Senin, 01 November 2010

Krisis dan Kapitalisme Etis

Oleh: Mohammad Eri Irawan


Apakah kapitalisme akan limbung setelah ditempa krisis seperti yang terjadi belakangan ini? Sejarah membuktikan, pascakrisis, kapitalisme bukannya limbung, malah berjaya. Dalam jangka pendek, krisis memang akan mengurangi kebebasan ekonomi di sebuah negara. Namun, dalam jangka panjang, kebebasan ekonomi akan kembali seperti sedia kala. Bahkan, lebih kuat.

Lebih menarik lagi, betapapun krisis menimpa sistem ekonomi ini, semakin banyak negara yang justru kian meningkatkan tingkat kebebasan ekonominya. Sejak 1980, berdasarkan Economic Freedom of The World: 2009 Annual Report (James D Gwartney, Robert A Lawson, dkk), hampir semua negara tetap setia pada kapitalisme kendati krisis hadir berulang kali.

Dengan nada masygul, Fareed Zakaria dalam ”The Capitalist Manifesto” (Newsweek, Juni 2009) mengingatkan kita, setelah digempur krisis 2008, kapitalisme masih sehat-sehat saja. Krisis memang belum sepenuhnya berlalu, tetapi kapitalisme sudah meneguhkan diri untuk kembali, bahkan dengan lebih gila dan urakan.

Tahun 2008 adalah fase genting dalam sejarah perkembangan kapitalisme ketika krisis memuncak dimulai dari meletusnya problem kredit perumahan yang buruk di Amerika Serikat. Bak gelombang radio, krisis tak terlihat, tetapi nyata kita rasakan.

Serakah itu baik

Sejarah kapitalisme ternyata memang lekat dengan krisis. Sejarah mencatat, kapitalisme berjalan tersaruk-saruk. Tahun 1637 krisis bertajuk ”Tulip Mania” di Belanda, ”Mississippi Bubble” 1719-1720 di Perancis, ”South Sea’s Fantasy 1720 di Inggris, 1792 di AS, dan terus berulang, 1820 di Amerika Latin, 1837 di AS, 1840 di Inggris, 1893 di AS, 1907 di AS, dan 1920 di AS.

Belum usai, pada 1929 kita menyaksikan seluruh dunia cemas setelah apa yang disebut sebagai the great depression mengempaskan banyak sektor ekonomi, krisis yang kemudian membuat kita menoleh ke pemikiran Keynes. Lalu, 1986-1990 krisis menghantam Jepang, krisis Asia 1997, dan kini kita melihat 2008 yang pilu sesudah transaksi derivatif menggila.

Tapi, kapitalisme tampaknya memiliki daya tahan/hidup luar biasa karena ia bisa menginternalisasi satu moral bahwa greed is good, serakah itu baik, pada umumnya manusia di atas bumi ini. Sistem pasar yang bebas ini terus melaju walau secara sinis Bjorn Elmbrant menyebut negara-negara yang kapitalistik sebagai ”jemaah tanpa pemimpin yang berderap sempoyongan sampai akhirnya limbung tersandung kaki sendiri”.

Pada masa lalu, dunia pernah mendapat tawaran panas dari Karl Marx dan Marxisme yang berambisi mematahkan kapitalisme dengan menyodorkan sebuah logika (yang kemudian menjadi gerakan): kapitalisme yang sekarat akan melahirkan revolusi proletariat untuk lahirnya masyarakat tanpa kelas.

Namun, krisis ternyata tak pernah mencapai puncak. Berbagai krisis yang terjadi malah seakan menjadi pupuk penyubur dan pelanggeng sistem ekonomi yang diilhami Adam Smith ini. Roda kapitalisme berderak tiada henti, lebih kencang dan lebih gila dari sebelumnya. Krisis kapitalisme ternyata hanyalah jeda dari cara atau ”teknik berinvestasi’, bukan akhir dari sebuah sistem. Krisis Asia 1997-1998 hanyalah ”akhir dari perbincangan yang optimistis tentang negara berkembang”. Kolapsnya Long-Term Capital Management pada 1998 hanyalah ”akhir dari hedge fund. Dan, 2008 kini adalah krisis yang berarti ”akhir dari transaksi derivatif yang gila-gilaan”.

Selebihnya hampa, nyaris sepi, kecuali hanya segerombolan pendemo yang membawa tomat dan telur busuk serta semprotan merica pada pertemuan-pertemuan pemimpin dunia, lalu berteriak parau soal antikapitalisme dan antiglobalisasi. Tak ada lagi teriakan revolusi proletariat yang menggairahkan itu.

Butuh rem

Kegagahan kapitalisme ini memang diakui umumnya kalangan karena ia berhasil menciptakan kenikmatan individual, kesejahteraan ekonomi secara kolektif. Namun, kita juga tahu, kapitalisme menghadirkan jurang kesenjangan yang teramat lebar.

Harus diakui, kapitalisme, kendati diaku sebagai jalan terang menuju kemakmuran, belum bisa menuntaskan problem kemiskinan dan pengangguran. Ia memiliki apa yang disebut oleh Adam Smith sebagai the invisible hand, di mana pasar berlangsung bersama semacam self mechanism untuk terus memperbaiki diri. Dan, krisis pun menjadi self mechanism yang lain bagi kapitalisme untuk mengoreksi diri.

Dalam kapitalisme, kelas telah bersilih rupa menjadi sangat personal. Ikatan-ikatan solidaritas lumer. Yang ada hanya ikatan-ikatan untuk mengeruk penguasaan materi masing-masing pribadi. Betapa pun jahat ukuran hidup semacam ini, ia tetap menjadi pilihan utama dalam hidup berekonomi mayoritas bangsa di dunia. Seperti nasib buruk yang tak terelakkan.

Untuk itu, kapitalisme tampak membutuhkan sesuatu yang ”tidak kapitalistik”. Semacam off-capitalism yang dapat menjadi semacam rem atau kontrol berupa segugusan sistem etika dan nilai yang menjadi negasi atau setidaknya alternatif dari etika dan nilai kapitalistik.

Etika dan nilai yang berpihak kepada orang miskin, yang kita paham, menjadi korban (structural/sistemik) dari kapitalisme. Etika dan nilai yang mampu memberi dorongan pada kapitalisme untuk bersikap adil. Dalam arti tidak hanya berpihak kepada elite, golongan tertentu, pemilik kapital saja.

Barangkali gagasan ini klise. Tapi, apa yang dapat diharap, lebih dari itu. Karena kenyataannya, ternyata, kita tak bisa berbuat apa-apa ketika kapitalisme membuat apa-apa.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/30/03323014/krisis.dan.kapitalisme.eti


MOHAMMAD ERI IRAWAN Periset Ekonomi dan Kebijakan Publik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...