Oleh: Jeffrey D. Sachs
Solusi mengatasi perubahan iklim buatan manusia bergantung pada transisi ke produksi listrik yang--berbeda dengan pembakaran minyak, gas alam, dan batu bara--sedikit sekali atau sama sekali tidak mengeluarkan karbon dioksida (gas rumah kaca penyebab pemanasan global). Listrik rendah karbon bisa dihasilkan dari energi matahari, nuklir, dan angin, atau oleh pembangkit tenaga batu bara yang menangkap dan menyimpan emisi CO2 yang dikeluarkannya.
Masalah kebijakan ini sederhana. Batu bara merupakan sumber energi yang lebih murah dan lebih mudah digunakan daripada sumber-sumber energi alternatifnya. Ia lebih murah karena berlimpah. Ia lebih mudah digunakan daripada energi angin atau matahari karena bisa menghasilkan listrik sepanjang waktu tanpa bergantung pada kondisi cuaca.
Untuk menyelamatkan bumi ini, kita perlu menarik minat pemasok energi untuk mengadopsi penggunaan sumber-sumber energi rendah karbon, walaupun batu bara lebih murah dan lebih mudah digunakan. Jalan yang jelas mudah ditempuh adalah dengan mengenakan pajak terhadap batu bara atau mewajibkan pembangkit tenaga memiliki izin penggunaan batu bara dan mengenakan tarif pajak atau perizinan yang cukup tinggi sehingga mendorong pergeseran ke arah penggunaan sumber-sumber alternatif energi rendah karbon.
Misalkan batu bara menghasilkan listrik dengan biaya US$ 0,06 per kilowatt-jam, sementara tenaga matahari dengan biaya US$ 0,16 per kilowatt-jam. Pajak yang dikenakan terhadap listrik berbasis batu bara harus ditetapkan sebesar US$ 0,10 per kilowatt-jam. Dalam hal ini, konsumen bakal membayar sebesar US$ 0,16 per kilowatt-jam, sama saja baik untuk energi batu bara maupun energi matahari. Pembangkit tenaga listrik kemudian akan bergeser ke energi matahari rendah karbon. Namun pergeseran ini bakal meningkatkan tagihan listrik lebih dari dua kali lipat. Para politikus enggan menyetujui pengenaan pajak semacam ini, takut akan pukulan balik politik yang bakal menimpa mereka. Selama bertahun-tahun, ketakutan ini di Amerika Serikat sudah menjegal kemajuan ke arah ekonomi rendah karbon. Tapi beberapa negara di Eropa sudah berhasil memperkenalkan apa yang dinamakan feed-in tariffs, yang merupakan inti dari solusi jangka panjang yang dapat diterima secara politis.
Sistem feed-in tariffs ini memberikan subsidi kepada penggunaan sumber-sumber energi rendah karbon, bukan mengenakan pajak terhadap sumber energi tinggi karbon. Dalam contoh yang diberikan di atas, pemerintah memberikan subsidi sebesar US$ 0,10 per kilowatt-jam kepada pembangkit tenaga matahari untuk menutup selisih antara harga konsumen sebesar US$ 0,06 dan biaya produksi US$ 0,16. Harga yang dibayar konsumen tetap tidak berubah, tapi pemerintah bagaimanapun harus membayar harga subsidi yang diberikannya.
Ada lagi cara lainnya. Misalkan kita mengenakan pajak yang kecil terhadap pembangkit tenaga batu bara yang ada saat ini untuk menutup subsidi yang diberikan kepada pembangkit tenaga matahari, dan kemudian berangsur-angsur menaikkan harga listrik yang dibayar konsumen, sementara semakin banyak pembangkit tenaga matahari yang beroperasi. Harga yang dikenakan terhadap konsumen dinaikkan berangsur-angsur dari US$ 0,06 per kilowatt-jam sampai harga biaya sepenuhnya, yaitu US$ 0,16 per kilowatt-jam, tapi dalam periode penyesuaian, katakan, selama 40 tahun (rentang usia pembangkit tenaga berbasis batu bara paling baru saat ini.).
Katakan saja seluruh sistem kelistrikan pada 2010 berbasis batu bara, dan harga listrik yang dibayar konsumen sebesar US$ 0,06 per kilowatt-jam. Menjelang 2014, misalkan 10 persen dari transisi yang memakan waktu selama 40 tahun itu telah tercapai. Harga yang dibayar konsumen dinaikkan 10 persen dari semula US$ 0,06 menjadi US$ 0,16, sehingga mencapai US$ 0,07 per kilowatt-jam.
Pajak batu bara pada 2014 kemudian ditetapkan US$ 0,01 per kilowatt-jam, cukup untuk membayar subsidi energi matahari yang diberikan sebesar US$ 0,09 per kilowatt-jam. Produsen energi matahari memperoleh sepenuhnya penggantian biaya US$ 0,16 per kilowatt-jam yang mereka keluarkan, karena mereka menjual energi kepada konsumen pada harga US$ 0,07 per kilowatt-jam dan menerima subsidi sebesar US$ 0,09 per kilowatt-jam. Pajak batu bara yang kecil itu bisa mendukung subsidi yang besar yang diberikan kepada produsen energi matahari.
Misalkan, selanjutnya, menjelang 2030 transisi ke ekonomi rendah karbon sudah separuh tercapai. Harga listrik yang dibayar konsumen sekarang ditetapkan sebesar US$ 0,11, persis separuh jalan antara US$ 0,06 dan US$ 0,16. Pajak batu bara dinaikkan menjadi US$ 0.05 per kilowatt-jam, cukup untuk menutup subsidi yang diberikan kepada produsen energi matahari sebesar US$ 0,05 per kilowatt-jam. Sekali lagi, produsen energi matahari persis memperoleh penggantian biaya yang mereka keluarkan karena subsidi sebesar US$ 0,05 per kilowatt-jam itu menutup selisih antara harga yang dibayar konsumen (US$ 0,11 per kilowatt-jam) dan biaya yang dikeluarkan produsen (US$ 0,16 per kilowatt-jam).
Akhirnya, misalkan, menjelang 2050, semua produksi listrik sudah melakukan transisi ke sumber-sumber energi rendah karbon. Harga yang dibayar konsumen akhirnya mencapai US$ 0,16 per kilowatt-jam, cukup untuk menutup seluruh biaya produksi energi matahari tanpa subsidi lagi. Pendekatan ini memungkinkan harga listrik yang mahal dibayar konsumen itu berangsur-angsur disesuaikan, namun memberikan insentif yang kuat dan segera untuk mengadopsi penggunaan energi matahari. Lagi pula, anggaran belanja negara diseimbangkan setiap tahun, karena pajak batu bara yang diperoleh itu menutup subsidi yang dikeluarkan untuk penggunaan energi matahari ini.
Transformasi sebenarnya pada tahun-tahun mendatang bakal memberikan satu keuntungan utama dibanding apa yang digambarkan di atas. Pembangkit tenaga matahari saat ini mungkin menelan biaya sebesar US$ 0,10 per kilowatt-jam dibandingkan dengan batu bara, tapi pembangkit tenaga matahari bakal jauh lebih murah di masa depan berkat peningkatan teknologi. Demikianlah, jumlah subsidi yang diperlukan dalam satu-dua dekade bakal jauh lebih rendah dari sekarang.
Perdebatan yang berlangsung di AS, Australia, dan negara-negara lainnya terpusat sampai saat ini pada penerapan sistem izin cap-and-trade yang berbelit-belit itu. Setiap pengguna bahan bakar fosil yang utama perlu membeli izin emisi CO2, dan izin itu bakal diperdagangkan dalam suatu pasar khusus. Harga pasar izin itu sama dengan membayar pajak emisi CO2. Sayangnya, sistem cap-and-trade ini sulit dikelola dan tidak memberikan sinyal yang jelas mengenai harga izin itu di masa depan. Eropa sudah mengadopsi sistem ini, tapi negara-negara lainnya sudah berulang kali menolaknya. Sebenarnya keberhasilan terbesar Eropa dalam mempromosikan energi rendah karbon ini datang dari feed-in tariffs yang dikenakannya, dan di beberapa negara dari pajak karbon, bukan dari sistem cap-and-trade.
Sudah tiba waktunya bagi AS, Cina, India, dan ekonomi-ekonomi besar lainnya di dunia menyatakan bagaimana mereka akan melakukan transisi energi mereka ke ekonomi rendah karbon. Pajak karbon yang kecil dan berangsur-angsur dinaikkan yang membiayai sistem feed-in tariffs bisa memperoleh dukungan politik di AS. Ia juga bisa membantu pencapaian konsensus di antara ekonomi-ekonomi utama berbasis batu bara, termasuk Cina dan India.
Sebenarnya ada solusi jangka panjang yang efektif untuk mengatasi perubahan iklim yang secara politis dapat diterima dan bisa dilaksanakan. Inilah saat untuk mengadopsi solusi tersebut.
URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/11/01/Opini/krn.20101101.216606
Jeffrey D. Sachs
GURU BESAR EKONOMI DAN DIREKTUR EARTH INSTITUTE PADA COLUMBIA UNIVERSITY, PENASIHAT KHUSUS SEKRETARIS JENDERAL PBB MENGENAI MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS.
Hak cipta: Project Syndicate, 2010.
Solusi mengatasi perubahan iklim buatan manusia bergantung pada transisi ke produksi listrik yang--berbeda dengan pembakaran minyak, gas alam, dan batu bara--sedikit sekali atau sama sekali tidak mengeluarkan karbon dioksida (gas rumah kaca penyebab pemanasan global). Listrik rendah karbon bisa dihasilkan dari energi matahari, nuklir, dan angin, atau oleh pembangkit tenaga batu bara yang menangkap dan menyimpan emisi CO2 yang dikeluarkannya.
Masalah kebijakan ini sederhana. Batu bara merupakan sumber energi yang lebih murah dan lebih mudah digunakan daripada sumber-sumber energi alternatifnya. Ia lebih murah karena berlimpah. Ia lebih mudah digunakan daripada energi angin atau matahari karena bisa menghasilkan listrik sepanjang waktu tanpa bergantung pada kondisi cuaca.
Untuk menyelamatkan bumi ini, kita perlu menarik minat pemasok energi untuk mengadopsi penggunaan sumber-sumber energi rendah karbon, walaupun batu bara lebih murah dan lebih mudah digunakan. Jalan yang jelas mudah ditempuh adalah dengan mengenakan pajak terhadap batu bara atau mewajibkan pembangkit tenaga memiliki izin penggunaan batu bara dan mengenakan tarif pajak atau perizinan yang cukup tinggi sehingga mendorong pergeseran ke arah penggunaan sumber-sumber alternatif energi rendah karbon.
Misalkan batu bara menghasilkan listrik dengan biaya US$ 0,06 per kilowatt-jam, sementara tenaga matahari dengan biaya US$ 0,16 per kilowatt-jam. Pajak yang dikenakan terhadap listrik berbasis batu bara harus ditetapkan sebesar US$ 0,10 per kilowatt-jam. Dalam hal ini, konsumen bakal membayar sebesar US$ 0,16 per kilowatt-jam, sama saja baik untuk energi batu bara maupun energi matahari. Pembangkit tenaga listrik kemudian akan bergeser ke energi matahari rendah karbon. Namun pergeseran ini bakal meningkatkan tagihan listrik lebih dari dua kali lipat. Para politikus enggan menyetujui pengenaan pajak semacam ini, takut akan pukulan balik politik yang bakal menimpa mereka. Selama bertahun-tahun, ketakutan ini di Amerika Serikat sudah menjegal kemajuan ke arah ekonomi rendah karbon. Tapi beberapa negara di Eropa sudah berhasil memperkenalkan apa yang dinamakan feed-in tariffs, yang merupakan inti dari solusi jangka panjang yang dapat diterima secara politis.
Sistem feed-in tariffs ini memberikan subsidi kepada penggunaan sumber-sumber energi rendah karbon, bukan mengenakan pajak terhadap sumber energi tinggi karbon. Dalam contoh yang diberikan di atas, pemerintah memberikan subsidi sebesar US$ 0,10 per kilowatt-jam kepada pembangkit tenaga matahari untuk menutup selisih antara harga konsumen sebesar US$ 0,06 dan biaya produksi US$ 0,16. Harga yang dibayar konsumen tetap tidak berubah, tapi pemerintah bagaimanapun harus membayar harga subsidi yang diberikannya.
Ada lagi cara lainnya. Misalkan kita mengenakan pajak yang kecil terhadap pembangkit tenaga batu bara yang ada saat ini untuk menutup subsidi yang diberikan kepada pembangkit tenaga matahari, dan kemudian berangsur-angsur menaikkan harga listrik yang dibayar konsumen, sementara semakin banyak pembangkit tenaga matahari yang beroperasi. Harga yang dikenakan terhadap konsumen dinaikkan berangsur-angsur dari US$ 0,06 per kilowatt-jam sampai harga biaya sepenuhnya, yaitu US$ 0,16 per kilowatt-jam, tapi dalam periode penyesuaian, katakan, selama 40 tahun (rentang usia pembangkit tenaga berbasis batu bara paling baru saat ini.).
Katakan saja seluruh sistem kelistrikan pada 2010 berbasis batu bara, dan harga listrik yang dibayar konsumen sebesar US$ 0,06 per kilowatt-jam. Menjelang 2014, misalkan 10 persen dari transisi yang memakan waktu selama 40 tahun itu telah tercapai. Harga yang dibayar konsumen dinaikkan 10 persen dari semula US$ 0,06 menjadi US$ 0,16, sehingga mencapai US$ 0,07 per kilowatt-jam.
Pajak batu bara pada 2014 kemudian ditetapkan US$ 0,01 per kilowatt-jam, cukup untuk membayar subsidi energi matahari yang diberikan sebesar US$ 0,09 per kilowatt-jam. Produsen energi matahari memperoleh sepenuhnya penggantian biaya US$ 0,16 per kilowatt-jam yang mereka keluarkan, karena mereka menjual energi kepada konsumen pada harga US$ 0,07 per kilowatt-jam dan menerima subsidi sebesar US$ 0,09 per kilowatt-jam. Pajak batu bara yang kecil itu bisa mendukung subsidi yang besar yang diberikan kepada produsen energi matahari.
Misalkan, selanjutnya, menjelang 2030 transisi ke ekonomi rendah karbon sudah separuh tercapai. Harga listrik yang dibayar konsumen sekarang ditetapkan sebesar US$ 0,11, persis separuh jalan antara US$ 0,06 dan US$ 0,16. Pajak batu bara dinaikkan menjadi US$ 0.05 per kilowatt-jam, cukup untuk menutup subsidi yang diberikan kepada produsen energi matahari sebesar US$ 0,05 per kilowatt-jam. Sekali lagi, produsen energi matahari persis memperoleh penggantian biaya yang mereka keluarkan karena subsidi sebesar US$ 0,05 per kilowatt-jam itu menutup selisih antara harga yang dibayar konsumen (US$ 0,11 per kilowatt-jam) dan biaya yang dikeluarkan produsen (US$ 0,16 per kilowatt-jam).
Akhirnya, misalkan, menjelang 2050, semua produksi listrik sudah melakukan transisi ke sumber-sumber energi rendah karbon. Harga yang dibayar konsumen akhirnya mencapai US$ 0,16 per kilowatt-jam, cukup untuk menutup seluruh biaya produksi energi matahari tanpa subsidi lagi. Pendekatan ini memungkinkan harga listrik yang mahal dibayar konsumen itu berangsur-angsur disesuaikan, namun memberikan insentif yang kuat dan segera untuk mengadopsi penggunaan energi matahari. Lagi pula, anggaran belanja negara diseimbangkan setiap tahun, karena pajak batu bara yang diperoleh itu menutup subsidi yang dikeluarkan untuk penggunaan energi matahari ini.
Transformasi sebenarnya pada tahun-tahun mendatang bakal memberikan satu keuntungan utama dibanding apa yang digambarkan di atas. Pembangkit tenaga matahari saat ini mungkin menelan biaya sebesar US$ 0,10 per kilowatt-jam dibandingkan dengan batu bara, tapi pembangkit tenaga matahari bakal jauh lebih murah di masa depan berkat peningkatan teknologi. Demikianlah, jumlah subsidi yang diperlukan dalam satu-dua dekade bakal jauh lebih rendah dari sekarang.
Perdebatan yang berlangsung di AS, Australia, dan negara-negara lainnya terpusat sampai saat ini pada penerapan sistem izin cap-and-trade yang berbelit-belit itu. Setiap pengguna bahan bakar fosil yang utama perlu membeli izin emisi CO2, dan izin itu bakal diperdagangkan dalam suatu pasar khusus. Harga pasar izin itu sama dengan membayar pajak emisi CO2. Sayangnya, sistem cap-and-trade ini sulit dikelola dan tidak memberikan sinyal yang jelas mengenai harga izin itu di masa depan. Eropa sudah mengadopsi sistem ini, tapi negara-negara lainnya sudah berulang kali menolaknya. Sebenarnya keberhasilan terbesar Eropa dalam mempromosikan energi rendah karbon ini datang dari feed-in tariffs yang dikenakannya, dan di beberapa negara dari pajak karbon, bukan dari sistem cap-and-trade.
Sudah tiba waktunya bagi AS, Cina, India, dan ekonomi-ekonomi besar lainnya di dunia menyatakan bagaimana mereka akan melakukan transisi energi mereka ke ekonomi rendah karbon. Pajak karbon yang kecil dan berangsur-angsur dinaikkan yang membiayai sistem feed-in tariffs bisa memperoleh dukungan politik di AS. Ia juga bisa membantu pencapaian konsensus di antara ekonomi-ekonomi utama berbasis batu bara, termasuk Cina dan India.
Sebenarnya ada solusi jangka panjang yang efektif untuk mengatasi perubahan iklim yang secara politis dapat diterima dan bisa dilaksanakan. Inilah saat untuk mengadopsi solusi tersebut.
URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/11/01/Opini/krn.20101101.216606
Jeffrey D. Sachs
GURU BESAR EKONOMI DAN DIREKTUR EARTH INSTITUTE PADA COLUMBIA UNIVERSITY, PENASIHAT KHUSUS SEKRETARIS JENDERAL PBB MENGENAI MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS.
Hak cipta: Project Syndicate, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya