Oleh: Iqra Anugrah
Serangkaian bencana alam dan musibah kembali terjadi. Mulai dari banjir bandang di Wasior, letusan Gunung Merapi, hingga gempa dan tsunami di Mentawai.
Sejumlah pertanyaan dan kontroversi muncul ketika beberapa pejabat negara melontarkan pernyataan dan tanggapan mereka. Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan bahwa bencana adalah konsekuensi tinggal di pulau. Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring di akun Twitter-nya menafsirkan bencana sebagai azab, sembari mengutip ayat-ayat Al Quran.
Tentu saja perilaku dua petinggi negeri ini mendapat kritik masyarakat. Respons mereka terhadap bencana dinilai tidak pantas dan tidak peka terhadap situasi dan kondisi korban bencana yang juga warga Indonesia.
Ada beberapa cara untuk menafsirkan bencana dan kuasa Tuhan di dalamnya. Kita bisa melihat Tuhan yang sedang marah dan menghukum hamba-Nya atau Tuhan yang penuh kasih sayang yang sedang menguji hamba-Nya. Pandangan-pandangan ini kemudian menemukan justifikasi dalam kisah-kisah bencana dalam semua tradisi agama-agama, terutama bagi mereka yang menafsirkan bencana sebagai azab.
Argumen-argumen ini, menurut penulis, hendaknya dipahami secara hati-hati dan tidak berlebihan. Sangatlah tidak bijak apabila kita terjebak dalam dikotomi biner seperti di atas.
Diperlukan empati
Dengan demikian, menafsirkan apa maksud Tuhan di balik bencana menjadi tidak begitu penting. Yang diperlukan adalah empati dan solidaritas sosial dalam ikatan kemanusiaan.
Introspeksi diri perlu dalam konteks keimanan dan tanggung jawab sosial. Baik rakyat biasa maupun pejabat, kita manusia tidak luput dari kesalahan.
Yang menjadi masalah adalah kalau kita tak pernah belajar dari kesalahan, sebagaimana terlihat dalam politik bencana kita yang tecermin dalam respons pemerintah. Sebaliknya respons masyarakat Indonesia, seperti biasa, sangatlah luar biasa. Solidaritas sosial tecermin dengan mengalirnya bantuan dari berbagai lapisan masyarakat.
Tentu kita tidak perlu menafikan kerja keras dari pemerintah. Namun, yang menjadi krusial di sini adalah fakta bahwa kita hidup berdampingan dengan bencana alam. Oleh karena itu, sistem peringatan bencana dan penanganan pascabencana menjadi krusial dan sudah sepatutnya menjadi perhatian dan agenda utama pemerintah.
Dalam disiplin ilmu politik dan hubungan internasional, bencana alam dikategorikan sebagai ancaman keamanan nontradisional. Paradigma baru ini dapat menjadi acuan pemerintah dalam melakukan manajemen dan mitigasi bencana, terutama jika kita memperhitungkan efek yang dapat ditimbulkan bencana pada negara-negara tetangga kita, seperti efek asap letusan gunung atau kebakaran hutan.
Di sini, kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat menjadi penting. Masyarakat tentu dapat berjalan sendiri, tetapi pemerintah sepatutnya dapat menjadi pelayan dan pengayom warga negara.
Mengedepankan etika
Wasior, Merapi, dan Mentawai, semuanya merupakan momentum bagi kita semua untuk merenungkan dan mengkaji kembali pemahaman dan pengelolaan bencana kita. Di tengah-tengah arus besar solidaritas kemanusiaan, kita kekurangan satu elemen penting yang merupakan dasar bagi setiap tindakan, yaitu etika.
Sikap Ketua DPR dan Menkominfo adalah contoh nyata kurangnya etika dalam pribadi pemimpin dan penyelenggara negara kita. Alih-alih memberikan contoh dan kepemimpinan dalam menyelamatkan korban bencana, para pejabat kita malah berkomentar yang tidak perlu. Hal ini juga merupakan cerminan betapa karut-marutnya pemahaman politik dan keagamaan yang tidak sesuai dengan semangat demokrasi serta kurangnya modal sosial dan tenggang rasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pusatkan ke sosial
Ke depan, segala perdebatan dan diskusi tentang bencana alam hendaknya dipusatkan pada persoalan sosial. Yang terpenting adalah bagaimana kita melihat bencana sebagai ancaman dan tantangan nasional, terutama bagi keamanan, persatuan, serta kesejahteraan bangsa Indonesia.
Bencana juga harus dilihat sebagai kesempatan untuk menyegarkan kembali kemanusiaan kita dan menyadarkan bahwa sesungguhnya kemanusiaan melintasi batas-batas suku, agama, ras, kelompok etnis, strata sosial-ekonomi, jender, maupun perbedaan dalam pandangan politik, ekonomi, maupun teologi.
Deretan bencana kali ini hendaknya menjadi kesempatan bagi kita untuk meneguhkan kembali iman dan religiositas kita, serta mengejawantahkannya dalam solidaritas dan rekonsiliasi sosial antarsesama warga republik, dalam bingkai kebinekaan dan kedamaian.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/11/04/02560881/politik.bencana.dalam.pers
Iqra Anugrah Mahasiswa Program Master di Graduate School of Asia Pacific Studies, Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
Serangkaian bencana alam dan musibah kembali terjadi. Mulai dari banjir bandang di Wasior, letusan Gunung Merapi, hingga gempa dan tsunami di Mentawai.
Sejumlah pertanyaan dan kontroversi muncul ketika beberapa pejabat negara melontarkan pernyataan dan tanggapan mereka. Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan bahwa bencana adalah konsekuensi tinggal di pulau. Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring di akun Twitter-nya menafsirkan bencana sebagai azab, sembari mengutip ayat-ayat Al Quran.
Tentu saja perilaku dua petinggi negeri ini mendapat kritik masyarakat. Respons mereka terhadap bencana dinilai tidak pantas dan tidak peka terhadap situasi dan kondisi korban bencana yang juga warga Indonesia.
Ada beberapa cara untuk menafsirkan bencana dan kuasa Tuhan di dalamnya. Kita bisa melihat Tuhan yang sedang marah dan menghukum hamba-Nya atau Tuhan yang penuh kasih sayang yang sedang menguji hamba-Nya. Pandangan-pandangan ini kemudian menemukan justifikasi dalam kisah-kisah bencana dalam semua tradisi agama-agama, terutama bagi mereka yang menafsirkan bencana sebagai azab.
Argumen-argumen ini, menurut penulis, hendaknya dipahami secara hati-hati dan tidak berlebihan. Sangatlah tidak bijak apabila kita terjebak dalam dikotomi biner seperti di atas.
Diperlukan empati
Dengan demikian, menafsirkan apa maksud Tuhan di balik bencana menjadi tidak begitu penting. Yang diperlukan adalah empati dan solidaritas sosial dalam ikatan kemanusiaan.
Introspeksi diri perlu dalam konteks keimanan dan tanggung jawab sosial. Baik rakyat biasa maupun pejabat, kita manusia tidak luput dari kesalahan.
Yang menjadi masalah adalah kalau kita tak pernah belajar dari kesalahan, sebagaimana terlihat dalam politik bencana kita yang tecermin dalam respons pemerintah. Sebaliknya respons masyarakat Indonesia, seperti biasa, sangatlah luar biasa. Solidaritas sosial tecermin dengan mengalirnya bantuan dari berbagai lapisan masyarakat.
Tentu kita tidak perlu menafikan kerja keras dari pemerintah. Namun, yang menjadi krusial di sini adalah fakta bahwa kita hidup berdampingan dengan bencana alam. Oleh karena itu, sistem peringatan bencana dan penanganan pascabencana menjadi krusial dan sudah sepatutnya menjadi perhatian dan agenda utama pemerintah.
Dalam disiplin ilmu politik dan hubungan internasional, bencana alam dikategorikan sebagai ancaman keamanan nontradisional. Paradigma baru ini dapat menjadi acuan pemerintah dalam melakukan manajemen dan mitigasi bencana, terutama jika kita memperhitungkan efek yang dapat ditimbulkan bencana pada negara-negara tetangga kita, seperti efek asap letusan gunung atau kebakaran hutan.
Di sini, kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat menjadi penting. Masyarakat tentu dapat berjalan sendiri, tetapi pemerintah sepatutnya dapat menjadi pelayan dan pengayom warga negara.
Mengedepankan etika
Wasior, Merapi, dan Mentawai, semuanya merupakan momentum bagi kita semua untuk merenungkan dan mengkaji kembali pemahaman dan pengelolaan bencana kita. Di tengah-tengah arus besar solidaritas kemanusiaan, kita kekurangan satu elemen penting yang merupakan dasar bagi setiap tindakan, yaitu etika.
Sikap Ketua DPR dan Menkominfo adalah contoh nyata kurangnya etika dalam pribadi pemimpin dan penyelenggara negara kita. Alih-alih memberikan contoh dan kepemimpinan dalam menyelamatkan korban bencana, para pejabat kita malah berkomentar yang tidak perlu. Hal ini juga merupakan cerminan betapa karut-marutnya pemahaman politik dan keagamaan yang tidak sesuai dengan semangat demokrasi serta kurangnya modal sosial dan tenggang rasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pusatkan ke sosial
Ke depan, segala perdebatan dan diskusi tentang bencana alam hendaknya dipusatkan pada persoalan sosial. Yang terpenting adalah bagaimana kita melihat bencana sebagai ancaman dan tantangan nasional, terutama bagi keamanan, persatuan, serta kesejahteraan bangsa Indonesia.
Bencana juga harus dilihat sebagai kesempatan untuk menyegarkan kembali kemanusiaan kita dan menyadarkan bahwa sesungguhnya kemanusiaan melintasi batas-batas suku, agama, ras, kelompok etnis, strata sosial-ekonomi, jender, maupun perbedaan dalam pandangan politik, ekonomi, maupun teologi.
Deretan bencana kali ini hendaknya menjadi kesempatan bagi kita untuk meneguhkan kembali iman dan religiositas kita, serta mengejawantahkannya dalam solidaritas dan rekonsiliasi sosial antarsesama warga republik, dalam bingkai kebinekaan dan kedamaian.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/11/04/02560881/politik.bencana.dalam.pers
Iqra Anugrah Mahasiswa Program Master di Graduate School of Asia Pacific Studies, Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya