Oleh:Sayfa Auliya Achidsti
Tumbangnya Orde Baru membawa angin segar demokrasi bagi rakyat Indonesia. Pemilu pertama dengan suara rakyat selepas masa Soeharto langsung diikuti oleh 48 partai politik (parpol). Keadaan tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sesudahnya; tahun 2004 diikuti oleh 24 parpol, dan tahun 2009 bertambah lagi menjadi 34 parpol.
Bagi sejumlah pihak, perjalanan demokrasi Indonesia, bagaimanapun, sudah merupakan sebuah perkembangan cukup baik; memang, benturan-benturan politik negara kita tidak sepanas negara yang sedang belajar demokrasi lainnya. Namun, bagi yang kontra, hal ini masih merupakan kelemahan, dalam hubungannya dengan etika politik para elit yang masih rendah.
Bersatu Melawan
Isu konfederasi untuk Pemilu 2014 telah terwacana dan sedang mengalami proses politiknya. Hal itu menjadi salah satu alternatif mengenai akan dibawa ke mana sistem demokrasi, mekanisme, dan tradisi berpolitik di Indonesia. Walaupun bukan ide baru, namun kemunculannya sekarang agaknya diuntungkan dengan adanya kejenuhan masyarakat akan sistem kepartaian.
Yang jadi persoalan adalah, jika kelak terbentuk, apa yang akan dilakukan oleh 'Konfederasi' selanjutnya? Apakah memang dimaksudkan untuk membentuk satu polar kekuatan politik demi rakyat banyak, atau tujuan lain? Isu ini mengingatkan pada kasus di Amerika Serikat tahun 1840-an: 'gerakan Know Nothing'.
Gerakan politik tersebut dibentuk sebagai reaksi salah satu kaum radikal atas adanya dominasi imigran Irlandia dan Jerman. Know Nothing dibentuk dalam rangka membendung imigran yang telah banyak merebut lapangan kerja dan posisi strategis bagi native (penduduk lama). Imigran dituding sebagai golongan yang merusak tatanan demokrasi, terlebih dengan kecenderungannya mendekat pada Partai Demokrat (Amerika).
Dengan intensifnya gerakan kaum yang 'tidak mengetahui apa-apa' ('know nothing') ini, pada akhirnya membuahkan hasil, dengan dukungan massa ekonomi lemah. Berbagai isu yang dihembuskan (agama, etnis, kewarganegaraan, ekonomi, dan demokrasi) begitu efektif menarik perhatian konstituen. Pada perkembangannya, gerakan massa—dengan nama resmi Partai Republik AS—ini meraih kemenangannya pada sejumlah pemilihan umum tahun 1850-an.
Dalam beberapa hal, wacana konfederasi parpol di Indonesia sekarang agaknya mirip dengan yang terjadi pada kasus Amerika hampir 2 abad silam tersebut: kekuatan politik sporadik berhadapan dengan sumberdaya besar.
Hal yang terjadi kemudian adalah, elemen sporadik melebur dalam satu gerakan baru. Cepatnya proses konsolidasi, pada tingkat elit, disebabkan oleh adanya persamaan kepentingan melawan dominasi imigran; dan, pada level konstituen, yang berkembang adalah isu populis massa mengambang.
Wacana konfederasi di negara kita, walaupun jelas tidak sama, namun serupa dengan kasus 'Know Nothing' dengan adanya satu kondisi, kejenuhan masyarakat atas tatanan yang dirasa tidak membawa dampak positif apapun. Pada tingkat elit, menandingi 'dominasi' lawan politik yang telah mapan menjadi landasan bersama; pada masyarakat menengah, penyederhanaan kepartaian dan perkembangan demokrasi menjadi isu menarik untuk meraih justifikasi; dan, pada level konstituen, adanya tampilan politik yang segar menjadi harapan akan adanya perubahan positif.
Komitmen Malu-malu
Kita punya pengalaman kepartaian masa Orde Baru dengan kebijakan fusi parpolnya. Beberapa kekuatan politik dilebur (fusi) menjadi dua parpol berbasis kaum nasionalis (PDI) dan agama (PPP), dan Golongan Karya. Dalam hal ini, ada sedikit perbedaan antara konfederasi dengan sistem fusi, di mana fusi lebih pada peleburan beberapa parpol dalam satu bentuk baru. Namun, konfederasi lebih condong sebagai kesepakatan membentuk satu gerakan politik, tanpa melebur dalam bentuk baru.
Beberapa kerumitan menjadi persoalan kemudian. Bedanya Know Nothing, pada awal pembentukannya, memang sudah terwacanakan kecenderungannya sebagai satu bentuk parpol. Lalu, apa yang dilakukan 'Konfederasi' pada saat dan setelah Pemilu kelak; dan bagaimana kekuatan politiknya jika masing-masing tetap dalam eksistensi lamanya itu?
Pertama, yang menjadi soal adalah komitmen parpol terhadap kepentingan masyarakat. Bentuk konfederasi, tanpa lebur, lebih terlihat sebagai konsolidasi elit mengumpulkan suara demi kursi parlemen. Lalu, mengapa tidak dari awal saja berkomitmen untuk membentuk satu parpol baru? Dengan demikian, tentu akan lebih menampilkan komitmen dalam membentuk tatanan baru; dan, akan mudah dinilai konstituen dalam pertanggungjawabannya sebagai sebuah parpol.
Kedua, konfederasi, yang mungkin akan ternaungi atas nama satu parpol motor konfederasi, tidak cukup menjamin stabilnya kepercayaan konstituen. Perbedaan platform antarparpol dan basisnya, memunculkan kemungkinan bahwa konstituen justru tidak memilihnya. Mungkin saja Gerindra dengan sumberdayanya memang dapat menggaet 6 parpol, bahkan, dengan rencananya 9 parpol. Namun, belum tentu basis massa parpol anggota serta-merta dapat dimobilisasi dengan mudah.
Munculnya kemungkinan akan adanya konfederasi berbasiskan agama pun membuat adanya persoalan ketiga, yaitu politik berbasis agama (sektarianisme). PAN, yang menjadi salah satu parpol pengusung ide konfederasi, bisa memiliki kecenderungan paling besar dalam pembentukan kutub politik berbasis agama. Namun, sekarang tampaknya bukan saatnya lagi untuk mengulang sejarah 'Poros Tengah'.
Perkembangan etika dan pengetahuan politik masyarakat akan dipertaruhkan jika yang terjadi kemudian adalah pengumpulan suara dengan isu keagamaan. Hal itu akan membentuk sebuah kondisi politik tidak sehat dan irasional. Politik semacam itu terjadi sebelum era reformasi, tidak perlu ada lagi. Hal keempat adalah, apa kiranya manuver yang akan dilakukan oleh kekuatan politik lainnya?
Tidak menutup kemungkinan parpol besar lain juga saling merapat sebagai antisipasi. Hal ini membikin kondisi yang sama saja; lawan yang dilawan semakin kuat. Ide “asimilasi parpol” ala Partai Demokrat (Indonesia) menjadi gejala yang cukup mudah dilihat. Belum lagi persoalan administratif lain seputar mekanisme dan prosedur pemilu dan setelahnya, RUU Pemilu 2014 misalnya, dalam kaitannya dengan bentuk konfederasi ini.
Kalau begini, tanggapan klasik lagi-lagi muncul, 'Inilah proses berkembangnya demokrasi pada suatu negara'. Memang tidak ada salahnya mencoba bentuk baru dalam rangka perkembangan dan reformasi politik. Namun, kita seharusnya dapat membaca pengalaman kita dan kasus-kasus di negara lain untuk memahami dan mempelajarinya demi kebaikan kita di masa depan. Di masanya, Machiavelli dan Marx secara konsisten memang pernah bilang bahwa apapun dapat dilakukan untuk mereformasi tatanan; namun, Mahatma Gandhi dan Abdurrahman Wahid juga dhawuh, bahwa perubahan oleh elit harus dilakukan dengan pikiran jernih dan demi orang banyak! Perubahan bukan hanya demi perubahan itu sendiri sebab kejenuhan. Hal itu justru tampak seperti frustrasi para outsiders.
Lalu, bagaimana? Satu hal yang sepatutnya menjadi dasar aktivitas politik. Bukan efisiensi dan efektivitas, atau kepraktisan dan biaya; namun dampak positif yang jelas bagi pewujudan kebutuhan masyarakat banyak, itulah yang harusnya menjadi prioritas!
*) Sayfa Auliya Achidsti adalah staf LESBUMI Yogyakarta, peneliti.
Sumber :http://www.detiknews.com/read/2010/11/18/081001/1496387/103/perubahan-atau-frustrasi-politik
Tumbangnya Orde Baru membawa angin segar demokrasi bagi rakyat Indonesia. Pemilu pertama dengan suara rakyat selepas masa Soeharto langsung diikuti oleh 48 partai politik (parpol). Keadaan tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sesudahnya; tahun 2004 diikuti oleh 24 parpol, dan tahun 2009 bertambah lagi menjadi 34 parpol.
Bagi sejumlah pihak, perjalanan demokrasi Indonesia, bagaimanapun, sudah merupakan sebuah perkembangan cukup baik; memang, benturan-benturan politik negara kita tidak sepanas negara yang sedang belajar demokrasi lainnya. Namun, bagi yang kontra, hal ini masih merupakan kelemahan, dalam hubungannya dengan etika politik para elit yang masih rendah.
Bersatu Melawan
Isu konfederasi untuk Pemilu 2014 telah terwacana dan sedang mengalami proses politiknya. Hal itu menjadi salah satu alternatif mengenai akan dibawa ke mana sistem demokrasi, mekanisme, dan tradisi berpolitik di Indonesia. Walaupun bukan ide baru, namun kemunculannya sekarang agaknya diuntungkan dengan adanya kejenuhan masyarakat akan sistem kepartaian.
Yang jadi persoalan adalah, jika kelak terbentuk, apa yang akan dilakukan oleh 'Konfederasi' selanjutnya? Apakah memang dimaksudkan untuk membentuk satu polar kekuatan politik demi rakyat banyak, atau tujuan lain? Isu ini mengingatkan pada kasus di Amerika Serikat tahun 1840-an: 'gerakan Know Nothing'.
Gerakan politik tersebut dibentuk sebagai reaksi salah satu kaum radikal atas adanya dominasi imigran Irlandia dan Jerman. Know Nothing dibentuk dalam rangka membendung imigran yang telah banyak merebut lapangan kerja dan posisi strategis bagi native (penduduk lama). Imigran dituding sebagai golongan yang merusak tatanan demokrasi, terlebih dengan kecenderungannya mendekat pada Partai Demokrat (Amerika).
Dengan intensifnya gerakan kaum yang 'tidak mengetahui apa-apa' ('know nothing') ini, pada akhirnya membuahkan hasil, dengan dukungan massa ekonomi lemah. Berbagai isu yang dihembuskan (agama, etnis, kewarganegaraan, ekonomi, dan demokrasi) begitu efektif menarik perhatian konstituen. Pada perkembangannya, gerakan massa—dengan nama resmi Partai Republik AS—ini meraih kemenangannya pada sejumlah pemilihan umum tahun 1850-an.
Dalam beberapa hal, wacana konfederasi parpol di Indonesia sekarang agaknya mirip dengan yang terjadi pada kasus Amerika hampir 2 abad silam tersebut: kekuatan politik sporadik berhadapan dengan sumberdaya besar.
Hal yang terjadi kemudian adalah, elemen sporadik melebur dalam satu gerakan baru. Cepatnya proses konsolidasi, pada tingkat elit, disebabkan oleh adanya persamaan kepentingan melawan dominasi imigran; dan, pada level konstituen, yang berkembang adalah isu populis massa mengambang.
Wacana konfederasi di negara kita, walaupun jelas tidak sama, namun serupa dengan kasus 'Know Nothing' dengan adanya satu kondisi, kejenuhan masyarakat atas tatanan yang dirasa tidak membawa dampak positif apapun. Pada tingkat elit, menandingi 'dominasi' lawan politik yang telah mapan menjadi landasan bersama; pada masyarakat menengah, penyederhanaan kepartaian dan perkembangan demokrasi menjadi isu menarik untuk meraih justifikasi; dan, pada level konstituen, adanya tampilan politik yang segar menjadi harapan akan adanya perubahan positif.
Komitmen Malu-malu
Kita punya pengalaman kepartaian masa Orde Baru dengan kebijakan fusi parpolnya. Beberapa kekuatan politik dilebur (fusi) menjadi dua parpol berbasis kaum nasionalis (PDI) dan agama (PPP), dan Golongan Karya. Dalam hal ini, ada sedikit perbedaan antara konfederasi dengan sistem fusi, di mana fusi lebih pada peleburan beberapa parpol dalam satu bentuk baru. Namun, konfederasi lebih condong sebagai kesepakatan membentuk satu gerakan politik, tanpa melebur dalam bentuk baru.
Beberapa kerumitan menjadi persoalan kemudian. Bedanya Know Nothing, pada awal pembentukannya, memang sudah terwacanakan kecenderungannya sebagai satu bentuk parpol. Lalu, apa yang dilakukan 'Konfederasi' pada saat dan setelah Pemilu kelak; dan bagaimana kekuatan politiknya jika masing-masing tetap dalam eksistensi lamanya itu?
Pertama, yang menjadi soal adalah komitmen parpol terhadap kepentingan masyarakat. Bentuk konfederasi, tanpa lebur, lebih terlihat sebagai konsolidasi elit mengumpulkan suara demi kursi parlemen. Lalu, mengapa tidak dari awal saja berkomitmen untuk membentuk satu parpol baru? Dengan demikian, tentu akan lebih menampilkan komitmen dalam membentuk tatanan baru; dan, akan mudah dinilai konstituen dalam pertanggungjawabannya sebagai sebuah parpol.
Kedua, konfederasi, yang mungkin akan ternaungi atas nama satu parpol motor konfederasi, tidak cukup menjamin stabilnya kepercayaan konstituen. Perbedaan platform antarparpol dan basisnya, memunculkan kemungkinan bahwa konstituen justru tidak memilihnya. Mungkin saja Gerindra dengan sumberdayanya memang dapat menggaet 6 parpol, bahkan, dengan rencananya 9 parpol. Namun, belum tentu basis massa parpol anggota serta-merta dapat dimobilisasi dengan mudah.
Munculnya kemungkinan akan adanya konfederasi berbasiskan agama pun membuat adanya persoalan ketiga, yaitu politik berbasis agama (sektarianisme). PAN, yang menjadi salah satu parpol pengusung ide konfederasi, bisa memiliki kecenderungan paling besar dalam pembentukan kutub politik berbasis agama. Namun, sekarang tampaknya bukan saatnya lagi untuk mengulang sejarah 'Poros Tengah'.
Perkembangan etika dan pengetahuan politik masyarakat akan dipertaruhkan jika yang terjadi kemudian adalah pengumpulan suara dengan isu keagamaan. Hal itu akan membentuk sebuah kondisi politik tidak sehat dan irasional. Politik semacam itu terjadi sebelum era reformasi, tidak perlu ada lagi. Hal keempat adalah, apa kiranya manuver yang akan dilakukan oleh kekuatan politik lainnya?
Tidak menutup kemungkinan parpol besar lain juga saling merapat sebagai antisipasi. Hal ini membikin kondisi yang sama saja; lawan yang dilawan semakin kuat. Ide “asimilasi parpol” ala Partai Demokrat (Indonesia) menjadi gejala yang cukup mudah dilihat. Belum lagi persoalan administratif lain seputar mekanisme dan prosedur pemilu dan setelahnya, RUU Pemilu 2014 misalnya, dalam kaitannya dengan bentuk konfederasi ini.
Kalau begini, tanggapan klasik lagi-lagi muncul, 'Inilah proses berkembangnya demokrasi pada suatu negara'. Memang tidak ada salahnya mencoba bentuk baru dalam rangka perkembangan dan reformasi politik. Namun, kita seharusnya dapat membaca pengalaman kita dan kasus-kasus di negara lain untuk memahami dan mempelajarinya demi kebaikan kita di masa depan. Di masanya, Machiavelli dan Marx secara konsisten memang pernah bilang bahwa apapun dapat dilakukan untuk mereformasi tatanan; namun, Mahatma Gandhi dan Abdurrahman Wahid juga dhawuh, bahwa perubahan oleh elit harus dilakukan dengan pikiran jernih dan demi orang banyak! Perubahan bukan hanya demi perubahan itu sendiri sebab kejenuhan. Hal itu justru tampak seperti frustrasi para outsiders.
Lalu, bagaimana? Satu hal yang sepatutnya menjadi dasar aktivitas politik. Bukan efisiensi dan efektivitas, atau kepraktisan dan biaya; namun dampak positif yang jelas bagi pewujudan kebutuhan masyarakat banyak, itulah yang harusnya menjadi prioritas!
*) Sayfa Auliya Achidsti adalah staf LESBUMI Yogyakarta, peneliti.
Sumber :http://www.detiknews.com/read/2010/11/18/081001/1496387/103/perubahan-atau-frustrasi-politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya