Rabu, 29 September 2010

Mewujudkan Rasa Aman

Oleh: J Kristiadi



Rasa miris, berbaur waswas, cemas, khawatir, takut, dan gelisah mungkin diksi yang paling tepat untuk mengungkapkan sentimen dan afeksi perasaan masyarakat pasca-serangkaian perampokan bank di Sumatera dan diprediksi akan menjalar ke daerah lain. Lebih-lebih penjarahan itu diduga adalah bagian dari kegiatan terorisme yang kemampuan reproduksinya seakan-akan lebih cepat dibandingkan dengan kapasitas negara menumpasnya. Bahkan, menurut Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, kegiatan terorisme sudah mengarah pada kudeta. Artinya, terorisme juga mengancam tatanan politik yang didasarkan atas kedaulatan rakyat. Eksistensi negara dan demokrasi menjadi taruhan. Mungkin agar mendapat simpati rakyat, taktik balik terorisme dimulai dengan serangan terhadap simbol penguasa. Bukan lagi melakukan teror terhadap simbol Barat yang mengakibatkan korban indiskriminatif.

Peningkatan intensitas kegiatan terorisme yang eskalatif adalah ancaman serius yang harus semakin menyadarkan seluruh elemen bangsa bahwa selain teror, rasa aman warga serta eksistensi bangsa dan negara menghadapi ancaman yang jauh lebih kompleks. Mulai dari ancaman individual sampai ancaman yang berdimensi luas dan canggih, seperti bencana alam, narkoba, perdagangan anak dan perempuan, perompakan, penyelundupan, pemberontakan bersenjata, separatisme, kudeta, korupsi, kemiskinan, kerusakan lingkungan, perubahan iklim, cuaca ekstrem, senjata kimia, nuklir, konflik komunal, ancaman militer asing, dan lain sebagainya.

Mengingat rumit dan kompleksitasnya ancaman, diperlukan strategi keamanan yang komprehensif. Namun, pertama-tama yang diperlukan adalah konsensus dalam memahami keamanan nasional. Kesepakatan amat diperlukan mengingat sejauh ini perdebatan mengenai konsep itu berlangsung tidak produktif. Mungkin sebagai acuan dapat menengok sejarah bahwa gagasan itu muncul sejak disepakatinya penghentian perang tiga puluh tahun yang dituangkan dalam Treaties of Westphalia tahun 1648.

Semula keamanan nasional dipahami sebagai upaya mempertahankan integritas teritori suatu negara dan kebebasan untuk menentukan bentuk pemerintahan sendiri. Namun, mengingat makin kompleksnya hubungan antarnegara serta kompleksitas ancaman yang dihadapi komunitas internasional, penyelenggaraan keamanan cenderung dilakukan secara bersama dan tidak hanya mengamankan kedaulatan negara, tetapi juga menjamin keamanan warga negara, bahkan nilai bangsa yang bersangkutan.

Dalam menyusun strategi keamanan nasional, setidak-tidaknya harus dipenuhi beberapa ketentuan. Pertama, menegaskan hakikat dan prinsip keamanan nasional sebagai kondisi yang harus diwujudkan untuk kelangsungan bangsa dan negara serta rasa aman warga dalam mencapai masyarakat yang sejahtera. Kedua, mengatasi ancaman harus mempertimbangkan kompleksitas lingkungan strategis Indonesia, eskalasi ancaman, kemampuan melakukan perkiraan, penggunaan sumber daya agar efektif dan efisien, serta penghormatan atas kemanusiaan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ketiga, manajemen penyelenggaraan keamanan nasional harus memerhatikan prioritas, terkoordinasi dengan jelas, tatanan kewenangan yang tidak tumpang tindih, serta menekan serendah mungkin wilayah abu-abu. Keempat, kontrol yang berlapis sehingga mencegah penyalahgunaan atau kesimpangsiuran dalam penyelenggaraan keamanan nasional. Prinsipnya, pengawasan dilakukan ketat dan berlapis, mulai dari masyarakat, lembaga politik, administrasi, hingga teknis pelaksanaan lapangan.

Selain itu, isu yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah hubungan antara TNI dan Polri yang rancu. Kerancuan relasi itu bersumber pada Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Kekaburan itu berkenaan dengan kewenangan kedua lembaga dalam menangani pertahanan dan keamanan. Klarifikasi diperlukan sehingga kewenangan dua lembaga itu jadi lebih jelas.

Strategi itu, agar memiliki legitimasi yang kuat, harus menjadi bagian dari UU Keamanan Nasional, yang rancangannya hampir 10 tahun tidak mengalami kemajuan. Berbagai regulasi yang terbit dan RUU berkaitan dengan RUU Keamanan Nasional harus disinkronisasi agar penyelenggaraan keamanan nasional dapat dilakukan secara terpadu, efektif, dan efisien. Misalnya, UU TNI, UU Polri, UU Intelijen, UU Rahasia Negara, UU Kebebasan Informasi Publik, UU Mobilisasi dan Demobilisasi, UU Komponen Cadangan Pertahanan, UU Peradilan Militer, UU Wajib Militer, serta UU Bela Negara.

Penyusunan regulasi tentang keamanan nasional juga dapat dijadikan wahana untuk mengonsolidasikan lembaga politik, pemerintahan, dan masyarakat mengingat UU itu menjadi instrumen yang sangat penting untuk menjaga keberlangsungan bangsa dan negara. Meskipun harus diakui, regulasi bukan panasea (obat mujarab) yang bisa mengubah secara mendadak situasi rawan menjadi aman. Namun, UU yang didasarkan atas prinsip dan paradigma yang jelas menjadi modal yang sangat berharga untuk membangun kelembagaan, mengatasi kerancuan, serta efektivitas dalam penyelenggaraan keamanan nasional. Dengan demikian, mewujudkan rasa aman harus dimulai dahulu dengan memprioritaskan pembahasan UU Keamanan Nasional yang sudah lama menjadi wacana publik.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/28/03183231/mewujudkan.rasa.aman.


J Kristiadi Peneliti Senior CSIS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...