Oleh: Bambang PS Brodjonegoro
MENJADI salah satu perekonomian yang dianggap tahan banting selama krisis keuangan global 2008– 2009 dan berpotensi tumbuh cukup tinggi (di atas 6%) pada masa pemulihan krisis, ternyata bukan tanpa risiko.
Sebagai anggota G-20, Indonesia memang mulai dianggap sebagai salah satu perekonomian yang pantas dikategorikan sebagai emerging economy dengan masa depan menjanjikan. Semua hal yang berkonotasi positif, menjanjikan,dan memberi harapan cerah,tentunya akan menjadikan Indonesia mempunyai daya tarik investasi yang kuat.
Namun, pada saat yang sama risiko mengintai karena pada masa pemulihan krisis keuangan global yang ternyata tidak berlangsung mulus dan cepat, pergerakan uang di dunia menjadi lebih terfokus pada emerging economydan untuk sementara menjauhi perekonomian Amerika Serikat (AS),Eropa,dan Jepang. Aliran modal asing ke Indonesia tentunya sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi perekonomian itu sendiri.
Terbatasnya sumber pembiayaan domestik bisa diatasi dengan aliran modal asing tersebut dan bahkan biaya modal sektor keuangan Indonesia menjadi lebih murah karena pasokan dana yang cukup banyak.Aliran modal asing juga berperan menciptakan sentimen positif pada pasar uang dan pasar modal Indonesia. Kegairahan aliran modal masuk tersebut pada saat yang sama dibarengi dengan kekhawatiran apabila modal kemudian keluar begitu saja dari perekonomian Indonesia dalam waktu singkat dan bersamaan.
Diskusi mengenai hot money kemudian muncul ke permukaan karena banyak pihak khawatir,fenomena saat ini bukanlah kondisi yang nyata dan nyaman, melainkan semu dan penuh bahaya. Referensi mereka cukup jelas yaitu krisis keuangan Amerika Latin pada tahun 80-an serta krisis keuangan Asia 1998. Di kedua krisis tersebut, aliran modal masuk (capital inflow) ternyata berperan penting memuluskan terjadinya krisis.
Yang tidak boleh dilupakan, bagaimana ekonomi Indonesia yang mengalami booming pada periode 1990–1996, tumbang oleh kontraksi sebesar 13% produk domestik bruto (PDB) pada 1998. Krisis ekonomi hebat yang dialami Indonesia pada 1998 diawali oleh pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, rata-rata di atas 7% per tahun. Sebagai salah satu calon kuat “Macan Asia”, Indonesia dibanjiri modal asing dalam bentuk investasi langsung (FDI) dan investasi portofolio.
Kita semua masih ingat yang kemudian terjadi adalah bubble economy, di mana aset sektor keuangan melaju jauh di atas sektor riil. Dengan pengalaman pahit seperti tahun 1998 dan tren berlangsungnya aliran modal asing yang masuk dengan deras akhir-akhir ini, tentunya nasihat yang bisa diberikan adalah jangan mengulang kesalahan yang sama.
Wacana pembatasan atau pengaturan capital inflow mengemuka melihat makin kuatnya peran modal asing di pasar saham yang sekaligus menjadikan bursa Indonesia sebagai salah satu yang paling menjanjikan di Asia Timur. Di sisi lain trauma dari terjadinya aliran modal keluar besar-besaran di tahun 1998 masih kuat membekas di sebagian besar pelaku ekonomi dan mereka tidak ingin bursa Indonesia menjadi lunglai seperti pada periode krisis keuangan Asia tersebut.
Mudahnya modal asing masuk dan keluar perekonomian Indonesia juga berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi makro serta menciptakan volatilitas nilai tukar rupiah. Pertanyaan yang muncul adalah, perlukah Indonesia segera menerapkan pengaturan aliran modal masuk? Kemudian instrumen atau kebijakan apa yang paling tepat untuk penerapan hal tersebut?
Dibandingkan kondisi 1998, ada salah satu instrumen penting peredam dampak aliran modal masuk, yaitu sistem keuangan dan perbankan domestik yang kuat, yang belum tercipta ketika krisis 1998 terjadi.Belajar dari krisis tersebut, Indonesia telah relatif berhasil membangun dan menjaga sistem keuangan dan perbankan yang prudentdan kuat sehingga ketika terjadi krisis keuangan global 2008, praktis tidak ada dampak negatif yang dihasilkan.
Sebuah artikel yang ditulis oleh sekelompok analis IMF (Ostry et al, 2010) mencoba menjelaskan prasyarat dan tahapan yang harus dilewati suatu negara sebelum memilih menjalankan kebijakan pembatasan aliran masuk modal asing.Kebijakannya sendiri adalah kombinasi dari kebijakan moneter, fiskal,nilai tukar,intervensi bank sentral, peraturan perbankan, dan pembatasan capital.
Kombinasi kebijakan di atas akan sangat tergantung pada kondisi perekonomian saat itu dilihat dari apakah perekonomian sudah mendekati kondisi potensialnya, keperluan menambah cadangan devisa, kualitas dari peraturan perbankan dan keuangan,pergerakan nilai tukar, serta permanen tidaknya aliran modal masuk itu sendiri. Artikel tersebut menyimpulkan, apabila perekonomian sudah mendekati kondisi potensialnya, tingkat cadangan devisa sudah memadai, nilai tukar tidak undervalued,
dan kebanyakan modal masuk bersifat sementara (bukan permanen), maka pengenaan pembatasan kapital (capital control) masih dimungkinkan sebagai bagian dari kombinasi kebijakan di atas. Melihat kondisi saat ini dan ke depan,bisa dikatakan, bahwa perekonomian Indonesia masih jauh dari kondisi potensialnya sedangkan cadangan devisa masih harus ditambah. Kualitas dari peraturan perbankan dan implementasinya cukup baik apabila dilihat kinerja selama krisis keuangan global.
Nilai tukar rupiah saat ini cenderung overvalued,sedangkan modal asing yang mengalir masuk mungkin lebih banyak yang sementara dibandingkan permanen. Dari prasyarat kondisi tersebut maka pembatasan capital dalam pengertian ekstrem belum perlu diberlakukan di Indonesia. Namun, mencermati masih derasnya aliran modal asing yang bersifat sementara, Indonesia mungkin perlu melakukan kebijakan untuk “memperpanjang”umur pergerakan modal asing tersebut di dalam perekonomian Indonesia.
Apa yang sudah dilakukan Bank Indonesia (BI) dengan memperpanjang batas minimal tenor untuk promissory notes dan deposito berjangka dapat dianggap sebagai langkah awal mencegah pelarian modal mendadak keluar perekonomian Indonesia. Apabila dirasa kurang ampuh, perlu dipertimbangkan strategi untuk membuat modal asing tersebut lebih mahal dibanding modal domestik tanpa harus menciptakan ekonomi biaya tinggi dengan tingkat pinjaman rata-rata yang tinggi.
Selain itu,perlu diciptakan insentif pada saat yang sama untuk mengalihkan modal asing yang berbentuk utang (debt) menjadi modal (equity). Upaya pengendalian aliran masuk modal asing tersebut tentunya tetap harus memperhatikan kepentingan perekonomian, termasuk daya saing ekspor, inflasi, dan kebijakan fiskal. Jangan sampai terjadi upaya pengendalian berlebihan yang mengganggu ekspor, menciptakan inflasi yang tinggi, ataupun memaksa pemerintah berutang lebih banyak.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/361643/38/
BAMBANG PS BRODJONEGORO
Guru Besar FE Universitas Indonesia
MEDIA KOMUNIKASI KOMUNITAS ALUMNI POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Lowongan Kepala Afdeling
Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...
-
INCASI RAYA Group Kami perusahaan swasta nasional dengan areal 250.000 ha dengan alamat kantor pusat di Jl. Raya By Pass Km 6 Lubuk Begalung...
-
PT. Kirana Megatara ( subsidiary company of Triputra Group ) yang lokasi head office -nya berada di kawasan Lingkar Mega Kuningan, Jakart...
-
DIBUTUHKAN SEGERA ASISTEN WATER MANAGEMENT SYSTEM (WMS) Kualifikasi: Pria, Usia Maks 35 thn untuk yang sudah berpengalaman,...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya