Oleh: Khudori
Bagipetani,tanahmerupakan harta yang tak ternilai. Tanah adalah bagian hidup, sumber hidup dan kehidupan, berikut harkat dan martabatnya,bahkan bagian identitas.
Di kalangan masyarakat Jawa khususnya, terdapat prinsip hidup yang berbunyi sadumuk bathuk sanyari bumi ditohing pati (meskipun sejengkal, tanah bagian kehormatan yang akan dibela hingga mati jika ada yang mengganggunya). Di etnis lain juga berlaku prinsip sama. Itu sebabnya, tanah memiliki kedudukan penting. Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain tanah, ada modal manusia dan modal uang.Tapi bagi petani, modal tanah amat menentukan akses terhadap modal lainnya.
Karena itu, redistribusi tanah (landreform) jadi agenda hampir semua negara di dunia.Semua negara yang kita kenal struktur politik, ekonomi,dan sosialnya kukuh dan baik, seperti China, Jepang, Korea, dan AS, memulai pembangunan ekonominya dengan landreform. Di penghujung abad ke-20 landreform jadi bagian penting strategi negara-negara di dunia untuk menata struktur politik, ekonomi, dan sosialnya yang feodalistis. Indonesia memulai landreform tahun 1961,bersamaan dengan Taiwan.
Cita-cita yang digagas para pendiri bangsa adalah menata ulang struktur keagrariaan nasional yang feodalistis dan kolonialistis dengan sistem pertuanan dan konsentrasi aset agraria pada sekelompok kecil masyarakat menjadi struktur keagrariaan yang berkeadilan sosial.Landreformdilakukan setelah UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 disahkan bersamaan lahirnya UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Sayang landreform yang menurut Bung Karno “bagian mutlak revolusi” ternoda konflik vertikal dan horizontal yang dipicu polarisasi ideologi massa-rakyat.Kelompok “kiri” pendukung landreform bersitegang dengan kelompok “kanan” penolak landreform. Stabilitas politik terguncang. Landreform era Bung Karno terhenti seiring pergantian rezim. Berbeda dengan Bung Karno, Soeharto tak menjadikan landreform sebagai agenda penting. Soeharto menempuh jalan pintas dengan mengadopsi Revolusi Hijau. Sepanjang 30 tahun landreform dimusuhi dan diberangus. Bahkan, para penganjurnya dicap ”kiri”.
Ketimpangan yang Nyata
Tap MPR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria (PA) dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) cukup pas menggambarkan kondisi keagrariaan hasil 30 tahun Orde Baru. Pertama, ketimpangan dalam kepemilikan dan penguasaan atas tanah dan kekayaan alam lainnya.Kedua, konflik penguasaan dan pengelolaan atas tanah dan kekayaan alam di berbagai daerah. Ketiga, peraturan yang terkait dengan agraria/sumber daya alam bersifat eksploratif,sektoral, sentralistis,lebih berpihak pada pemilik modal besar dan pemegang kekuasaan, serta tidak ada peng-aturan yang memadai untuk melindungi HAM dan hak-hak masyarakat adat/lokal.
Keempat, peraturan yang terkait dengan konservasi SDA tidak memberi jalan keluar yang diharapkan untuk pemulihan fungsi SDA sebagai landasan pengembangan ekonomi jangka panjang. Dampaknya sudah sama-sama kita rasakan.Tumpang-tindih peraturan membuat tidak jelasnya otoritas atas sumber daya alam (SDA) dan salah urus pengelolaan SDA.Akibatnya,terjadi pengerukan dan pengurasan SDA tanpa batas. Hutan produktif,hutan lindung dan lahan-lahan produktif dialihfungsikan.
Yang terjadi berikutnya degradasi tanah, kerusakan ekosistem dan merosotnya keanekaragaman hayati, meningkatnya pencemaran dan dampak lingkungan, dan meningkatnya pelanggaran HAM dan perampasan hak-hak masyarakat adat/lokal.Hasil akhirnya berupa kemiskinan mayoritas rakyat. Karena itu, ketika Presiden SBY pada 2006 hendak membagikan 8,15 juta hektar lahan untuk rakyat,ini menjadi oase kerinduan pada landreform.
Langkah itu diharapkan bisa mengeliminasi persoalan- persoalan struktural berupa tingginya pengangguran, kemiskinan, konsentrasi aset agraria pada segelintir orang, tingginya sengketa dan konflik pertanahan, rentannya ketahanan pangan dan energi,menurunnya kualitas lingkungan hidup,dan lemahnya akses sebagian besar masyarakat terhadap hak-hak dasar rakyat.
Secara ekonomi, landreform yang ditopang dengan program penunjang, seperti kredit, penyuluhan, latihan, pendidikan, teknologi, pemasaran, manajemen dan infrastruktur– yang dikenal dengan reforma agraria–akan membuat rakyat lebih berdaya, seperti terbukti di Jepang (Hayami, 1997) dan Zimbabwe (Waeterloos dan Rutherford,2004). Empat tahun berlalu, bahkan hingga setahun usia pemerintahan SBY-Boediono, janji tinggal janji.
Ketimpangan kepemilikan lahan dan konflik agraria tak berubah. Ketimpangan kepemilikan aset di negeri sangat akut: 56% aset nasional hanya dikuasai 0,2% dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional yang demikian besar hanya dikuasai 440 ribu orang.Nyaris tak berubah dalam 60 tahun terakhir (Mohammad Tauchid, 1952). Jika dilihat detil, konsentrasi aset itu, 62–87% berwujud tanah (Winoto, 2008). Menurut BPN (2007), ada 2.810 kasus tanah besar yang berbuah konflik, merugikan negarawarga. Nilai tanah yang tersandera sengketa mencapai Rp 1.000 triliun (Winoto,2008).
Mungkin karena ini, Presiden SBY menangis saat membagikan sertifikat tanah negara kepada 5.141 petani asal Cilacap pada Hari Agraria Nasional,21 Oktober 2010, di Istana Bogor. Menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto,pemerintah memerlukan 6 juta hektar untuk meningkatkan gini ratio penguasaan tanah rakyat yang berkeadilan sebesar 0,37. Saat ini pemerintah baru memperoleh 142.159 hektar tanah untuk dibagikan ulang.
Betapa besar senjang antara kebutuhan dan kenyataan. Mengapa ini terjadi? Tak lain karena selama pemerintahan SBY yang didorong hanya legalisasi kepemilikan lewat program LARASITA. Program ini sama sekali tak menyentuh persoalan agraria akut di negeri ini: ketimpangan distribusi kepemilikan lahan dan konflik agraria yang masif. Pembagian tanah kepada 5.141 petani Cilacap bukanlah kemurahan negara tapi hasil desakan dari bawah atau oleh rakyat (landreform by leverage).
Tanpa tekanan dari bawah, belum tentu tanah negara yang semula dikuasai swasta itu diberikan pada petani. Karena itu,sesungguhnya keberhasilan ini tidak bisa diklaim prestasimurni SBY lewat BPN.Gejala ini sesungguhnya menegaskan satu hal: sama sekali belum ada prestasi membanggakan di sektor agraria pada era SBY.
Yang terjadi sebaliknya, selama enam tahun berkuasa,SBY tidak membuat kebijakan korektif untuk mengatasi ketidakadilan agraria.Bahkan,melalui kebijakan dan perizinan yang dikeluarkan,seperti UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal,UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,dan UUNo. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara,SBYtelah berkontribusimengukuhkanketimpangan agraria yang terjadi.
Hanya Jargon
Keberhasilan reforma agraria setidaknya memerlukan enam syarat utama (Wiradi, 2000): adanya kemauan politik pemerintah, data yang lengkap dan teliti, organisasi rakyat yang kuat, elite penguasa yang terpisah dari elite bisnis,dari atas sampai ke bawah memahami pengetahuan elementer tentang agraria,dan didukung militer (dan polisi). Dari keenam syarat pokok itu, sebetulnya belum ada satu pun yang tersedia.Karena itulah,enam tahun era SBY reforma agraria tertatihtatih, naik-turun, dan jadi komoditas politik pencitraan.Tanpa kebijakan korektif radikal, reforma agraria hanya jadi jargon.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/361828/
Khudori
Pegiat
AEPI, anggota Pokja Ahli
Dewan Ketahanan Pang
Bagipetani,tanahmerupakan harta yang tak ternilai. Tanah adalah bagian hidup, sumber hidup dan kehidupan, berikut harkat dan martabatnya,bahkan bagian identitas.
Di kalangan masyarakat Jawa khususnya, terdapat prinsip hidup yang berbunyi sadumuk bathuk sanyari bumi ditohing pati (meskipun sejengkal, tanah bagian kehormatan yang akan dibela hingga mati jika ada yang mengganggunya). Di etnis lain juga berlaku prinsip sama. Itu sebabnya, tanah memiliki kedudukan penting. Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain tanah, ada modal manusia dan modal uang.Tapi bagi petani, modal tanah amat menentukan akses terhadap modal lainnya.
Karena itu, redistribusi tanah (landreform) jadi agenda hampir semua negara di dunia.Semua negara yang kita kenal struktur politik, ekonomi,dan sosialnya kukuh dan baik, seperti China, Jepang, Korea, dan AS, memulai pembangunan ekonominya dengan landreform. Di penghujung abad ke-20 landreform jadi bagian penting strategi negara-negara di dunia untuk menata struktur politik, ekonomi, dan sosialnya yang feodalistis. Indonesia memulai landreform tahun 1961,bersamaan dengan Taiwan.
Cita-cita yang digagas para pendiri bangsa adalah menata ulang struktur keagrariaan nasional yang feodalistis dan kolonialistis dengan sistem pertuanan dan konsentrasi aset agraria pada sekelompok kecil masyarakat menjadi struktur keagrariaan yang berkeadilan sosial.Landreformdilakukan setelah UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 disahkan bersamaan lahirnya UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Sayang landreform yang menurut Bung Karno “bagian mutlak revolusi” ternoda konflik vertikal dan horizontal yang dipicu polarisasi ideologi massa-rakyat.Kelompok “kiri” pendukung landreform bersitegang dengan kelompok “kanan” penolak landreform. Stabilitas politik terguncang. Landreform era Bung Karno terhenti seiring pergantian rezim. Berbeda dengan Bung Karno, Soeharto tak menjadikan landreform sebagai agenda penting. Soeharto menempuh jalan pintas dengan mengadopsi Revolusi Hijau. Sepanjang 30 tahun landreform dimusuhi dan diberangus. Bahkan, para penganjurnya dicap ”kiri”.
Ketimpangan yang Nyata
Tap MPR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria (PA) dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) cukup pas menggambarkan kondisi keagrariaan hasil 30 tahun Orde Baru. Pertama, ketimpangan dalam kepemilikan dan penguasaan atas tanah dan kekayaan alam lainnya.Kedua, konflik penguasaan dan pengelolaan atas tanah dan kekayaan alam di berbagai daerah. Ketiga, peraturan yang terkait dengan agraria/sumber daya alam bersifat eksploratif,sektoral, sentralistis,lebih berpihak pada pemilik modal besar dan pemegang kekuasaan, serta tidak ada peng-aturan yang memadai untuk melindungi HAM dan hak-hak masyarakat adat/lokal.
Keempat, peraturan yang terkait dengan konservasi SDA tidak memberi jalan keluar yang diharapkan untuk pemulihan fungsi SDA sebagai landasan pengembangan ekonomi jangka panjang. Dampaknya sudah sama-sama kita rasakan.Tumpang-tindih peraturan membuat tidak jelasnya otoritas atas sumber daya alam (SDA) dan salah urus pengelolaan SDA.Akibatnya,terjadi pengerukan dan pengurasan SDA tanpa batas. Hutan produktif,hutan lindung dan lahan-lahan produktif dialihfungsikan.
Yang terjadi berikutnya degradasi tanah, kerusakan ekosistem dan merosotnya keanekaragaman hayati, meningkatnya pencemaran dan dampak lingkungan, dan meningkatnya pelanggaran HAM dan perampasan hak-hak masyarakat adat/lokal.Hasil akhirnya berupa kemiskinan mayoritas rakyat. Karena itu, ketika Presiden SBY pada 2006 hendak membagikan 8,15 juta hektar lahan untuk rakyat,ini menjadi oase kerinduan pada landreform.
Langkah itu diharapkan bisa mengeliminasi persoalan- persoalan struktural berupa tingginya pengangguran, kemiskinan, konsentrasi aset agraria pada segelintir orang, tingginya sengketa dan konflik pertanahan, rentannya ketahanan pangan dan energi,menurunnya kualitas lingkungan hidup,dan lemahnya akses sebagian besar masyarakat terhadap hak-hak dasar rakyat.
Secara ekonomi, landreform yang ditopang dengan program penunjang, seperti kredit, penyuluhan, latihan, pendidikan, teknologi, pemasaran, manajemen dan infrastruktur– yang dikenal dengan reforma agraria–akan membuat rakyat lebih berdaya, seperti terbukti di Jepang (Hayami, 1997) dan Zimbabwe (Waeterloos dan Rutherford,2004). Empat tahun berlalu, bahkan hingga setahun usia pemerintahan SBY-Boediono, janji tinggal janji.
Ketimpangan kepemilikan lahan dan konflik agraria tak berubah. Ketimpangan kepemilikan aset di negeri sangat akut: 56% aset nasional hanya dikuasai 0,2% dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional yang demikian besar hanya dikuasai 440 ribu orang.Nyaris tak berubah dalam 60 tahun terakhir (Mohammad Tauchid, 1952). Jika dilihat detil, konsentrasi aset itu, 62–87% berwujud tanah (Winoto, 2008). Menurut BPN (2007), ada 2.810 kasus tanah besar yang berbuah konflik, merugikan negarawarga. Nilai tanah yang tersandera sengketa mencapai Rp 1.000 triliun (Winoto,2008).
Mungkin karena ini, Presiden SBY menangis saat membagikan sertifikat tanah negara kepada 5.141 petani asal Cilacap pada Hari Agraria Nasional,21 Oktober 2010, di Istana Bogor. Menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto,pemerintah memerlukan 6 juta hektar untuk meningkatkan gini ratio penguasaan tanah rakyat yang berkeadilan sebesar 0,37. Saat ini pemerintah baru memperoleh 142.159 hektar tanah untuk dibagikan ulang.
Betapa besar senjang antara kebutuhan dan kenyataan. Mengapa ini terjadi? Tak lain karena selama pemerintahan SBY yang didorong hanya legalisasi kepemilikan lewat program LARASITA. Program ini sama sekali tak menyentuh persoalan agraria akut di negeri ini: ketimpangan distribusi kepemilikan lahan dan konflik agraria yang masif. Pembagian tanah kepada 5.141 petani Cilacap bukanlah kemurahan negara tapi hasil desakan dari bawah atau oleh rakyat (landreform by leverage).
Tanpa tekanan dari bawah, belum tentu tanah negara yang semula dikuasai swasta itu diberikan pada petani. Karena itu,sesungguhnya keberhasilan ini tidak bisa diklaim prestasimurni SBY lewat BPN.Gejala ini sesungguhnya menegaskan satu hal: sama sekali belum ada prestasi membanggakan di sektor agraria pada era SBY.
Yang terjadi sebaliknya, selama enam tahun berkuasa,SBY tidak membuat kebijakan korektif untuk mengatasi ketidakadilan agraria.Bahkan,melalui kebijakan dan perizinan yang dikeluarkan,seperti UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal,UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,dan UUNo. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara,SBYtelah berkontribusimengukuhkanketimpangan agraria yang terjadi.
Hanya Jargon
Keberhasilan reforma agraria setidaknya memerlukan enam syarat utama (Wiradi, 2000): adanya kemauan politik pemerintah, data yang lengkap dan teliti, organisasi rakyat yang kuat, elite penguasa yang terpisah dari elite bisnis,dari atas sampai ke bawah memahami pengetahuan elementer tentang agraria,dan didukung militer (dan polisi). Dari keenam syarat pokok itu, sebetulnya belum ada satu pun yang tersedia.Karena itulah,enam tahun era SBY reforma agraria tertatihtatih, naik-turun, dan jadi komoditas politik pencitraan.Tanpa kebijakan korektif radikal, reforma agraria hanya jadi jargon.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/361828/
Khudori
Pegiat
AEPI, anggota Pokja Ahli
Dewan Ketahanan Pang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya