Oleh: Achmad M Akung
Apabila Lord Acton masih hidup dan menyempatkan diri mengunjungi Indonesia, tentu ia akan sangat senang bukan kepalang. Bukan atas keelokan alam Indonesia,keindahan seni budaya, atau lezatnya kuliner Tanah Air.
Bangsawan ini layak bergembira karena tesisnya,the power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely, mendapatkan bukti pembenar secara ilmiah di Indonesia.Kegembiraannya akan bertambah apabila ia berkenan “studi banding” ke Gedung DPR, membaca laporan kinerja dan kiprah anggotanya. Betapa kekuasaan menjalankan amanat kedaulatan rakyat,justru cenderung dikooptasi untuk memenuhi syahwat dan kepentingan pribadi dan partai politik.Alihalih mengeluarkan kebijakan yang menyejahterakan, anggota Dewan yang terhormat justru sering kali mengabaikan dan menyakiti perasaan rakyat yang telah diwakili.
Di laci memori rakyat Indonesia masih juga tersimpan cerita tentang dana aspirasi gentong babi (pork barrel) Rp15 miliar per anggota dewan yang lantas bermetamorfosis menjadi dana pembangunan desa senilai Rp1 miliar per desa. Usai itu, anggota dewan yang terhormat memiliki gawebernama rumah aspirasi. Dalam usul rumah aspirasi itu, setiap anggota dewan akan mendapat kucuran dana Rp374 juta per tahun sehingga total ongkos menggantang aspirasi itu senilai Rp209 miliar untuk seluruh anggota Dewan per tahun. Berita pembangunan Gedung DPR barangkali juga akan membuat Lord Acton tambah girang dengan tesisnya.
Apalagi jika ia juga berkesempatan menikmati fasilitas mewahnya dan membandingkannya dengan kontras realitas kehidupan rakyat Indonesia. Sebelumnya, seakan kebelet dengan gedung baru, berhembuslah rumor bahwa gedung dewan telah miring 7 derajat, retak-retak dan sudah tidak laik pakai. Maka, dirancanglah gedung baru berkonstruksi seluas 156.586,26 meter persegi dengan 36 lantai,termasuk 3 basement. Di lantai atas, terdapat fasilitas rekreasi “aduhai” berupa kolam renang,spa,serta pusat kebugaran. Total anggaran pembangunan fisik, sistem keamanan, teknologi informasi serta furniturnya “hanya” Rp1,6 triliun.
Gedung supermewah ini sontak mendapatkan kritik,hujatan,bahkan mungkin amarah terpendam dari dalam ruang batin rakyat yang kian terjepit beban kehidupan. Belakangan, rencana ini ditunda, mungkin sembari menunggu publik lupa. Kegembiraan Lord Acton mungkin akan semakin menjadijadi, apabila ia diajak para anggota Dewanyangterhormatuntukmengikuti aneka rupa studi banding ke beberapa negara.Termasuk “studi ganjil” tentang kepramukaan hingga ke negerinya Nelson Mandela nun jauh di Afrika sana. Sesuatu yang layak dipertanyakan dan “ditertawakan” urgensinya di era internet seperti sekarang ini (Asvi Warman Adam,SINDO18/9).
Dewan atau Dewa?
Sungguh menarik dan unik m e n g i k u t i cerita dewan/ parlemen kita. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mengartikan dewan sebagai majelis atau badan yang terdiri atas beberapa orang anggota yang pekerjaannya memberi nasihat,memutuskan sesuatu hal dengan jalan berunding. Dalam konteks keindonesiaan, DPR sesungguhnya memiliki kedudukan terhormat, justru karena berat dan agungnya amanat yang harus diemban.Sayangnya,Dewan kita acap kali telah kehilangan satu huruf terakhirnya. Tanpa huruf “n”, yang bermakna nurani, para wakil rakyat cenderung memosisikan dirinya nyaris seperti “dewa”.
Dalam mitologi Yunani, dewa adalah makhluk yang lahir seperti manusia, namun memiliki kemahakuasaan mengatur kehidupan manusia. Begitu tingginya kekuasaannya dalam struktur tata negara kita,DPR memang laiknya “dewa” yang nyaris tanpa kontrol. Dengan mengatasnamakan rakyat, semua yang mereka titahkan harus terlaksana. Ibarat perumpamaan ”anjing menggonggong, kafilah berlalu”, dengan berlindung di bawah payung undang-undang yang dibuat sendiri, mereka sering kali bergeming dengan segenap kontroversinya, tanpa memperhatikan jerit suara rakyat. Selama ini publik kerap kali “membodohi diri”bahwa tugas kedewanan memang tidak sederhana.
Kesibukan menyerap aspirasi, menyusun undang-undang memang kelewat berat sehingga ketika anggota Dewan terkantuk-kantuk sambil BlackBerry-an atau bahkan tidur sekalipun ketika sidang tetap dimaklumi karena tugas negara yang kelewat melelahkan. Demikian pula kegemaran membolos,mungkin karena saking sibuknya melakukan kunker (kunjungan kerja) dan turba (turun ke bawah) menyerap aspirasi. Saking sibuknya menyerap aspirasi, sampai-sampai banyak undangundang yang masuk prolegnas tidak terselesaikan.Perilaku buruk yang tidak populis ini masih saja berlanjut.
Lubang Hitam
Namun, atas nama demokrasi, segenap keganjilan yang ditunjukkan wakil rakyat kita yang terhormat, sesungguhnya sah-sah saja terjadi. Demokrasi, dalam buku klasik Dasar-Dasar Ilmu Politik (1977) karangan Prof Miriam Budiardjo, diyakini berakar dari kata Yunani, demos yang berarti rakyat dan kratos/kratein yang berarti kekuasaan/berkuasa. Demokrasi konon menjadi sistem terbaik yang diaplikasikan di banyak negara sehingga juga dipandang sebagai sistem pemerintahan terbaik bagi republik ini. Sayangnya,sekian lama terkekang dalam “demokrasi semu”Orde Baru, nafsu “berdemokrasi” meluap tak terkendali begitu keran demokratisasi dibuka. Ia menerjang dan menggenang di setiap ceruk kehidupan.
Celakanya, kanal-kanal demokrasi yang seyogianya menjadi penyalur aspirasi itu belum sempurna terbentuk. Akibatnya, demokrasi kita menjadi kehilangan arah. Makna demokrasi pun perlahan namun pasti terdekonstruksi oleh euforia kebebasan. Demokrasi justru memerangkap kita dalam sebuah lubang hitam (black hole). Dalam telaah ilmu alam, lubang hitam adalah sebuah pemusatan massa yang sangat besar sehingga menghasilkan gaya gravitasi yang sangat besar. Besarnya gaya ini mencegah apapun lolos darinya.Cahaya sekalipun hanya dapat memasuki tanpa bisa melewatinya, sehingga muncullah istilah “hitam”.
Di negeri yang rakyatnya cerdas dan sejahtera serta––meminjam teori kebutuhan Abraham Maslow “berada dalam tingkatan aktualisasi diri”–– demokrasi mungkin menjanjikan kebaikan.Namun, apa yang terjadi ketika demokrasi dihelat di sebuah “republik lapar”, yang kebutuhan fisiologis rakyatnya belum sempurna tercukupi, taraf pendidikan, kecerdasannya, dan etikanya memprihatinkan? Demokrasi bukan lagi sebuah tata pemerintahan yang mengabdi pada kepentingan rakyat, tapi justru terhenti sebatas pada pemerolehan kekuasaan yang mengabdi pada kepentingan pribadi dan partai politik. Demokrasi direduksi menjadi sekedar transaksi.
Suara rakyat yang konon adalah suara Tuhan, tak lebih dari sekedar sebuah komoditas yang bisa diperjualbelikan dengan harga kelewat murah, sekadar untuk menyambung makan sehari.Kesejahteraan sekadar sebuah eikasia yang dijanjikan berbusa-busa saat kampanye dan dilupakan begitu kursi empuk Dewan telah didapatkan. Sungguh, anggota Dewan yang terpilih karena “meng-ijon” suara rakyat akan gemar mengkhianati amanat dan menyakiti hati rakyat. Mereka rakus fasilitas, tapi rajin membolos,malas membuat undangundang, lalai dan abai menyejahterakan konstituennya. Alih-alih mengemban amanat demokrasi, mereka justru tengah mengabarkan eksistensi lubang hitam demokrasi yang dihelat di negeri ini.
Selagi masih ada waktu berbenah, begitu besar harap rakyat yang diamanatkan di pundak yang terhormat anggota Dewan untuk benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Bukan sebaliknya, berlaku seperti “dewa” yang mengedepankan kemahakuasaan, adigang-adigung-adiguna,menangguk keuntungan pribadi dan partai atas nama demokrasi. Sungguh, ratusan juta rakyat yang kesrakat itu masih bisa berdoa pada Tuhannya,“Gusti ora Sare (Tuhan tidak tidur).”(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/353498/
Achmad M Akung
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Apabila Lord Acton masih hidup dan menyempatkan diri mengunjungi Indonesia, tentu ia akan sangat senang bukan kepalang. Bukan atas keelokan alam Indonesia,keindahan seni budaya, atau lezatnya kuliner Tanah Air.
Bangsawan ini layak bergembira karena tesisnya,the power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely, mendapatkan bukti pembenar secara ilmiah di Indonesia.Kegembiraannya akan bertambah apabila ia berkenan “studi banding” ke Gedung DPR, membaca laporan kinerja dan kiprah anggotanya. Betapa kekuasaan menjalankan amanat kedaulatan rakyat,justru cenderung dikooptasi untuk memenuhi syahwat dan kepentingan pribadi dan partai politik.Alihalih mengeluarkan kebijakan yang menyejahterakan, anggota Dewan yang terhormat justru sering kali mengabaikan dan menyakiti perasaan rakyat yang telah diwakili.
Di laci memori rakyat Indonesia masih juga tersimpan cerita tentang dana aspirasi gentong babi (pork barrel) Rp15 miliar per anggota dewan yang lantas bermetamorfosis menjadi dana pembangunan desa senilai Rp1 miliar per desa. Usai itu, anggota dewan yang terhormat memiliki gawebernama rumah aspirasi. Dalam usul rumah aspirasi itu, setiap anggota dewan akan mendapat kucuran dana Rp374 juta per tahun sehingga total ongkos menggantang aspirasi itu senilai Rp209 miliar untuk seluruh anggota Dewan per tahun. Berita pembangunan Gedung DPR barangkali juga akan membuat Lord Acton tambah girang dengan tesisnya.
Apalagi jika ia juga berkesempatan menikmati fasilitas mewahnya dan membandingkannya dengan kontras realitas kehidupan rakyat Indonesia. Sebelumnya, seakan kebelet dengan gedung baru, berhembuslah rumor bahwa gedung dewan telah miring 7 derajat, retak-retak dan sudah tidak laik pakai. Maka, dirancanglah gedung baru berkonstruksi seluas 156.586,26 meter persegi dengan 36 lantai,termasuk 3 basement. Di lantai atas, terdapat fasilitas rekreasi “aduhai” berupa kolam renang,spa,serta pusat kebugaran. Total anggaran pembangunan fisik, sistem keamanan, teknologi informasi serta furniturnya “hanya” Rp1,6 triliun.
Gedung supermewah ini sontak mendapatkan kritik,hujatan,bahkan mungkin amarah terpendam dari dalam ruang batin rakyat yang kian terjepit beban kehidupan. Belakangan, rencana ini ditunda, mungkin sembari menunggu publik lupa. Kegembiraan Lord Acton mungkin akan semakin menjadijadi, apabila ia diajak para anggota Dewanyangterhormatuntukmengikuti aneka rupa studi banding ke beberapa negara.Termasuk “studi ganjil” tentang kepramukaan hingga ke negerinya Nelson Mandela nun jauh di Afrika sana. Sesuatu yang layak dipertanyakan dan “ditertawakan” urgensinya di era internet seperti sekarang ini (Asvi Warman Adam,SINDO18/9).
Dewan atau Dewa?
Sungguh menarik dan unik m e n g i k u t i cerita dewan/ parlemen kita. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mengartikan dewan sebagai majelis atau badan yang terdiri atas beberapa orang anggota yang pekerjaannya memberi nasihat,memutuskan sesuatu hal dengan jalan berunding. Dalam konteks keindonesiaan, DPR sesungguhnya memiliki kedudukan terhormat, justru karena berat dan agungnya amanat yang harus diemban.Sayangnya,Dewan kita acap kali telah kehilangan satu huruf terakhirnya. Tanpa huruf “n”, yang bermakna nurani, para wakil rakyat cenderung memosisikan dirinya nyaris seperti “dewa”.
Dalam mitologi Yunani, dewa adalah makhluk yang lahir seperti manusia, namun memiliki kemahakuasaan mengatur kehidupan manusia. Begitu tingginya kekuasaannya dalam struktur tata negara kita,DPR memang laiknya “dewa” yang nyaris tanpa kontrol. Dengan mengatasnamakan rakyat, semua yang mereka titahkan harus terlaksana. Ibarat perumpamaan ”anjing menggonggong, kafilah berlalu”, dengan berlindung di bawah payung undang-undang yang dibuat sendiri, mereka sering kali bergeming dengan segenap kontroversinya, tanpa memperhatikan jerit suara rakyat. Selama ini publik kerap kali “membodohi diri”bahwa tugas kedewanan memang tidak sederhana.
Kesibukan menyerap aspirasi, menyusun undang-undang memang kelewat berat sehingga ketika anggota Dewan terkantuk-kantuk sambil BlackBerry-an atau bahkan tidur sekalipun ketika sidang tetap dimaklumi karena tugas negara yang kelewat melelahkan. Demikian pula kegemaran membolos,mungkin karena saking sibuknya melakukan kunker (kunjungan kerja) dan turba (turun ke bawah) menyerap aspirasi. Saking sibuknya menyerap aspirasi, sampai-sampai banyak undangundang yang masuk prolegnas tidak terselesaikan.Perilaku buruk yang tidak populis ini masih saja berlanjut.
Lubang Hitam
Namun, atas nama demokrasi, segenap keganjilan yang ditunjukkan wakil rakyat kita yang terhormat, sesungguhnya sah-sah saja terjadi. Demokrasi, dalam buku klasik Dasar-Dasar Ilmu Politik (1977) karangan Prof Miriam Budiardjo, diyakini berakar dari kata Yunani, demos yang berarti rakyat dan kratos/kratein yang berarti kekuasaan/berkuasa. Demokrasi konon menjadi sistem terbaik yang diaplikasikan di banyak negara sehingga juga dipandang sebagai sistem pemerintahan terbaik bagi republik ini. Sayangnya,sekian lama terkekang dalam “demokrasi semu”Orde Baru, nafsu “berdemokrasi” meluap tak terkendali begitu keran demokratisasi dibuka. Ia menerjang dan menggenang di setiap ceruk kehidupan.
Celakanya, kanal-kanal demokrasi yang seyogianya menjadi penyalur aspirasi itu belum sempurna terbentuk. Akibatnya, demokrasi kita menjadi kehilangan arah. Makna demokrasi pun perlahan namun pasti terdekonstruksi oleh euforia kebebasan. Demokrasi justru memerangkap kita dalam sebuah lubang hitam (black hole). Dalam telaah ilmu alam, lubang hitam adalah sebuah pemusatan massa yang sangat besar sehingga menghasilkan gaya gravitasi yang sangat besar. Besarnya gaya ini mencegah apapun lolos darinya.Cahaya sekalipun hanya dapat memasuki tanpa bisa melewatinya, sehingga muncullah istilah “hitam”.
Di negeri yang rakyatnya cerdas dan sejahtera serta––meminjam teori kebutuhan Abraham Maslow “berada dalam tingkatan aktualisasi diri”–– demokrasi mungkin menjanjikan kebaikan.Namun, apa yang terjadi ketika demokrasi dihelat di sebuah “republik lapar”, yang kebutuhan fisiologis rakyatnya belum sempurna tercukupi, taraf pendidikan, kecerdasannya, dan etikanya memprihatinkan? Demokrasi bukan lagi sebuah tata pemerintahan yang mengabdi pada kepentingan rakyat, tapi justru terhenti sebatas pada pemerolehan kekuasaan yang mengabdi pada kepentingan pribadi dan partai politik. Demokrasi direduksi menjadi sekedar transaksi.
Suara rakyat yang konon adalah suara Tuhan, tak lebih dari sekedar sebuah komoditas yang bisa diperjualbelikan dengan harga kelewat murah, sekadar untuk menyambung makan sehari.Kesejahteraan sekadar sebuah eikasia yang dijanjikan berbusa-busa saat kampanye dan dilupakan begitu kursi empuk Dewan telah didapatkan. Sungguh, anggota Dewan yang terpilih karena “meng-ijon” suara rakyat akan gemar mengkhianati amanat dan menyakiti hati rakyat. Mereka rakus fasilitas, tapi rajin membolos,malas membuat undangundang, lalai dan abai menyejahterakan konstituennya. Alih-alih mengemban amanat demokrasi, mereka justru tengah mengabarkan eksistensi lubang hitam demokrasi yang dihelat di negeri ini.
Selagi masih ada waktu berbenah, begitu besar harap rakyat yang diamanatkan di pundak yang terhormat anggota Dewan untuk benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Bukan sebaliknya, berlaku seperti “dewa” yang mengedepankan kemahakuasaan, adigang-adigung-adiguna,menangguk keuntungan pribadi dan partai atas nama demokrasi. Sungguh, ratusan juta rakyat yang kesrakat itu masih bisa berdoa pada Tuhannya,“Gusti ora Sare (Tuhan tidak tidur).”(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/353498/
Achmad M Akung
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya