Oleh: Reza Syawawi
Pengelolaan anggaran negara memasuki fase yang sangat mengkhawatirkan, bahkan telah sampai pada titik kritis. Anggaran publik yang seharusnya digunakan dan dikembalikan untuk kepentingan publik justru digunakan oleh episentrum kekuasaan pemilik kuasa atas anggaran secara zalim. Adalah DPR dan pemerintah yang menjadi "aktor utama" dibalik amburadulnya pengelolaan anggaran negara.
Data yang dilansir FITRA menyebutkan besaran anggaran yang digunakan untuk membiayai perjalanan dinas ke luar negeri oleh DPR dan pemerintah mencapai angka 19.5 Triliun (20/9). Angka ini berbanding terbalik dengan pos anggaran yang digunakan untuk membiayai kebutuhan publik secara langsung, sebut saja anggaran Jaminan Kesehatan Masyarakat yang hanya berkisar 4,5 triliun. Ada upaya "manipulasi sistemik" yang dilakukan untuk menggerogoti dana publik melalui kebijakan yang sebetulnya tidak memberikan manfaat bagi kepentingan publik itu sendiri. Kecaman dari berbagai pihak tidak menyurutkan langkah para "penguasa negara" untuk menghentikan pemborosan anggaran yang menghabiskan dana publik. Yang muncul justru perlawanan dan sikap resisten terhadap koreksi atas perilaku buruk mereka.
Sarang Korupsi
Kekhawatiran publik bukannya tanpa alasan, perjalanan dinas yang dilakukan ditengarai tidak mencantumkan indikator yang jelas baik mengenai urgensinya sampai kepada pertanggungjawabannya. Situasi semacam ini dapat berpotensi dan mengarah kepada pemborosan dana publik. Perjalanan dinas para pejabat negara sering kali tidak menunjang kinerja mereka, hal ini didasarkan karena tidak memiliki ukuran yang jelas sejauh mana perjalanan dinas diperlukan untuk menunjang kinerja. Sebaliknya, evaluasi terhadap perjalanan dinas itu sendiri hampir dipastikan tidak ada. Alhasil, setiap tahun anggaran dana perjalanan dinas menjadi bagian yang memakan porsi anggaran yang besar. Bahkan, setiap tahun biaya perjalanan dinas mengalami peningkatan yang luar biasa.
Praktik semacam ini tidak hanya menyakitkan bagi publik, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara. Penggunaan dana publik seyogianya menganut prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang secara jelas dan tegas diatur dalam UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Penerapan prinsip tranparansi dalam perencanaan anggaran selama ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Ada rezim ketertutupan yang sengaja dipelihara. Munculnya dana-dana "siluman" yang tidak diketahui ujung pangkalnya menjadi sesuatu yang lumrah di kalangan pengambil kebijakan. Perencanaan yang tertutup dan amburadul akhirnya berimbas kepada akuntabilitas yang sangat rendah. Pendekatan yang digunakan bukan lagi pendekatan kinerja, melainkan hanya menjadi ajang untuk menghambur-hamburkan dana publik. Kondisi semacam ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip pengelolaan dana publik, tetapi juga mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Ada kebijakan yang melegalkan penggunaan dana publik yang secara substansi adalah perbuatan korupsi. Unsur kerugian keuangan negara harus dimaknai sejauh mana penggunaan dana publik menghasilkan sesuatu yang konkret dan jelas. Jika hal ini tidak terpenuhi, kerugian keuangan negara menjadi hal yang tak terbantahkan.
Kondisi ini semakin menggambarkan potret Indonesia yang sesungguhnya. Survei yang dirilis Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada Maret 2010 yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup kedua setelah India di kawasan Asia Pasifik setidaknya memperjelas hal tersebut.
Bahkan, berdasarkan Global Corruption Barometer (GCB) Transparency International, pada 2009, menempatkan lembaga legislatif (DPR) sebagai lembaga terkorup dengan skor 4,4. Kondisi ini lebih parah dari tahun sebelumnya (2008) yang memperoleh skor 4,1. Fakta ini jelas memalukan, tapi yang terjadi justru sebaliknya. DPR dan pemerintah tidak menjadikan hal ini sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki kebobrokan dan citra buruk sebagai lembaga paling korup.
Kanker Anggaran
Secara hukum, pengambilan keputusan dalam penganggaran (budgeting) memang berada di bawah kekuasaan DPR. Sementara itu, pemerintah juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses tersebut. Akibatnya, kedua lembaga inilah yang berhak menentukan penggunaan dana publik melalui penyusunan anggaran yang dilakukan setiap tahun.
Kekuasaan yang begitu besar serta proses penganggaran yang sangat buruk dan cenderung tertutup menjadikan kedua lembaga ini sebagai aktor utama dalam penyalahgunaan dana-dana publik melalui kebijakan yang dilegalkan, seperti alokasi dana perjalanan dinas ke luar negeri yang minim pertanggungjawaban. Agaknya dalil yang pernah diungkapkan oleh Lord Acton bahwa setiap kekuasaan cenderung disalahgunakan, apalagi kekuasaan yang absolut sudah pasti (absolutely) akan disalahgunakan menjadi kenyataan pahit dalam pengelolaan dana publik.
Problem penganggaran seperti ini ibarat penyakit "kanker" yang telah menjalar hingga ke setiap proses yang dilaluinya. Jika DPR dan pemerintah sadar akan "penyakit" ini, tindakan untuk mengevaluasi penggunaan anggaran penting untuk dilakukan. Jangan sampai rakyat yang akan mengambil tindakan untuk "mengamputasi" kewajiban mereka kepada negara karena perilaku zalim penguasa dalam pengelolaan anggaran.
URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/122189/Kezaliman_Pengelolaan_Anggaran
Reza Syawawi
Peneliti Hukum dan Kebijakan TII
Pengelolaan anggaran negara memasuki fase yang sangat mengkhawatirkan, bahkan telah sampai pada titik kritis. Anggaran publik yang seharusnya digunakan dan dikembalikan untuk kepentingan publik justru digunakan oleh episentrum kekuasaan pemilik kuasa atas anggaran secara zalim. Adalah DPR dan pemerintah yang menjadi "aktor utama" dibalik amburadulnya pengelolaan anggaran negara.
Data yang dilansir FITRA menyebutkan besaran anggaran yang digunakan untuk membiayai perjalanan dinas ke luar negeri oleh DPR dan pemerintah mencapai angka 19.5 Triliun (20/9). Angka ini berbanding terbalik dengan pos anggaran yang digunakan untuk membiayai kebutuhan publik secara langsung, sebut saja anggaran Jaminan Kesehatan Masyarakat yang hanya berkisar 4,5 triliun. Ada upaya "manipulasi sistemik" yang dilakukan untuk menggerogoti dana publik melalui kebijakan yang sebetulnya tidak memberikan manfaat bagi kepentingan publik itu sendiri. Kecaman dari berbagai pihak tidak menyurutkan langkah para "penguasa negara" untuk menghentikan pemborosan anggaran yang menghabiskan dana publik. Yang muncul justru perlawanan dan sikap resisten terhadap koreksi atas perilaku buruk mereka.
Sarang Korupsi
Kekhawatiran publik bukannya tanpa alasan, perjalanan dinas yang dilakukan ditengarai tidak mencantumkan indikator yang jelas baik mengenai urgensinya sampai kepada pertanggungjawabannya. Situasi semacam ini dapat berpotensi dan mengarah kepada pemborosan dana publik. Perjalanan dinas para pejabat negara sering kali tidak menunjang kinerja mereka, hal ini didasarkan karena tidak memiliki ukuran yang jelas sejauh mana perjalanan dinas diperlukan untuk menunjang kinerja. Sebaliknya, evaluasi terhadap perjalanan dinas itu sendiri hampir dipastikan tidak ada. Alhasil, setiap tahun anggaran dana perjalanan dinas menjadi bagian yang memakan porsi anggaran yang besar. Bahkan, setiap tahun biaya perjalanan dinas mengalami peningkatan yang luar biasa.
Praktik semacam ini tidak hanya menyakitkan bagi publik, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara. Penggunaan dana publik seyogianya menganut prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang secara jelas dan tegas diatur dalam UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Penerapan prinsip tranparansi dalam perencanaan anggaran selama ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Ada rezim ketertutupan yang sengaja dipelihara. Munculnya dana-dana "siluman" yang tidak diketahui ujung pangkalnya menjadi sesuatu yang lumrah di kalangan pengambil kebijakan. Perencanaan yang tertutup dan amburadul akhirnya berimbas kepada akuntabilitas yang sangat rendah. Pendekatan yang digunakan bukan lagi pendekatan kinerja, melainkan hanya menjadi ajang untuk menghambur-hamburkan dana publik. Kondisi semacam ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip pengelolaan dana publik, tetapi juga mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Ada kebijakan yang melegalkan penggunaan dana publik yang secara substansi adalah perbuatan korupsi. Unsur kerugian keuangan negara harus dimaknai sejauh mana penggunaan dana publik menghasilkan sesuatu yang konkret dan jelas. Jika hal ini tidak terpenuhi, kerugian keuangan negara menjadi hal yang tak terbantahkan.
Kondisi ini semakin menggambarkan potret Indonesia yang sesungguhnya. Survei yang dirilis Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada Maret 2010 yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup kedua setelah India di kawasan Asia Pasifik setidaknya memperjelas hal tersebut.
Bahkan, berdasarkan Global Corruption Barometer (GCB) Transparency International, pada 2009, menempatkan lembaga legislatif (DPR) sebagai lembaga terkorup dengan skor 4,4. Kondisi ini lebih parah dari tahun sebelumnya (2008) yang memperoleh skor 4,1. Fakta ini jelas memalukan, tapi yang terjadi justru sebaliknya. DPR dan pemerintah tidak menjadikan hal ini sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki kebobrokan dan citra buruk sebagai lembaga paling korup.
Kanker Anggaran
Secara hukum, pengambilan keputusan dalam penganggaran (budgeting) memang berada di bawah kekuasaan DPR. Sementara itu, pemerintah juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses tersebut. Akibatnya, kedua lembaga inilah yang berhak menentukan penggunaan dana publik melalui penyusunan anggaran yang dilakukan setiap tahun.
Kekuasaan yang begitu besar serta proses penganggaran yang sangat buruk dan cenderung tertutup menjadikan kedua lembaga ini sebagai aktor utama dalam penyalahgunaan dana-dana publik melalui kebijakan yang dilegalkan, seperti alokasi dana perjalanan dinas ke luar negeri yang minim pertanggungjawaban. Agaknya dalil yang pernah diungkapkan oleh Lord Acton bahwa setiap kekuasaan cenderung disalahgunakan, apalagi kekuasaan yang absolut sudah pasti (absolutely) akan disalahgunakan menjadi kenyataan pahit dalam pengelolaan dana publik.
Problem penganggaran seperti ini ibarat penyakit "kanker" yang telah menjalar hingga ke setiap proses yang dilaluinya. Jika DPR dan pemerintah sadar akan "penyakit" ini, tindakan untuk mengevaluasi penggunaan anggaran penting untuk dilakukan. Jangan sampai rakyat yang akan mengambil tindakan untuk "mengamputasi" kewajiban mereka kepada negara karena perilaku zalim penguasa dalam pengelolaan anggaran.
URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/122189/Kezaliman_Pengelolaan_Anggaran
Reza Syawawi
Peneliti Hukum dan Kebijakan TII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya