Pelaksanaan hukum qisas terhadap Ruyati binti Satibi, warga Bekasi, Sabtu (18/6/2011), karena terbukti membunuh majikannya, Khairiyah Binti Hamid,di Arab Saudi (10/1/2010) berpotensi menimbulkan gesekan hubungan Indonesia dengan Negeri Petrodolar itu.
Sebuah harian nasional di Jakarta menuduh Pemerintah Arab Saudi meremehkan Indonesia karena melakukan hukum pemenggalan kepala tanpa memberi tahu Jakarta. Sejumlah LSM melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Arab Saudi dan Istana Negara untuk memprotes hukuman qisas itu.
Bahkan sekarang mulai beredar rumor, para aktivis LSM, pembela buruh migran,dan masyarakat peduli nasib Ruyati akan melakukan sweeping dan menangkap turis Saudi yang sedang berwisata dan mempunyai istri simpanan (kawin kontrak) di Puncak, Cianjur,Jawa Barat. Di pihak lain, para pejabat terkait juga mengalami kegamangan.
Apa pun alasannya, mereka gagal melakukan lobilobi internasionalnya, khususnya terhadap Pemerintah Arab Saudi, untuk menghalangi pemancungan Ruyati.Apalagi kasus tersebut terjadi hanya beberapa hari setelah Presiden SBYmengungkapkan kepeduliannya terhadap buruh di hadapan Konferensi ILO di Jenewa, Swiss (14/6/2011).
Dalam pidato itu,Presiden SBY mengajak masyarakat internasional agar menghormati dan melindungi buruh.Sayangnya, pidato Presiden yang bagus dan mendapat standing applause peserta KTT ILO tersebut kurang ditindaklanjuti secara implementatif di tingkat pejabat teknisnya.Terbukti, belum lewat sepekan pidato SBY di Swiss itu, Ruyati,TKW Indonesia di Arab Saudi, mendapat hukuman mati.
Kegagalan mencegah hukuman mati atas Ruyati jelas merupakan kelemahan diplomasi Indonesia. Padahal, tahun 1999,Dr Dien Syamsudin–– saat itu Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja RI––berhasil menggagalkan hukuman rajam sampai mati di Uni Emirat Arab (UEA) terhadap Kartini,TKW asal Karawang.
Kartini mendapat hukuman rajam hingga mati karena terbukti melakukan zina dengan pria asal Sri Lanka di tempat kerjanya. Melalui lobi “kitab kuning dan pisang raja” (baca: kitab kuning yang membahas hukuman zina dengan permasalahannya secara komprehensif yang dibahas dengan tim hakim dan hadiah pisang raja untuk salah seorang petinggi Kerajaan UEA yang berpengaruh yang amat menyukai pisang itu), Dien akhirnya berhasil membebaskan Kartini dari hukuman rajam yang mengerikan itu.
Gus Dur juga pernah berhasil membebaskan Siti Zainab, TKW asal Madura, yang akan dihukum mati di Arab Saudi tahun 1999. Saat itu, Presiden Abdurrahman Wahid langsung menelepon Raja Abdullah bin Abdul Aziz untuk meminta pembebasan Siti Zainab. Masalah hukuman mati, baik rajam maupun pemenggalan kepala terhadap pelaku zina dan pembunuhan di negara- negara Arab yang menganut hukum Islam, sebetulnya tidak murni objektif.
Banyak pertimbangan dalam hukum tersebut, baik pertimbangan hubungan internasional, reaksi masyarakat dunia, reaksi aktivis HAM maupun hal-hal lain yang semua itu bisa mengubah status hukuman tersebut. Lobi Dien Syamsudin kepada petinggi UEA dan Gus Dur kepada Raja Saudi seperti dipaparkan di atas membuktikan hukum itu masih bisa berubah.
Alasan bahwa Indonesia tidak bisa campur tangan dalam masalah hukum di luar negeri sebetulnya masih bisa diperdebatkan. Ini terjadi karena persoalan hukum pada tingkat tinggi bisa berubah menjadi politik. Kita masih ingat kasus Sarah Balabagan, TKW asal Filipina yang akan dihukum mati di Uni Emirat Arab, 1995, akhirnya dibebaskan setelah melihat reaksi luas dari masyarakat Filipina dan kesungguhan Pemerintah Filipina untuk membebaskan Sarah dari tiang gantungan.
Setelah Presiden Fidel Ramos (Presiden Filipina saat itu) bertemu langsung dengan Syeikh Zayed (Raja UEA saat itu),akhirnya Sarah pun dilepaskan. Ini semua menggambarkan bahwa persoalan hukum bisa dikesampingkan bila akibat dari hukum bisa menimbulkan persoalan yang amat serius dalam hubungan antarbangsa.
Persoalan Budaya
Secara historis dan religius, hubungan Indonesia dan Arab Saudi sangat baik.Arab Saudi, misalnya, termasuk salah satu negara yang amat mendukung kemerdekaan Indonesia. Di saat Indonesia masih dijajah Belanda, ulama-ulama Arab Saudi banyak memberikan inspirasi kepada para ulama dan kaum cendekia Indonesia untuk merdeka dan membangun negara secara mandiri.
Dengan penduduk mayoritas beragama Islam dan merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia jelas tidak mungkin “bermusuhan” dengan Arab Saudi––negeri yang di dalamnya ada Kakbah,kiblat salat kaum muslimin. Keberadaan Kota Mekkah dengan Kakbahnya dan Kota Madinah dengan Masjid Nabawinya merupakan tali pengikat bagi kaum muslimin di mana pun, termasuk Indonesia.
Dengan demikian,wacana yang muncul di Senayan dan LSM agar Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Arab Saudi karena kasus Ruyati merupakan solusi yang terlalu simplistis. Indonesia dan Arab Saudi telah mempunyai “buhul persahabatan” yang tak mungkin terlepaskan oleh persoalan apa pun karena hubungan itu terikat dengan Islam dan simbol-simbol intinya. Lantas, bagaimana dengan kasus Ruyati?
Memang ada perbedaan pendekatan hukum antara Indonesia dan Arab Saudi. Di Saudi diberlakukan hukum Islam secara tekstual Alquran dan hadis, sedangkan di Indonesia diberlakukan hukum yang notabene “mengikuti” hukum Belanda (Eropa Kontinental).Kedua landasan hukum ini, dalam hal-hal tertentu, memang berhimpitan, tetapi dalam hal-hal lain berseberangan.
Namun satu hal sudah pasti: hukum dibuat untuk kemaslahatan umum. Hukum Islam (syariat) seperti yang berlaku di Arab Saudi,misalnya, sebetulnya dibuat untuk pemberdayaan umat. Semangatnya bukan untuk menghukum,tapi untuk menegakkan keadilan. Ada sebuah contoh menarik ketika seorang budak mencuri unta majikannya di zaman Khalifah Umar.
Ketika diadili, sang budak menyatakan, dia terpaksa mencuri untuk makan dan kebutuhan sehari-hari keluarganya lantaran sang majikan tidak membayar gajinya selama sekian bulan. Mendengar penuturan sang budak yang ternyata dibenarkan majikannya, dia pun terbebas dari hukuman potong tangan karena dakwaan pencurian.
Majikannya malah dihukum agar memberikan hak-hak (gaji) kepada budaknya. Dalam kasus Ruyati, kenapa dia membunuh majikan perempuannya? Jika pengadilan Arab Saudi mau meniru teladan Umar, niscaya harus ditanyakan, kenapa Ruyati tega membunuh Khairiyah, majikannya? Menurut pengakuan Ruyati kepada keluarganya, Khairiyah itu sangat kejam.
Dia pernah mendorong Ruyati hingga jatuh dan tulang kakinya patah serta telapak kakinya remuk. Ruyati juga sering disiksa dan diintimidasi. Dengan latar belakang tersebut, jelas Ruyati bukan seorang “pembunuh” kejam tanpa perikemanusiaan yang layak dihukum pancung.
Seandainya saja pejabat terkait melakukan diplomasi “kitab kuning dan pisang raja” ala Dien Syamsudin, sangat mungkin Ruyati bebas dari hukuman pancung. Nasi sudah menjadi bubur. Kini masih ada ratusan TKW Indonesia yang akan menjalani hukuman mati seperti Ruyati di Timur Tengah dan negara lain.
Pemerintah Indonesia harus menjadikan kasus Ruyati sebagai momen penting (starting point) dalam melakukan lobi yang intensif, smart, dan canggih untuk menyelamatkan nyawa warganya yang terkena kasus pidana di negara lain,khususnya di Arab Saudi.
Jika Australia rela kehilangan devisa karena menyetop ekspor sapinya ke Indonesia setelah mengetahui sapinya diperlakukan kejam di Indonesia, maka Pemerintah Indonesia pun harus rela kehilangan devisa ketika warga negaranya diperlakukan kejam di Arab Saudi.Ini karena manusia lebih mulia daripada sapi!
Dengan demikian, pilihan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi seperti dikehendaki sejumlah LSM dan politisi patut dipertimbangkan. Setelah peraturan dan sarat-sarat pengiriman TKI dari Indonesia dan penerimaan TKI di negara yang membutuhkan dibuat dengan adil dan baik serta saling menguntungkan, barulah pengiriman TKI dibuka kembali.
● M BAMBANG PRANOWO Direktur Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/408177/