laude.Namun pada tingkatan pemerintahan, kebersamaan itu tampaknya belum tampak.
Di mana rasa kegotongroyongan kita di tingkat pemerintahan? Kita tidak bisa bilang bahwa semua sudah ada yang menangani.Pemerintah Indonesia dari tingkat provinsi,kabupaten, kota belum terketuk hatinya untuk membantu sesama rekannya di provinsi atau kabupaten lain untuk bahu-membahu demi meringankan beban penderitaan rakyat. Entahlah, apakah mereka memiliki nurani bahwa rakyat di belahan lain republik ini adalah juga rakyat sebangsa dan setanah air: Indonesia! (*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/361352/38/
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang
Intermestic Affairs LIPI
INDONESIA kembali berduka. Rasanya negeri ini tak putus dirundung malang. Bencana demi bencana datang silih berganti dan korban nyawa pun berjatuhan.
Berawal dari banjir di Wasior, Papua Barat, berlanjut dengan gempa dan tsunami di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, dan disusul oleh meletusnya Gunung Merapi yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Kita juga masih menanti dengan penuh kecemasan, apa yang akan terjadi di Gunung Papandayan di Jawa Barat dan anak gunung Krakatau di Provinsi Banten.
Di tengah lambannya bantuan oleh institusi negara, seperti diberitakan sebuah harian Ibu Kota akhir pekan lalu, ternyata rakyat Indonesia masih cukup sigap dalam membantu saudara-saudaranya yang tertimpa bencana alam. Ini menunjukkan betapa rasa senasib dan sepenanggungan masih ada di bumi pertiwi tercinta ini. Kita lihat betapa dari satu ponsel ke ponsel lain atau dari alat jejaring telekomunikasi sosial tampak betapa upaya untuk menggalang bantuan dan menyalurkannya kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan terus berjalan.
Mereka melakukan itu tanpa pamrih. Ada yang secara kebetulan akan pulang ke kampung halamannya di Yogyakarta dan mengirim pesan bagi siapa yang ingin mengirim masker pernapasan dapat menghubunginya secepatnya.Ada pula yang menggalang dana untuk membantu para korban di tiga tempat sekaligus––Wasior, Mentawai, dan Merapi.
Kebersamaan kita sebagai sesama anak bangsa ternyata masih ada. Kita sebagai bangsa ternyata masih lulus ujian kesetiaan bahwa kita adalah anak-anak Indonesia yang harus melihat bahwa duka yang dialami orang di Wasior,Mentawai, dan Merapi adalah duka kita bersama.Ini menunjukkan betapa tiada sekat-sekat agama, suku, ras atau golongan bagi kita yang tidak berhitung secara politis.Perasaan kekitaan (We Feeling) ternyata masih ada pada diri kita sebagai bangsa Indonesia.
Lain Awam, Lain Elite Politik
Namun, pada tingkatan elite politik,tampak kasat mata betapa ada perbedaan dengan golongan masyarakat awam.Pernyataan Ketua DPR, Marzuki Alie mengenai tsunami di Mentawai telah menimbulkan reaksi politik yang amat dahsyat bukan saja dari rekan-rekannya sesama politisi,melainkan juga dari khalayak luas. Mungkin Ketua DPR tidak bermaksud buruk.
Sesuai dengan pribahasa Indonesia “jika tidak ingin tersapu ombak, jangan berumah di tepi pantai”, peribahasa itu amatlah bijak. Namun,Ketua DPR tampaknya kurang tepat dalam membuat pernyataannya, seakan ia menyalahkan masyarakat Mentawai karena menempati pulau yang penuh dengan bahaya.
Lucunya, sesama anggota Partai Demokrat,Ruhut Sitompul,bukannya membantu memperbaiki nama sesama anggota partainya, malah mengancam akan mengadukan Marzuki Alie ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang adalah juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.Politik seakan begitu kejam.Namun, para wakil rakyat kita juga kurang sensitif di dalam membuat pernyataan politiknya di depan publik.
Pembenahan
Bencana demi bencana sudah datang silih berganti. Undangundang penanganan bencana juga sudah ada. Badan-badan penanganan bencana di tingkat daerah juga sudah mulai didirikan walau baru institusi tanpa sumber daya manusia yang permanen. Di Aceh misalnya, badan itu sudah berdiri, gedungnya sudah ada, latihanlatihan bersama antara anggota TNI dan masyarakat juga sudah dilakukan bulan lalu, tapi persoalan dana dan sumber daya manusia yang mengurusi belumlah sepenuhnya berfungsi.
Satu sisi yang dapat kita catat, ternyata dalam setiap penanganan bencana pemerintah masih mengalami kesulitan untuk bergerak cepat. Pertama adalah persoalan anggaran. Ada ketakutan dari instansi pemerintah,TNI, dan Polri untuk menggunakan dana dari mata anggaran lain karena ketakutan hasil audit atas instansi tersebut menunjukkan adanya dana yang digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya.
Jika ini terjadi, pimpinan instansi tersebut akan menghadapi persoalan terkait dengan hasil audit walaupun tidak sepeserpun ia mengambil uang itu untuk kepentingan diri atau instansinya. Kedua,kita tahu bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Namun kita lihat betapa prasarana pelabuhan di negeri ini masih sangat terbatas.Tengok misalnya di Kepulauan Mentawai,tidak ada pelabuhan yang dibangun pemerintah untuk memudahkan bersandarnya kapal-kapal di daratan.
Lebih dari 10 tahun lalu penulis pernah melakukan penelitian ke Pulau Siberut, bagian dari gugusan Kepulauan Mentawai, kapal bersandar di dermaga yang serbadarurat hanya bertopangan kayu.Tidak jarang kapal harus menurunkan jangkar di lautan dan kami ke daratan dengan kapal-kapal kecil. Memasuki pulau-pulau di kawasan itu, kita akan semakin mengelus dada,tidak ada jalanan.
Segalanya harus ditransportasikan melalui sungai-sungai kecil yang di musim kemarau akan kekurangan air. Ketiga, kita juga dapat melihat betapa negeri ini juga memiliki armada udara yang amat terbatas untuk operasi bantuan droppingmelalui udara. Kecelakaan pesawat milik Polri di Nabire setelah melakukan bantuan ke Wasior menunjukkan betapa kurangnya institusi TNI dan Polri memiliki pesawat angkut besar ataupun kecil yang siap dioperasikan di berbagai medan yang sulit seperti di tanah Papua.
Keempat,cobalah kita pergi ke wilayah-wilayah lain di belahan barat dan timur Indonesia yang jauh dari pusat kekuasaan di Jakarta. Betapa kita tidak memiliki pelabuhan yang layak dan sarana transportasi laut yang ditempatkan oleh TNI di daerah-daerah terpencil secara permanen. Inilah negeri yang bernama Indonesia. Rakyatnya begitu antusias untuk bahu-membahu membantu saudara-saudaranya yang tertimpa bencana.
Anggota TNI dan Polri juga antusias untuk membantu, tapi sarananya amatlah terbatas, sementara para wakil rakyatnya sibuk menyiapkan studi banding ke mancanegara yang belum tentu tepat guna. Kebersamaan kita memang diuji kembali.Di tingkat masyarakat, kita sudah lulus dengan predikat cum laude.Namun pada tingkatan pemerintahan, kebersamaan itu tampaknya belum tampak.
Di mana rasa kegotongroyongan kita di tingkat pemerintahan? Kita tidak bisa bilang bahwa semua sudah ada yang menangani.Pemerintah Indonesia dari tingkat provinsi,kabupaten, kota belum terketuk hatinya untuk membantu sesama rekannya di provinsi atau kabupaten lain untuk bahu-membahu demi meringankan beban penderitaan rakyat. Entahlah, apakah mereka memiliki nurani bahwa rakyat di belahan lain republik ini adalah juga rakyat sebangsa dan setanah air: Indonesia! (*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/361352/38/
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang
Intermestic Affairs LIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya