Oleh: Idham Arsyad
Setengah abad lalu, tepatnya 24 September 1960, Pemerintah Indonesia yang baru lepas dari cengkeraman kolonialisme membuat kebijakan baru pengaturan masalah agraria.
Aturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, lebih dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar Pokok Agraria (UUPA).
Kelahiran UUPA menandai era baru sistem hukum dan politik agraria nasional yang menggantikan sistem hukum dan politik agraria kolonial. UUPA datang dengan semangat zaman untuk merombak tatanan politik agraria kolonial. Politik agraria kolonial adalah sebuah politik agraria yang mengabdi bagi kepentingan partikelir asing atau pemodal raksasa dengan mengorbankan rakyat tani di Indonesia.
”Guremisasi”
Di atas politik agraria kolonial, keadaan petani menjadi sengsara, miskin, dan kelaparan. Sebab, hukum yang lahir dari politik agraria kolonial ini mengakibatkan pertanian rakyat tergusur oleh perkebunan. Untuk mendapatkan keuntungan dan tenaga kerja yang banyak dan murah, perkebunan selalu menyasar tanah-tanah yang subur dan padat penduduknya. Rakyat yang kehilangan tanahnya tidak ada pilihan kecuali menjual tenaganya hanya untuk mempertahankan hidup.
Sampai saat ini, penerapan politik agraria kolonial mengakibatkan meningkatnya persentase petani berlahan sempit dan petani tak bertanah. Tauhid (1952) menunjukkan penguasaan tanah di Jawa, Bali, dan Sumatera pada tahun 1938 rata-rata 0,84 hektar. Khusus di Jawa, keluarga yang punya tanah kurang dari sepertiga hektar mencapai 70 persen, sedangkan keluarga yang punya tanah lebih dari 5 hektar hanya 0,5 persen.
Ironisnya, penguasaan tanah pada masa kolonial ini tidak banyak berubah setelah kemerdekaan. Sensus pertanian dari tahun 1963 hingga 2003 memperlihatkan rata-rata penguasaan lahan oleh petani dari satu periode sensus ke periode sensus yang lain relatif sangat kecil, yaitu antara 0,81 dan 1,05 hektar.
Sementara itu di Jawa, pulau dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, rata-rata penguasaan lahan oleh petani selama lebih dari 40 tahun sekitar 0,45 hektar. (Bachriadi & Wiradi; 2009)
Penghentian program reforma agraria (land reform) akibat pergantian rezim menjadi salah satu faktor penyebab ”guremisasi” sampai saat ini masih bertahan. Bachriadi & Wiradi (2009) menunjukkan bahwa pelaksanaan reforma agraria pada masa Soekarno membawa perubahan dalam rata-rata kepemilikan tanah, yang meningkat 1,05 hektar setiap keluarga petani. Namun, selama Orde Baru, rata-rata penguasaan tanah oleh petani tidak pernah di atas 1 hektar, sedangkan jumlah petani tak bertanah dan buruh pertanian terus bertambah.
Reforma agraria
Meningkatnya angka petani berlahan sempit dan petani tak bertanah semestinya menjadi peringatan untuk dijalankannya program reforma agraria. Tanpa pembaruan agraria, maka akar kemiskinan, baik yang ada di pedesaan maupun perkotaan, akan sulit diatasi dan kesejahteraan petani hanya mimpi.
Harus diyakini bahwa kemiskinan adalah akibat, dan penyebabnya adalah kapitalisme agraria. Beroperasinya mesin-mesin kapitalisme di lapangan agraria yang mengakibatkan ketimpangan membawa pada ketidakstabilan sosial-ekonomi. Meningkatnya persentase petani gurem dan petani tak bertanah merupakan gambaran buruknya ekonomi negara, khususnya negara yang mengandalkan sektor pertanian. Kepemilikan lahan yang sempit menyebabkan petani mencari makan di sektor lain. Hal ini menjadikan pertanian sebagai pekerjaan tidak pokok yang akhirnya berpengaruh pada produktivitas pertanian yang rendah.
Sejumlah pakar juga mengingatkan bahwa kondisi petani tak bertanah bisa berkontribusi pada erosi dan deforestasi besar-besaran. Kondisinya yang tidak mempunyai tanah bisa mendorong untuk masuk bertanam di wilayah hutan yang tidak boleh dikonversi karena fungsi lingkungannya. (Barraaclough dan Ghimire; 1995/2000).
Adalah mustahil mencapai kesejahteraan petani tanpa terlebih dahulu mengatasi masalah ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam, yang mengakibatkan petani berlahan sempit dan tidak punya lahan.
Ketimpangan penguasaan struktur agraria hanya bisa diatasi dengan kebijakan politik restrukturisasi penguasaan, peruntukan dan pemanfaatan tanah, dan sumber daya alam. Kebijakan itu harus mencakup pengaturan dan penertiban semua sektor-sektor agraria.
Tidak hanya di pertanahan, tetapi juga di sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, pertambangan, pesisir, kelautan, dan pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan, tindakan ini disebut sebagai reforma agraria.
Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjalankan reforma agraria pada awal tahun 2007 saatnya untuk direalisasikan. Pada saat itu, Presiden menjanjikan akan melakukan sertifikasi dan redistribusi lahan seluas 9,25 juta hektar yang dimaksudkan untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran, khususnya di pedesaan.
Untuk menyambungkan dengan konteks persoalan ketimpangan struktur agraria sebagai persoalan pokok yang kita hadapi, maka redistribusi harus diluaskan maknanya menjadi program reforma agraria yang komprehensif.
Dalam hal ini, tanah yang akan diredistribusi sebagai obyek reforma agraria tidak hanya berasal dari bekas hutan konversi, tetapi juga mencakup tanah yang dikuasai secara monopolistik, baik oleh negara maupun swasta, baik individu maupun badan usaha.
Untuk tanah-tanah yang dikuasai oleh swasta dan badan usaha yang izinnya diperoleh semasa kebijakan politik agraria kapitalistik di era Soeharto seperti Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan besar, Hak Pengelolaan Hutan (HPH), dan Kuasa Pertambangan (KP) hendaknya dijadikan obyek reforma agraria setelah penguasaannya dialihkan statusnya menjadi tanah negara untuk diredistribusi kepada rakyat.
Selain itu, penetapan obyek reforma agraria juga harus menyertakan tanah telantar, khususnya tanah perkebunan yang tidak aktif lagi dan tanah-tanah lainnya yang telah diambil untuk sejumlah proyek pembangunan, tetapi hanya digunakan sebagai obyek spekulasi, dan juga hamparan tanah perkebunan besar dan wilayah kehutanan yang telah diduduki oleh petani selama periode Orde Baru.
Janji reforma agraria Presiden Yudhoyono tetap harus ditagih. Bukan hanya karena janji adalah utang sehingga harus ditepati, tetapi reforma agraria menjadi satu-satunya jalan untuk mengatasi sejumlah tumpukan persoalan struktural yang dihadapi bangsa ini, misalnya kemiskinan, pengangguran, laju urbanisasi, kerusakan lingkungan, dan krisis pangan.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/23/03222919/petani.sejahtera.baru.seba
Idham Arsyad Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria
Setengah abad lalu, tepatnya 24 September 1960, Pemerintah Indonesia yang baru lepas dari cengkeraman kolonialisme membuat kebijakan baru pengaturan masalah agraria.
Aturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, lebih dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar Pokok Agraria (UUPA).
Kelahiran UUPA menandai era baru sistem hukum dan politik agraria nasional yang menggantikan sistem hukum dan politik agraria kolonial. UUPA datang dengan semangat zaman untuk merombak tatanan politik agraria kolonial. Politik agraria kolonial adalah sebuah politik agraria yang mengabdi bagi kepentingan partikelir asing atau pemodal raksasa dengan mengorbankan rakyat tani di Indonesia.
”Guremisasi”
Di atas politik agraria kolonial, keadaan petani menjadi sengsara, miskin, dan kelaparan. Sebab, hukum yang lahir dari politik agraria kolonial ini mengakibatkan pertanian rakyat tergusur oleh perkebunan. Untuk mendapatkan keuntungan dan tenaga kerja yang banyak dan murah, perkebunan selalu menyasar tanah-tanah yang subur dan padat penduduknya. Rakyat yang kehilangan tanahnya tidak ada pilihan kecuali menjual tenaganya hanya untuk mempertahankan hidup.
Sampai saat ini, penerapan politik agraria kolonial mengakibatkan meningkatnya persentase petani berlahan sempit dan petani tak bertanah. Tauhid (1952) menunjukkan penguasaan tanah di Jawa, Bali, dan Sumatera pada tahun 1938 rata-rata 0,84 hektar. Khusus di Jawa, keluarga yang punya tanah kurang dari sepertiga hektar mencapai 70 persen, sedangkan keluarga yang punya tanah lebih dari 5 hektar hanya 0,5 persen.
Ironisnya, penguasaan tanah pada masa kolonial ini tidak banyak berubah setelah kemerdekaan. Sensus pertanian dari tahun 1963 hingga 2003 memperlihatkan rata-rata penguasaan lahan oleh petani dari satu periode sensus ke periode sensus yang lain relatif sangat kecil, yaitu antara 0,81 dan 1,05 hektar.
Sementara itu di Jawa, pulau dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, rata-rata penguasaan lahan oleh petani selama lebih dari 40 tahun sekitar 0,45 hektar. (Bachriadi & Wiradi; 2009)
Penghentian program reforma agraria (land reform) akibat pergantian rezim menjadi salah satu faktor penyebab ”guremisasi” sampai saat ini masih bertahan. Bachriadi & Wiradi (2009) menunjukkan bahwa pelaksanaan reforma agraria pada masa Soekarno membawa perubahan dalam rata-rata kepemilikan tanah, yang meningkat 1,05 hektar setiap keluarga petani. Namun, selama Orde Baru, rata-rata penguasaan tanah oleh petani tidak pernah di atas 1 hektar, sedangkan jumlah petani tak bertanah dan buruh pertanian terus bertambah.
Reforma agraria
Meningkatnya angka petani berlahan sempit dan petani tak bertanah semestinya menjadi peringatan untuk dijalankannya program reforma agraria. Tanpa pembaruan agraria, maka akar kemiskinan, baik yang ada di pedesaan maupun perkotaan, akan sulit diatasi dan kesejahteraan petani hanya mimpi.
Harus diyakini bahwa kemiskinan adalah akibat, dan penyebabnya adalah kapitalisme agraria. Beroperasinya mesin-mesin kapitalisme di lapangan agraria yang mengakibatkan ketimpangan membawa pada ketidakstabilan sosial-ekonomi. Meningkatnya persentase petani gurem dan petani tak bertanah merupakan gambaran buruknya ekonomi negara, khususnya negara yang mengandalkan sektor pertanian. Kepemilikan lahan yang sempit menyebabkan petani mencari makan di sektor lain. Hal ini menjadikan pertanian sebagai pekerjaan tidak pokok yang akhirnya berpengaruh pada produktivitas pertanian yang rendah.
Sejumlah pakar juga mengingatkan bahwa kondisi petani tak bertanah bisa berkontribusi pada erosi dan deforestasi besar-besaran. Kondisinya yang tidak mempunyai tanah bisa mendorong untuk masuk bertanam di wilayah hutan yang tidak boleh dikonversi karena fungsi lingkungannya. (Barraaclough dan Ghimire; 1995/2000).
Adalah mustahil mencapai kesejahteraan petani tanpa terlebih dahulu mengatasi masalah ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam, yang mengakibatkan petani berlahan sempit dan tidak punya lahan.
Ketimpangan penguasaan struktur agraria hanya bisa diatasi dengan kebijakan politik restrukturisasi penguasaan, peruntukan dan pemanfaatan tanah, dan sumber daya alam. Kebijakan itu harus mencakup pengaturan dan penertiban semua sektor-sektor agraria.
Tidak hanya di pertanahan, tetapi juga di sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, pertambangan, pesisir, kelautan, dan pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan, tindakan ini disebut sebagai reforma agraria.
Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjalankan reforma agraria pada awal tahun 2007 saatnya untuk direalisasikan. Pada saat itu, Presiden menjanjikan akan melakukan sertifikasi dan redistribusi lahan seluas 9,25 juta hektar yang dimaksudkan untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran, khususnya di pedesaan.
Untuk menyambungkan dengan konteks persoalan ketimpangan struktur agraria sebagai persoalan pokok yang kita hadapi, maka redistribusi harus diluaskan maknanya menjadi program reforma agraria yang komprehensif.
Dalam hal ini, tanah yang akan diredistribusi sebagai obyek reforma agraria tidak hanya berasal dari bekas hutan konversi, tetapi juga mencakup tanah yang dikuasai secara monopolistik, baik oleh negara maupun swasta, baik individu maupun badan usaha.
Untuk tanah-tanah yang dikuasai oleh swasta dan badan usaha yang izinnya diperoleh semasa kebijakan politik agraria kapitalistik di era Soeharto seperti Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan besar, Hak Pengelolaan Hutan (HPH), dan Kuasa Pertambangan (KP) hendaknya dijadikan obyek reforma agraria setelah penguasaannya dialihkan statusnya menjadi tanah negara untuk diredistribusi kepada rakyat.
Selain itu, penetapan obyek reforma agraria juga harus menyertakan tanah telantar, khususnya tanah perkebunan yang tidak aktif lagi dan tanah-tanah lainnya yang telah diambil untuk sejumlah proyek pembangunan, tetapi hanya digunakan sebagai obyek spekulasi, dan juga hamparan tanah perkebunan besar dan wilayah kehutanan yang telah diduduki oleh petani selama periode Orde Baru.
Janji reforma agraria Presiden Yudhoyono tetap harus ditagih. Bukan hanya karena janji adalah utang sehingga harus ditepati, tetapi reforma agraria menjadi satu-satunya jalan untuk mengatasi sejumlah tumpukan persoalan struktural yang dihadapi bangsa ini, misalnya kemiskinan, pengangguran, laju urbanisasi, kerusakan lingkungan, dan krisis pangan.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/23/03222919/petani.sejahtera.baru.seba
Idham Arsyad Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya