Senin, 08 November 2010

Memimpin dengan Keluhuran

Oleh: Sukardi Rinakit



Hormat saya kepada Wali Kota Surakarta Joko Widodo dan Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, yang minggu lalu menerima Bung Hatta Anti Corruption Award. Sekali lagi, mereka membenarkan hipotesis saya selama ini, yaitu masih banyak tokoh lokal yang luar biasa (local geniuses) di Republik ini. Mereka tersebar dari Merauke sampai Sabang.

Dengan kesederhanaan, semangat, ketegasan, dan tutur kata yang lembut, mereka mampu menjadikan sebagian besar warganya mesem. Cukup pangan, sandang, papan, serta biaya pendidikan dan kesehatan terjangkau. Di wilayah mereka, praktik korupsi sulit mencari pintu. Semua proses birokrasi cepat, transparan, dan akuntabel.

Oleh sebab itu, jika menengok Emak di Madiun, saya suka turun di Yogyakarta. Mampir sejenak di toko batik milik Herry Zudianto. Dengan membeli batiknya, saya selalu berharap dia akan memerintah dengan bersih. Setelah itu ke Solo, makan pecel. Ini selalu saya niatkan untuk menghormati Joko Widodo. Baru kemudian melaju ke timur.

Kehancuran karakter

Kepemimpinan yang ditunjukkan oleh tokoh lokal itu, jika ditambah dengan loyalitas dan kesetiaan Mbah Maridjan dalam melaksanakan tugas, terciptalah keluhuran kepemimpinan. Namun, patut disayangkan, di tingkat nasional yang terjadi justru kehancuran karakter kepemimpinan. Sulit mencari sosok politisi, baik di eksekutif maupun legislatif, yang setia memanggul kebajikan. Semua cenderung bersetia pada pragmatisme politik. Keuntungan ekonomi dan politik jangka pendek adalah muara akhirnya.

Itulah salah satu alasan yang paling masuk akal ketika kita dihadapkan pada lambannya pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara lain di kawasan. Gerak kita seperti siput. Optimisme publik lemah. Sementara negara lain, seperti Filipina, Thailand, Singapura, Malaysia, India, dan China, melompat laksana katak. Kita hanya mampu menjaring remah-remah dari gelora optimisme yang terjadi di kawasan dewasa ini.

Ironisnya adalah para elite sudah merasa melakukan segalanya untuk Republik. Padahal, tidak ada gerak yang secara signifikan bisa dibanggakan. Jika ada klaim korupsi dan efisiensi membaik secara dramatis, data sandingan bisa meragukan klaim itu.

Misalnya, indeks korupsi yang dilansir oleh Transparency International tahun ini tak beda dengan tahun lalu. Bahkan, menurut kajian Prof Suharyadi (2010), inefisiensi saat ini mencapai 58 persen. Padahal, semasa Orde Baru, seperti pernah dilansir Prof Sumitro Djojohadikusumo, inefisiensi ”hanya” 30 persen. Dilihat dari kenaikan angka APBN, kini untuk menciptakan satu lapangan kerja diperlukan lebih dari Rp 58 juta. Padahal, dulu hanya sekitar Rp 6 juta.

Di tengah kampanye keberhasilan yang ternyata tidak mampu membangkitkan optimisme publik itu, eksekusi pemerintah serba tanggung. Contoh terakhir adalah pembagian tanah seluas 400 meter persegi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada 5.141 keluarga petani di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, pada peringatan Hari Agraria Nasional. Siapa pun tahu, untuk bisa bertahan hidup (subsisten), keluarga petani harus mempunyai tanah minimum setengah hektar (2.500 meter persegi). Jadi, pemberian tanah seluas 400 meter persegi itu sama sekali tidak menjawab persoalan hidup mereka.

Kebijakan yang serba tanggung itu akhirnya memperkuat stigma, setiap langkah pemerintah dinilai tidak lebih dari sekadar menebar citra. Rasa haru Presiden terhadap korban bencana alam di Wasior dan Mentawai pun, yang saya percaya Presiden tulus adanya, dijadikan omongan di warung kopi, sebatas keharuan pencitraan yang miskin keluhuran. Keharuan Presiden, mereka nilai bukan seperti keharuan Mbah Maridjan yang totalitas sehingga menjelma menjadi ketabahan dan doa keselamatan bagi penduduk di sekitar lereng Gunung Merapi.

Di sisi lain, perilaku anggota Dewan juga banyak yang miskin keluhuran politik. Ini melukai hati rakyat. Bukan hanya urusan dana aspirasi, pembangunan gedung, dan renovasi rumah, tetapi juga studi banding ke luar negeri. Bagi orang yang mau berpikir sedikit saja, logika studi banding kadang memang kurang nyambung. Misalnya, studi soal etika ke Yunani. Negara itu bangkrut, pemerintah dan parlemennya korup; jadi etika apa yang akan dipelajari? Dari sisi karakter dan etika, nilai Mbah Maridjan jauh lebih tinggi dibandingkan Yunani.

Catatan penutup

Jika mengamati perilaku politik elite nasional saat ini, yang kekuasaannya cenderung dijaga oleh pencitraan daripada kerja keras, tidak ada lagi keluhuran kepemimpinan yang tersisa. Keluhuran Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan pendiri Republik Indonesia yang lain telah dikikis oleh pragmatisme para politisi masa kini. Untung masih ada local geniuses yang secara sadar mau mengemban kebajikan kepemimpinan.

Untuk semua hal yang baik itu, saya sering bergumam, Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur). Tetapi sayang, kata Soegeng Sarjadi kepada penulis, kita juga menjadi tidak tidur gara-gara memikirkan perilaku elite yang memimpin tanpa keluhuran, kesulitan hidup rakyat, dan kegalauan diri sendiri.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/11/02/04220661/memimpin.dengan.keluhuran


SUKARDI RINAKIT Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate dan Universitas Mercu Buana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...