Kamis, 02 September 2010

Merdeka Tapi Tetap Sengsara

Tepat pada tanggal 17 Agustus 2010 kemarin Republik Indonesia genap berusia 65 tahun. Kalau manusia usia 65 tahun sudah termasuk dalam kelompok purna karya dan manula. Dalam sistem ekonomi usia 65 tahun merupakan usia sudah tidak menguntungkan atau istilah kerennya sudah masuk ke kelompok cost center.

Kalau Negara, tentunya usia 65 tahun memang masih tergolong sangat muda dan belum dianggap dewasa. Amerika Serikat saja yang sudah merdeka selama 234 tahun memerlukan ratusan tahun untuk bisa seperti saat ini. Apakah memang harus demikian lama bangsa kita merdeka baru kita bisa makmur seperti bangsa-bangsa lain?

Tentunya, pendek atau panjangnya usia kemerdekaan suatu bangsa tidak bisa dipakai sebagai acuan tingkat kesejahteraan bangsa tersebut. Namun paling tidak ada peningkatan kesejahteraan bagi sebagian besar rakyatnya, bukan hanya bagi segelintir elitnya. Jangankan kesejahteraan rakyat diperhatikan, yang ada penderitaan demi penderitaan muncul silih berganti.

Semakin sulitnya hidup di Indonesia bagi sebagian besar rakyat karena minimnya lapangan pekerjaan, kecuali di sektor informal. Lapangan pekerjaan sunyi senyap akibat terhambatnya pembangunan infrastruktur karena ketidakmampuan Negara melawan calo tanah serta stagnannya ketersediaan ketenagalistrikan akibat tidak jelasnya kebijakan energi primer Pemerintah.

Selain rakyat dibiarkan berharap akibat tidak jelasnya tiga persoalan besar di atas, masih ditambah penderitaannya dengan terus meledaknya gas subsidi yang berasal dari tabung 3 kg, meningkatnya harga kebutuhan pokok termasuk cabai, semakin mahalnya harga listrik, buruknya kualitas bensin bersubsidi (Premium), penggusuran, mahalnya biaya kesehatan, sulit dan mahalnya air bersih, banjir dan sebagainya.

Akar Permasalahan

Akar permasalahan selama ini sebenarnya kalau dilihat dari sudut kaca mata awam, sangat sederhana tetapi ketika masuk pada wilayah politik dengan jumlah partai sebanyak 44 dan tumbuhnya ormas-ormas yang tersebar di seluruh Indonesia akibat minimnya lapangan pekerjaan, membuat sebuah persoalan menjadi sulit dipecahkan. Apalagi ketika saat ini Indonesia juga sedang miskin kepemimpinan.

Kasus ledakan gas LPG bersubsidi sampai tulisan ini dibuat belum ada langkah pasti dan tegas dari Pemerintah, selain hanya rapat dan rapat. Ledakan masih terus berlangsung dan korban terus bergelimpangan karena ada lebih dari 45 juta tabung telah beredar di masyarakat. Seperti biasa Pemerintah lepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya kepada operator penyalur gas LPG, yaitu Pertamina.

Bagaimana Pertamina dapat memikirkan keberlangsungan bisnisnya dengan baik dan bersaing, misalnya dengan Petronas jika mereka disibukkan dengan penanganan ledakan LPG bersubsidi. Sementara Pemerintah, dalam hal ini, Kementerian ESDM tidak melakukan langkah-langkah konkret. Kebijakan konversi gas bersubsidi ini dibuat selain tanpa ada penelitian yang lengkap secara ekonomi, sosial dan budaya juga tidak dilengkapi dengan pos anggaran di APBN untuk sosialisasi.

Dampak negatifnya bagi Pertamina banyak, selain pusing harus menangani kerusakan yang terjadi juga harus mengeluarkan biaya yang tidak pernah dibahas dalam Rencana Kebutuhan Anggaran Perusahaan (RKAP). Patut diduga Direksi yang ada sekarang harus mempertangungjawabkan penggunaan dana korporasi di luar RKAP ke KPK dengan tuduhan korupsi.

Selagi belum ada kebijakan tentang Domestic Market Obligation (DMO) untuk gas dan batubara sebesar minimal 35% dan dijual dengan harga ekspor terendah, jangan harap ketenagalistrikan Indonesia akan tumbuh dan terjangkau oleh rakyat. Yang ada Pemerintah selalu membebani rakyat dengan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) ketika subsidi membengkak. Belum lagi program percepatan listrik 10.000 MW tahap I yang tak kunjung selesai.

Tanpa kebijakan DMO gas dan batubara yang tegas, jangan pernah bermimpi ketenagalistrikan di Indonesia akan mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Patut diduga jika Pemerintah Indonesia masih mengakomodasi pemilik kilang BBM di Singapura dan pedagang BBM Indonesia, selama itu pula Indonesia akan tergantung suplai BBM-nya dari Singapura. Bayangkan Negara pemilik kilang bisa mengatur Negara pemilik sumber migas. Apa ini yang namanya kemerdekaan?

Menjelang lebaran semua harga bahan kebutuhan pokok merangkak naik, namun tidak ada langkah nyata dari Pemerintah selain melakukan operasi pasar. Dari zaman Orde Baru sampai sekarang pendekatan untuk menanggulangi kenaikan harga-harga selalu operasi pasar, tidak ada yang lain. Mengapa tidak pernah dilakukan penindakan pungutan liar di jalan raya yang jumlahnya triliunan, mengapa tidak diberantas para tengkulak yang merugikan banyak petani dan pada akhirnya merugikan rakyat karena membuat harga harga komoditas terus naik.

Langkah Konkret

Supaya rakyat bisa menikmati kemerdekaan yang sudah berusia 65 tahun ini, ada baiknya Pemerintah segera melakukan beberapa langkah berikut. Pertama, untuk menyelesaikan semua permasalahan-permasalahan di atas, upayakan perbaikan di sisi koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan Daerah serta antar intansi Pemerintah. Di negara ini yang paling sulit adalah koordinasi. Untuk koordinasi yang baik kita perlu pemimpin yang kuat, tegas dan berorientasi aksi bukan hanya wacana dan pencitraan.

Kedua, tegakkan pelaksanaan hukum di semua lini. Tanpa pelaksanaan hukum yang kuat dan tegas segala penyimpangan sulit ditindak dan akibatnya membuat preseden tidak baik dan merugikan rakyat. Dengan pelaksanaan hukum yang baik, pungli di semua lini akan hilang dan harga komoditi bisa ditekan.

Ketiga, segera reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II, terutama Kementerian yang tidak banyak membantu Presiden dalam mengurus publik, misalnya Kementrian ESDM, Kementerian Perhubungan, Kementerian Negara Kominfo, Kementerian Negara Koperasi dan sebagainya.

Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...