Optimisme KPK untuk menjemput paksa Nazaruddin dan Nunun melalui bantuan polisi dan KPK Singapura juga melalui Interpol patut diapresiasi. Seharusnya semangat itu yang tetap tidak surut pada diri kita semua jika sungguh-sungguh hendak memberantas korupsi.
Namun, optimisme harus memperhatikan realita betapa tidak mudahnya membawa tersangka atau saksi dari Singapura. Selain sistem hukum berbeda, juga kepentingan negara setempat ikut menentukan. Negara itu telah dikenal rendah komitmennya untuk kooperatif dengan setiap negara terkait ekstradisi, kecuali dengan sesama negara anggota Commonwealth.
Perjanjian ekstradisi IndonesiadanSingapuratelahditandatangani 27 April 2007,namun dipaketkan dengan perjanjian pertahanan. Masih ada perbedaan tafsir hukum atas pelaksanaan perjanjian pertahanan (implementing arrangement) antara kedua negara sehingga menunda ratifikasi atas kedua perjanjian tersebut.
Kelemahan
Namun, mengingat keperluan Indonesia dalam perjanjian ekstradisi lebih besar dari Singapura,di dalam perjanjian tersebut masih ada beberapa kelemahan-kelemahan mendasar yang merugikan Indonesia sebagai negara peminta (requesting state).Pertama, landasan ekstradisi (Pasal 3) sangat ditentukan oleh hukum Singapura dan diskresi pejabat Singapura ketimbang Indonesia.
Pasal 3 menegaskan bahwa tersangka hanya dapat diekstradisi ke negara lain (peminta ekstradisi) jikamenuruthukum Singapura telah ada bukti awal (prima facie evidence) atau bukti cukup kuat (sufficient evidence) dan dipandang sebagai telah dilakukan di wilayah yurisdiksi Singapura dan bagi terdakwa hanya dapat diekstradisi jika telah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kedua, disepakati bahwa putusan in absensia dapat diekstradisikan. Akan tetapi, dengan syarat negara peminta ekstradisi wajib menerangkan secara rinci bahwa terdakwa telah diberikan kesempatan untuk hadir di persidangan.
Serta jika diserahkan ada jaminan bahwa yang bersangkutan dapat diberikan kesempatan untuk diadili kembali. Klausul ini bertentangan dengan prinsip ne bis in idem yang berlaku dalam sistem hukum pidana Indonesia (Pasal 76 KUHP). Ketiga, dalam perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura 2007, ditegaskan bahwa negara yang diminta ekstradisi (requested state) dapat menolak dengan alasan ekstradisi akan menimbulkan ketidakadilan, opresif, dan penghukuman yang kejam terhadap tersangka/ terdakwa.
Kelemahan ini semakin nyata dihubungkan dengan ketentuan Pasal 12 UU Ekstradisi Singapura tahun 1870/1935, yang menegaskan bahwa ekstradisi tidak akan dijalankan jikatersangka/terdakwa mengajukan keberatan denganmengajukan hak “habeas corpus” kepada pengadilan Singapura dengan alasan penahanan oleh polisi Singapura untuk tujuan ekstradisi telah dilakukan sewenang- wenang.
Pasal 13 UU Ekstradisi Singapura tahun 1870/1935 menegaskan bahwa jika dalam tempo dua bulan tersangka/terdakwa tidak diserahkan ke negara peminta, pengadilan tinggi dapat memerintahkan tersangka/terdakwa dibebaskan.
Keempat,Pasal 7 Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Singapura (2007) menegaskan bahwa jika telah lewat waktu 45 hari dokumen kelengkapan ekstradisi tidak diserahkan ke Singapura, penahanan sementara (provisional arrest) atas tersangka/terdakwa dicabut kembali.Waktu 45 hari untuk melengkapi dokumen ekstradisi bukan waktu yang cukup bagi sistem kerja administrasi pemerintah Indonesia.
Kemenkumham sebagai central authority (pusat pengendali) ekstradisi dan mutual legal assistance (MLA) di Indonesia harus bekerja sama dengan Polri, Kejaksaan, KPK, Kemlu, serta Kantor Koordinator Polhukham dan Sekneg. Kegagalan administratif ini telah terjadi ketika tim buru aset korupsi bekerja sama dengan pemerintah federal Swiss empat tahun yang lampau.
Kelima,Pasal 15 Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Singapura 2007 menegaskan, ekstradisi tidak dilakukan jika terhadap tersangka/terdakwa yang dituntut oleh negara peminta telah dituntut dengan dasar tindak pidana lain selain tindak pidana untuk mana tersangka/ terdakwa dimintakan ekstradisi.
Dalam kasus korupsi ini, hambatan serius lainnya adalah bahwa pemerintah Singapura telah mengajukan reservasi terhadap ketentuan Pasal 44 tentang Ekstradisi dan Pasal 66 tentang Penyelesaian Sengketa Konvensi PBB Antikorupsi 2003.Akibatnya, Singapura dapat menolak ketentuan konvensi tersebut sebagai basis pelaksanaan ekstradisi dengan negara manapun termasuk Indonesia.
Tergantung Kemenkumham
Merujuk pada hambatanhambatan di atas,keberhasilan memulangkan Nunun dan Nazaruddin sangat bergantung pada sistem administrasi pusat pengendali (central authority) yaitu Kemenkumham di Indonesia dan perlakuan hukum oleh penegak hukum terhadap kedua orang tersebut di Indonesia.
Kedua prasyarat tersebut dapat menjadi batu sandungan yang serius untuk dapat memulangkan kedua orang itu ke Indonesia. Solusi segera yang seharusnya dilakukan aparat penegak hukum di Indonesia,jika sungguh- sungguh, adalah menggunakan jalur MLA yang telah ditandatangani Indonesia dan Singapura pada 29 November 2004 dan telah diratifikasi oleh kedua negara.
Namun, yang diberi wewenang mengajukan permintaan MLA adalah menteri hukum dan HAM untuk Indonesia dan menteri hukum untuk Singapura. Jalur ini tidak digunakan KPK yang justru berguna untuk melokalisasi keberadaan kedua orang tersebut dan identifikasi serta pemeriksaan di tempat bersama-sama pihak berwajib di Singapura.
Serta bisa digunakan untuk meminta keterangan/kesaksian setiap orang termasuk saksisaksi yang berada di Singapura disertai mengumpulkan buktibukti. Lebih jauh MLA dapat digunakan untuk menelusuri aset dan menyita aset khusus tersangka/terdakwa yang berada di Singapura.
Namun, optimisme harus memperhatikan realita betapa tidak mudahnya membawa tersangka atau saksi dari Singapura. Selain sistem hukum berbeda, juga kepentingan negara setempat ikut menentukan. Negara itu telah dikenal rendah komitmennya untuk kooperatif dengan setiap negara terkait ekstradisi, kecuali dengan sesama negara anggota Commonwealth.
Perjanjian ekstradisi IndonesiadanSingapuratelahditandatangani 27 April 2007,namun dipaketkan dengan perjanjian pertahanan. Masih ada perbedaan tafsir hukum atas pelaksanaan perjanjian pertahanan (implementing arrangement) antara kedua negara sehingga menunda ratifikasi atas kedua perjanjian tersebut.
Kelemahan
Namun, mengingat keperluan Indonesia dalam perjanjian ekstradisi lebih besar dari Singapura,di dalam perjanjian tersebut masih ada beberapa kelemahan-kelemahan mendasar yang merugikan Indonesia sebagai negara peminta (requesting state).Pertama, landasan ekstradisi (Pasal 3) sangat ditentukan oleh hukum Singapura dan diskresi pejabat Singapura ketimbang Indonesia.
Pasal 3 menegaskan bahwa tersangka hanya dapat diekstradisi ke negara lain (peminta ekstradisi) jikamenuruthukum Singapura telah ada bukti awal (prima facie evidence) atau bukti cukup kuat (sufficient evidence) dan dipandang sebagai telah dilakukan di wilayah yurisdiksi Singapura dan bagi terdakwa hanya dapat diekstradisi jika telah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kedua, disepakati bahwa putusan in absensia dapat diekstradisikan. Akan tetapi, dengan syarat negara peminta ekstradisi wajib menerangkan secara rinci bahwa terdakwa telah diberikan kesempatan untuk hadir di persidangan.
Serta jika diserahkan ada jaminan bahwa yang bersangkutan dapat diberikan kesempatan untuk diadili kembali. Klausul ini bertentangan dengan prinsip ne bis in idem yang berlaku dalam sistem hukum pidana Indonesia (Pasal 76 KUHP). Ketiga, dalam perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura 2007, ditegaskan bahwa negara yang diminta ekstradisi (requested state) dapat menolak dengan alasan ekstradisi akan menimbulkan ketidakadilan, opresif, dan penghukuman yang kejam terhadap tersangka/ terdakwa.
Kelemahan ini semakin nyata dihubungkan dengan ketentuan Pasal 12 UU Ekstradisi Singapura tahun 1870/1935, yang menegaskan bahwa ekstradisi tidak akan dijalankan jikatersangka/terdakwa mengajukan keberatan denganmengajukan hak “habeas corpus” kepada pengadilan Singapura dengan alasan penahanan oleh polisi Singapura untuk tujuan ekstradisi telah dilakukan sewenang- wenang.
Pasal 13 UU Ekstradisi Singapura tahun 1870/1935 menegaskan bahwa jika dalam tempo dua bulan tersangka/terdakwa tidak diserahkan ke negara peminta, pengadilan tinggi dapat memerintahkan tersangka/terdakwa dibebaskan.
Keempat,Pasal 7 Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Singapura (2007) menegaskan bahwa jika telah lewat waktu 45 hari dokumen kelengkapan ekstradisi tidak diserahkan ke Singapura, penahanan sementara (provisional arrest) atas tersangka/terdakwa dicabut kembali.Waktu 45 hari untuk melengkapi dokumen ekstradisi bukan waktu yang cukup bagi sistem kerja administrasi pemerintah Indonesia.
Kemenkumham sebagai central authority (pusat pengendali) ekstradisi dan mutual legal assistance (MLA) di Indonesia harus bekerja sama dengan Polri, Kejaksaan, KPK, Kemlu, serta Kantor Koordinator Polhukham dan Sekneg. Kegagalan administratif ini telah terjadi ketika tim buru aset korupsi bekerja sama dengan pemerintah federal Swiss empat tahun yang lampau.
Kelima,Pasal 15 Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Singapura 2007 menegaskan, ekstradisi tidak dilakukan jika terhadap tersangka/terdakwa yang dituntut oleh negara peminta telah dituntut dengan dasar tindak pidana lain selain tindak pidana untuk mana tersangka/ terdakwa dimintakan ekstradisi.
Dalam kasus korupsi ini, hambatan serius lainnya adalah bahwa pemerintah Singapura telah mengajukan reservasi terhadap ketentuan Pasal 44 tentang Ekstradisi dan Pasal 66 tentang Penyelesaian Sengketa Konvensi PBB Antikorupsi 2003.Akibatnya, Singapura dapat menolak ketentuan konvensi tersebut sebagai basis pelaksanaan ekstradisi dengan negara manapun termasuk Indonesia.
Tergantung Kemenkumham
Merujuk pada hambatanhambatan di atas,keberhasilan memulangkan Nunun dan Nazaruddin sangat bergantung pada sistem administrasi pusat pengendali (central authority) yaitu Kemenkumham di Indonesia dan perlakuan hukum oleh penegak hukum terhadap kedua orang tersebut di Indonesia.
Kedua prasyarat tersebut dapat menjadi batu sandungan yang serius untuk dapat memulangkan kedua orang itu ke Indonesia. Solusi segera yang seharusnya dilakukan aparat penegak hukum di Indonesia,jika sungguh- sungguh, adalah menggunakan jalur MLA yang telah ditandatangani Indonesia dan Singapura pada 29 November 2004 dan telah diratifikasi oleh kedua negara.
Namun, yang diberi wewenang mengajukan permintaan MLA adalah menteri hukum dan HAM untuk Indonesia dan menteri hukum untuk Singapura. Jalur ini tidak digunakan KPK yang justru berguna untuk melokalisasi keberadaan kedua orang tersebut dan identifikasi serta pemeriksaan di tempat bersama-sama pihak berwajib di Singapura.
Serta bisa digunakan untuk meminta keterangan/kesaksian setiap orang termasuk saksisaksi yang berada di Singapura disertai mengumpulkan buktibukti. Lebih jauh MLA dapat digunakan untuk menelusuri aset dan menyita aset khusus tersangka/terdakwa yang berada di Singapura.
● ROMLI ATMASASAMITA Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran(Unpad)
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/409743/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya